Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri anak-dan-orangtua. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri anak-dan-orangtua. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Anak Dan Orangtua

Seminggu terakhir lagi heboh banget di timeline wacana anak yang tuntut ibunya yang sudah 83 tahun. Tuntutannya nggak main-main, Rp 1,8 miliar! Terus 90% komentar adalah: anak durhaka! Nggak tahu diri!

Oh well.


Yang saya lakukan pertama kali tentu mencari tahu ada apa. Ini kan perkara "unik" ya. Nggak tiap bulan ada anak nuntut orangtua, jadi niscaya ada apa-apanya. Dan semakin banyak saya membaca, semakin saya tidak ingin judge siapa-siapa.

Apalagi semenjak baca pernyataan si anak, wawancara khusus dengan Kumparan, kalau beliau ingin memberi pelajaran pada keluarga yang selama ini selalu memanfaatkan sang ibu.

Khayalan saya begini. KHAYALAN LOH YA INI. *BOLD CAPSLOCK*

Si ibu yaitu ibu zaman dulu. Pertama usianya memang sudah sepuh kan, kelahiran 1934 bayangin aja. Umur si ibu 83 tahun, sementara umur Yani (anak yang menuntut) 53 tahun. Beda usia 30 tahun.

Sementara Yani anak kesembilan dari 13 bersaudara. Berarti si ibu menikah muda, pribadi punya anak banyak. Ya ibu saya aja nikah umur 25, nenek saya nikah umur 25, saya nikah umur 25. Ini 30 tahun anaknya udah 9 kan.

Mungkin, mungkin dalam perjalanannya si ibu tidak dapat selalu adil. Banyak kan anak sakit hati sama ibunya dan ibunya nggak pernah tahu itu. Mana mah nikah muda dengan banyak anak. Plus belum dewasa juga merasa ibunya kaya raya (ini asumsi) jadi memanfaatkan ibunya untuk dukungan ke bank segala macem. Si ibu dalam rangka "sayang anak" jadi nggak dapat nolak anaknya mau apa.

Cuma Yani ini yang bener usaha, jadi beliau sebel sama sodara-sodara lainnya yang selama ini hidup yummy doang memanfaatkan si ibu. Sampai Yani dan suami nutup utang kakaknya dulu lah, dikasih kerjaan dulu lah. Selalu ada sodara kita yang nyebelin kaya gitu kan?

Selalu ada anggota keluarga yang terbiasa hidup yummy dari orangtua dan merasa selalu ada keluarga yang bantu, jadi hidup enak-enakan. Usaha ganti-ganti, kerja berat dikit ngeluh. Ngutang mulu ke anggota keluarga yang lain. Ngerepotin mulu tapi perjuangan nggak keliatan. Makanya Yani ini kesel, beliau ingin kasih pelajaran sama abang dan adiknya yang selama ini selalu ngerepotin.


*KHAYALAN SELESAI*


Tulisan sehabis ini harap dibaca pelan-pelan. Pelan-pelan ya. Dan saya (seperti biasa) tidak bicara soal agama, saya bicara dari sisi manusia. :)

Satu yang jadi pikiran dan cukup mengganggu saya adalah, kita selalu melihat dari sudut pandang anak durhaka pada orangtua. Pernahkah kita berpikir sebagai orangtua, bahwa kita juga mungkin "durhaka" pada anak?

Apakah semua orangtua menjalankan kiprahnya dengan sangat baik sehingga kita dapat pribadi judge semua orang yang tidak baik pada orangtua sebagai anak durhaka? Anaknya keterlaluan, memangnya seorang ibu PASTI tidak keterlaluan pada anak?

"Ya kan orangtua udah ngurus kita dan biayain kita semenjak bayi" TRUE. Itu benar. Dan ini tidak perlu dijawab dengan "apa anak pernah minta dilahirkan?" no, tidak sesederhana itu. Tapi ini dapat dirunut semenjak awal sekali, semenjak kita menikah.

Kita lihat dari sudut pandang kita sebagai orangtua.

Kita menikah, siapa yang senang ketika strip dua muncul? Siapa yang sangat senang belanja peralatan bayi, survey rumah sakit, senam hamil? Sebagian besar orang niscaya senang lah. Sebagiannya lagi yang kebobolan. Alih-alih senang biasanya mereka stres lol.

Siapa yang senang ketika anak pertama kali dapat berguling? Bisa jalan? Bisa ngomong "mama" pertama kali? KITA KAN. KITA BAHAGIA. Kita beliin mainan macem-macem dengan alasan supaya anak bahagia, padahal kita beliin anak mainan alasannya kita senang liat anak main dengan tenang. Liat anak senang punya mainan baru.

Kaprikornus logikanya tolong dibalik, bukan kita yang menciptakan anak senang kemudian suatu hari nanti si anak harus membalas itu. Tapi kita senang alasannya punya anak, kita senang melihat anak kita makan enak, kita senang melihat anak kita punya sepatu baru. Kita senang alasannya punya anak, bukan justru anak yang senang alasannya kita. Nangkep kan ya?

Ini jadi melandasi pertanyaan berikutnya: sebagai orangtua, pamrih kah kita?

Masuk akalkah kalau suatu hari nanti kita murka pada anak yang sudah terpelajar balig cukup akal "Durhaka kau sama orangtua! Siapa yang ngasih makan kau dari kecil?!"

Kok jadi pamrih gitu. Kalau nggak mau ngasih makan ya jangan. Kalau nggak mau urus ya titip panti asuhan. Ini kan kita kasih makan anak juga dengan bahagia, MPASI aja dihias-hias dan share di Instagram. Kita rela melaksanakan semua itu kan? Karena itu hal yang bikin kita senang kan?

Kaprikornus mari bercermin sama-sama. Beri yang terbaik untuk anak dan jadilah yang senang pertama kali ketika ia meraih mimpi-mimpinya. Ayo semua mulai investasi dana pensiun jadi ketika pensiun, kita tidak terlalu merepotkan anak. Apalagi kalau anak sudah berkeluarga.

Dan ya, meski demikian, bukan berarti jadi pembenaran untuk tidak sopan dan tidak berbuat baik pada orangtua loh ya. Berbuat baik lah. Kalau sudah kenal bertahun-tahun kita juga niscaya suka berbuat baik kan pada orang lain dengan alasan "udah kenal usang banget". Apalagi sama orangtua? Udah kenal semenjak lahir kan.

Kecuali kalau orang yang sudah kita kenal usang ini suka KDRT misalnya. Ya udahlah gimana lagi. Mungkin lebih baik kalau ditinggalkan aja. Hiks. Ini salah satu perkara "keterlaluan" kan. Kalau si ibu suka nyiksa sih berdasarkan saya udahlah tinggalin aja. Nggak sehat, nggak berarti tetep harus dihormati alasannya udah udah ngelahirin kita. Dia aja nggak menghargai kita sebagai manusia, untuk apa kita menghargai dia?

Khusus buat para orangtua dengan balita: jangan juga terlalu manjain anak. Sekarang anak nggak dikasih jajan nangis kemudian dikasih, 15 tahun kemudian nggak dikasih motor bisa-bisa bunuh ibunya alasannya tidak terbiasa dengan rasa kecewa.

Udah gitu aja. See you!

-ast-

Detail ►

Survey Lovely Sunshine Daycare Jakarta

Halo, kali ini saya mau menyebarkan hasil survey Lovely Sunshine Daycare Jakarta Pusat yang terletak di Jalan Danau Poso Benhil. Review di sini bukan berarti saya pernah mencoba menitipkan anak di sini ya, ini hasil survey dan tanya-tanya pada daycare yang bersangkutan. 

Tulisan ini yaitu pecahan dari review dan survey daycare di Jakarta yang saya lakukan dalam rangka cari daycare untuk Bebe, anak saya yang usianya 3 tahun, jadi sudut pandangnya memang toddler bukan bayi. Ini dapat jadi bayangan aja sebab survey satu-satu itu menyita waktu sekali kan. Tapi sebaiknya, ya datenglah ke beberapa daycare untuk survey dulu sebelum tetapkan mau ke daycare yang mana. Baca juga postingan lain tentang daycare di sini. :)


Lovely Sunshine Daycare ini bahwasanya yaitu sasaran utama dari calon preschool dan daycare Bebe. Hanya saja tahun kemudian saya sempat main ke sini dan rasanya kurang sreg. Tapi waktu itu saya nggak terlalu tanya detail sebab memang iseng doang, ahad kemudian saya dan JG balik lagi ke sini untuk tanya se-detail mungkin dan ... tetep kurang sreg hehehe.

Ini detailnya ya. Setiap daycare yang saya review, saya tulis detail yang sama semoga dapat dibandingkan satu sama lain.

🏡 Lokasi

Lovely Sunshine ini terletak di Jalan Danau Poso no 157, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Strategis buat yang kerjanya di tempat Sudirman - Kuningan - Slipi. Daycare di tempat Benhil ini ada beberapa, cuma yang ada preschool-nya hanya Lovely Sunshine ini (cmiiw).

🏡 Kondisi bangunan

Rumah dua lantai, masuk dengan fingerprint jadi nggak perlu ngebel terus nunggu dibukain pintu. Plus point sebab nunggu dibukain pintu sebel hahaha. Di lantai satu untuk kelas dari 3 hingga 6 tahun, lantai dua untuk bayi hingga usia 2 tahun.

Anaknya banyak ada 30-an anak tapi berdasarkan saya sih rumahnya terlalu kecil untuk nampung anak sebanyak itu. Ruang mainnya nggak terlalu besar, nggak ada halaman depan cuma ada halaman belakang kecil tempat tangga-tanggaan sama jungkat-jungkit. Kelasnya juga sempit.

Ini tidak mengecewakan bikin mikir soalnya Bebe anaknya nggak mau diem, di kelas sempit bisa-bisa nggak bebas. :(

🏡 Rasio caregiver dan anak

Di Lovely Sunshine, satu mbak nggak terus menerus pegang anak yang sama. Sistemnya per kelas, jadi tiap kelas ada 1 teacher dan 2 caregiver. Di kelas pre-K untuk usia Bebe, waktu survey ada 6 anak. Masih ok sih ya rasionya. Pas lah.

Caregiver-nya juga dikasih pelatihan berkala. Kata supervisor, jikalau ada komplain baju tertukar pun caregiver pribadi ditegur sebab artinya ia kurang konsentrasi. Wow.

🏡 Jadwal harian

Nah di luar ruangan yang sempit, saya nggak sreg sama jadwalnya yang terlalu banyak di kelas. Ini agenda yang saya tangkep dari pembicaraan sama supervisornya. Baiknya di-confirm ulang ya buibu!

1. Dateng ke daycare pagi-pagi, anak dianter ortu pribadi masuk kelas masing-masing
2. Mandi
3. Masuk kelas lagi, makan di kelas
4. Belajar di kelas, dari jam 9-12
5. Makan siang di kelas lagi
6. Tidur siang di kelas lagi (dipasang kasur)
7. Jam 2-6 (bangun tidur siang hingga dijemput), bergantian pakai ruang main dengan kelas lain. main tidak bersama anak yang lebih besar/lebih kecil jadi main di ruang bermain pakai jadwal.
8. Makan sore di kelas

Kok di kelas terus ya? Nggak bebas main di ruang main sebab harus bergantian dengan anak kelas lain. Kalau anaknya udah gede dan tujuannya sekolah sih sepakat ya, jikalau saya kan justru tujuannya Bebe main, sekolah cuma aksesori aja jikalau beliau mau.

🏡 Mandi

Ini juga kurang sreg sebab mandinya berdua-berdua, katanya (iyes saya nanya) sebab anak banyak sementara kamar mandi cuma satu. Berdua-berdua nggak pemuda cewek sih tapi saya nggak mau huhuhuhu.

Dan anaknya emang banyak banget sih, 30an anak kali ya ada.

🏡 Makan

Makannya standar daycare pada umumnya, 3 kali sehari makan berat, sekali buah dan sekali biskuit. Susu bawa sendiri.

🏡 Tidur

Tidur di kelas menyerupai yang udah saya jelasin di atas. Ternyata banyak daycare dengan konsep kaya gini ya. Saya gres tau, soalnya daycare Bebe kini terpisah banget antara kelas, kamar anak cowok, kamar anak cewek, dan kamar bayi.

🏡 Program preschool

Yes ada agenda preschool dari Pre-K (3-4 tahun), K1 (4-5 tahun), K2 (5-6 tahun). Untuk pre-K masih pakai bahasa Indonesia, untuk K1 dan K2 udah mulai pakai bahasa Inggris. Diajari membaca tapi tidak dipaksa, hanya pengenalan abjad dan angka.

Kami ngobrol dengan teachernya, konsep belajarnya itu disiplin dan konsisten. Karena dengan konsistensi, anak akan disiplin sebab terbiasa.

Tiap ahad ada goals untuk masing-masing anak, jadi nggak memaksakan goals yang sama ke semua anak. Kalau anak nggak nyampe goals-nya maka dikomunikasikan dengan orangtua. Cukup sepakat sih ya berdasarkan aku.

🏡 Mainan

Mainannya tidak mengecewakan banyak, ada ayunan dan perosotan. Ada rumah-rumahan yang gres dicuci juga pas saya survey. Ada kompor dan masak-masakan yang Bebe suka banget! Ada mobil-mobilan polisi yang dapat dinaikin. Sampai kini jikalau liat kendaraan beroda empat polisi Bebe bilang "itu kendaraan beroda empat polisi kaya di sekolah aku". Hahaha.

🏡 Jam buka - tutup - overtime


Buka jam 7, tutup jam 6. Overtime-nya sepakat loh, ada toleransi waktu 15 menit jadi gres dihitung overtime jikalau udah jam 6.15 sore. Pas banget buat saya dan kalian-kalian yang overtime terus hahahaha.

🏡 CCTV

Ada CCTV tapi saya lupa tanya apa dapat diakses orangtua atau nggak. :S

🏡 Toilet training

Ini juga nggak nanya deuh. Lupaaaa.

🏡 Report harian

Report daycare diberikan harian dan report preschool mingguan.

🏡 Punishment

Tidak ada punishment/hukuman. Kalau anak salah sebab misal merebut mainan temannya, berdasarkan supervisornya nggak dieksekusi gimana-gimana, cuma contohnya anak hanya disuruh membisu beberapa menit di karpet merah (karpet karet puzzle itu loh).

🏡 Anak sakit

Nggak nanya masa lupa. Tapi pas keliling-keliling sih nggak ada kamar isolasi ya. Tanya sendiri ya buibuuuu!

🏡 Lain-lain

Ada field trip dan main ke taman cuma jadwalnya kurang jelas. Visit dokter anak dan dokter gigi setiap 3 bulan.

🏡 Biaya

Biaya Daycare dan Preschool Lovely Sunshine: Rp 3,2juta/bulan
Admission fee: Rp 2juta
Biaya preschool (tanpa daycare): Rp 1,95juta/bulan

Murah loh itungannya untuk daycare dan preschool. Worth it lah untuk orangtua yang anaknya udah usia preschool dan masih butuh daycare.

Dan namanya daycare ya, cocok-cocokan banget antara orangtua dan daycare itu sendiri. Temennya Bebe udah dua orang preschool di Lovely Sunshine. Dari segi fee bulanan juga itungannya murah dengan pertimbangan biaya daycare Jakarta Pusat yang lain

Oke itu beliau review daycare pertama. Masih ada dua daycare lain di sekitar Jakarta Pusat dan Selatan yang akan saya review tapi nantiiii jikalau sempet hahaha.

Selamat cari daycare buibu!

REVIEW TWEEDE DAYCARE BENHIL (DAYCARE BEBE 3 TAHUN TERAKHIR)
REVIEW KIDEE DAYCARE BLOK S/SENOPATI
REVIEW HAPPY TREE HOUSE DAYCARE SETIABUDI

-ast-

Detail ►

Jadi, Gimana Ngajarin Calistung?

Ini sih pertanyaan terbesar sehabis Bebe masuk usia preschool. Soalnya baca sana-sini denger si ini dan si itu katanya: jangan ngajarin calistung atau sekolah sebelum umur 7 tahun! Nanti anak kehilangan masa kecil! Ia akan bosan belajar! Motivasi belajarnya akan menurun! Mentalnya akan bermasalah di kemudian hari!


Ngobrol sama beberapa temen yang anaknya udah masuk SD, semua jawabannya sama: santai ajaaa tar juga bisa sendiri kok!

Tapi kok saya khawatir ya? HAHAHAHAHA. Takut Bebe nggak bisa baca zzzz. *parno*

Oke, sebagai backround, selama ini saya selalu pasang flat face tiap ada orang bilang “anak nggak boleh mencar ilmu formal sebelum 7 tahun alasannya yaitu akan jadi malas belajar, cepat bosan, blablabla”.

Sebabnya saya sendiri masuk SD umur 4,5 tahun dan sudah bisa baca sebelum masuk TK. Saya tidak pernah malas sekolah hingga kuliah. Dan terpampang konkret dari minus mata yang udah nyampe 2,5 di kelas 6 SD, saya sangat suka membaca. Saya tidak bisa tidur sebelum membaca sesuatu. Makara malas mencar ilmu dan cepat bosan hanya alasannya yaitu mencar ilmu formal semenjak kecil itu nggak berlaku di saya. Juga di banyak orang lain, yang komen di sini.

(Baca deh goresan pena mbak Nurisma Fira wacana pendidikan dini di Inggris. Umur 4-5 tahun udah pada bisa nulis kalimat loh di sana! Baca ya: Larangan Calistung Sebelum Umur 7 Tahun Adalah Pembodohan

Pas banget ahad kemudian di daycare Bebe ada parents meeting dengan tema “Mengapa Tidak Perlu Buru-buru Mengajarkan Calistung”. Yang ngasih materi owner daycare yang juga praktisi montessori jadi semua penjelasannya pake filosofi montessori. Kemudian saya tercerahkan! Dan tentu saja akan menyebarkan pencerahan itu pada kalian semua lol.

Pencerahannya sederhana: anak bukan dihentikan mencar ilmu calistung TAPI JANGAN DIPAKSA dan harus sesuai tahapan kemampuannya.

Udah segitu doang sih bila kalian mau berhenti baca di sini juga boleh lol.

Calistung itu BUKAN kemampuan naluriah. Makara kurang sempurna bila bilang “alah nanti juga bisa sendiri kok”. Nggak begitu. Membaca, menulis, dan menghitung bukan kemampuan naluriah. Beda sama merangkak, jalan, atau lompat. Nggak diajari pun bisa sendiri.

Karena bukan nature, maka harus di-nurture.
*dikeplak mas ganteng Ivan Lanin alasannya yaitu ngomong campur Inggris mulu*

Membaca, menulis, dan berhitung harus diajarkan dalam kondisi yang menyenangkan bukan alasannya yaitu ditakut-takutin nanti mental anak blablabla. Alasannya sederhana, supaya mencar ilmu jadi menyenangkan. Supaya anak bahagia membaca, supaya terbiasa menulis, supaya bahagia sama matematika. Supaya senang, bukan alasannya yaitu takut. :)

Ini lebih masuk buat saya dibanding ditakut-takutin anak akan bosan mencar ilmu blablabla. Hehehe.

Kapan kita tahu anak sudah siap mencar ilmu calistung?

Pertama, telinga anak harus dalam kondisi baik. Kedua, kosakata yang dikuasai harus sudah banyak dan tidak ada kesulitan dalam komunikasi sehari-hari. Karena membaca akan lebih mudah dikala anak bisa menghubungkan kata yang ia baca dengan benda yang ia tahu.

Dari segi fisik, akan lebih mudah bila otot-otot jari anak sudah lentur. Menulis membutuhkan 3 jari yang lentur: jempol, telunjuk, dan jari tengah. Tiga jari ini digunakan untuk menulis, makan, menjumput, dan banyak lagi dan ketiga jari ini sebaiknya sering dilatih semenjak usia toddler.

Kalau dari Bebe telinga kan nggak ada masalah. Kosakata banyak juga dan udah bisa kalimat utuh dan kalimat bertingkat. Makara berdasarkan dua faktor ini sih Bebe siap banget mencar ilmu calistung.

Otot jari masih dilatih kan di sekolah. Latihannya bisa dengan transferring (mindahin pompom pake pinset dari KIRI ke KANAN ya), bisa dengan tracing (men-trace karakter pakai dua jari telunjuk dan jari tengah), memindahkan air dengan spons, dan banyak lagi. Itu semua buat latihan otot jari dan tangan semoga nulisnya halus dan nggak gerigi-gerigi. *alah*

Katanya daripada tracing karakter (menyambung garis putus-putus berbentuk huruf) mending tracing garis dan gelombang (huruf S terus menerus hingga panjang). Nantinya nulis karakter akan bisa sendiri bila udah lancar bikin garis dan gelombang.

Iya sih bener juga. Tapi alasannya yaitu saya nanggung punya beberapa buku dan flash card alphabets yang bisa dipake latihan jadi ya udah terusin aja hahahaha. Toh anaknya mau juga kan.

(Baca: Bebe's Favorite Books, Beli Buku Anak di Mana?)

Gimana ngajarinnya?

Metodenya dijelasin detail tapi akan sangat panjang bila dibahas di sini. Kuncinya di sini: JANGAN DIPAKSA. Daya konsentrasi anak berbeda-beda dan kehilangan konsentrasi bukan berarti ia malas belajar. Caranya kurang lebih gini:

1. Kenalkan karakter dalam dua karakter konsonan dan satu vokal dulu gres kemudian bisa kata yang lebih panjang. Makara kenalkan kata-kata menyerupai ban, cat, dot, pot, sol, alah apalagi ya ya pokoknya yang tiga karakter dulu. Bilang: b, a, n, ban.

2. Kalau sudah tertarik, berikutnya tes ia dengan nanya: karakter b yang mana? A yang mana? N yang mana?

3. Kalau sudah lancar, minta ia menyebut, ini karakter apa? Satu per satu hingga ketiganya bisa.

Nah tapi bila di poin kedua ia udah bosan ya udah berhenti aja belajarnya. Anak beda-beda, ada yang mau mencar ilmu baca tulis sejam, ada juga yang 5 menit bosan. Nggak apa-apa bila ia udah nggak mau ya berhenti aja. Syaratnya, bila ia lagi mau dan minta belajar, JANGAN DITOLAK. Semua bisa menunggu, fokus aja dulu ke ajarin dia.

(Baca: Larangan Calistung Sebelum Umur 7 Tahun Adalah Pembodohan

Pas banget ahad kemudian di daycare Bebe ada parents meeting dengan tema “Mengapa Tidak Perlu Buru-buru Mengajarkan Calistung”. Yang ngasih materi owner daycare yang juga praktisi montessori jadi semua penjelasannya pake filosofi montessori. Kemudian saya tercerahkan! Dan tentu saja akan menyebarkan pencerahan itu pada kalian semua lol.

Pencerahannya sederhana: anak bukan dihentikan mencar ilmu calistung TAPI JANGAN DIPAKSA dan harus sesuai tahapan kemampuannya.

Udah segitu doang sih bila kalian mau berhenti baca di sini juga boleh lol.

Calistung itu BUKAN kemampuan naluriah. Makara kurang sempurna bila bilang “alah nanti juga bisa sendiri kok”. Nggak begitu. Membaca, menulis, dan menghitung bukan kemampuan naluriah. Beda sama merangkak, jalan, atau lompat. Nggak diajari pun bisa sendiri.

Karena bukan nature, maka harus di-nurture.
*dikeplak mas ganteng Ivan Lanin alasannya yaitu ngomong campur Inggris mulu*

Membaca, menulis, dan berhitung harus diajarkan dalam kondisi yang menyenangkan bukan alasannya yaitu ditakut-takutin nanti mental anak blablabla. Alasannya sederhana, supaya mencar ilmu jadi menyenangkan. Supaya anak bahagia membaca, supaya terbiasa menulis, supaya bahagia sama matematika. Supaya senang, bukan alasannya yaitu takut. :)

Ini lebih masuk buat saya dibanding ditakut-takutin anak akan bosan mencar ilmu blablabla. Hehehe.

Kapan kita tahu anak sudah siap mencar ilmu calistung?

Pertama, telinga anak harus dalam kondisi baik. Kedua, kosakata yang dikuasai harus sudah banyak dan tidak ada kesulitan dalam komunikasi sehari-hari. Karena membaca akan lebih mudah dikala anak bisa menghubungkan kata yang ia baca dengan benda yang ia tahu.

Dari segi fisik, akan lebih mudah bila otot-otot jari anak sudah lentur. Menulis membutuhkan 3 jari yang lentur: jempol, telunjuk, dan jari tengah. Tiga jari ini digunakan untuk menulis, makan, menjumput, dan banyak lagi dan ketiga jari ini sebaiknya sering dilatih semenjak usia toddler.

Kalau dari Bebe telinga kan nggak ada masalah. Kosakata banyak juga dan udah bisa kalimat utuh dan kalimat bertingkat. Makara berdasarkan dua faktor ini sih Bebe siap banget mencar ilmu calistung.

Otot jari masih dilatih kan di sekolah. Latihannya bisa dengan transferring (mindahin pompom pake pinset dari KIRI ke KANAN ya), bisa dengan tracing (men-trace karakter pakai dua jari telunjuk dan jari tengah), memindahkan air dengan spons, dan banyak lagi. Itu semua buat latihan otot jari dan tangan semoga nulisnya halus dan nggak gerigi-gerigi. *alah*

Katanya daripada tracing karakter (menyambung garis putus-putus berbentuk huruf) mending tracing garis dan gelombang (huruf S terus menerus hingga panjang). Nantinya nulis karakter akan bisa sendiri bila udah lancar bikin garis dan gelombang.

Iya sih bener juga. Tapi alasannya yaitu saya nanggung punya beberapa buku dan flash card alphabets yang bisa dipake latihan jadi ya udah terusin aja hahahaha. Toh anaknya mau juga kan.

(Baca: Stop Menyuruh Anak untuk Diam)

Untuk baca, katanya lebih mudah pake metode phonic. Bisa search di YouTube “phonic bahasa Indonesia”. Sebulan terakhir, saya dan JG tiap kali inget selalu memasukan phonic ke dalam topik pembicaraan sehari-hari. Misal Bebe lagi minum yogurt merek Yo (bukan iklan), maka komentar kami adalah:

“Wah Xylo sedang minum Yo. Y, O, YO”

Atau Bebe lagi bahas ban mobil. Ibu nyeletuk aja “Iya ban itu B, A, N BAN”

Ingat ngomong hurufnya pake phonic ya bukan baca karakter biasa. So far Bebe seneng dan jadi suka nanya “kalau jendela gimana ibu hurufnya?”

Sejak sekolah Bebe udah bisa tulis nama sendiri. Dia juga tau-tau hafal A hingga Z karakter kecil dan karakter kapital padahal belajarnya cuma iseng aja pake tempelan kulkas atau pas kebetulan di mana pun ada huruf, suka saya tanya ini karakter apa. Tapi ya gres hafal DOANG. Konsep menggabungkan karakter belum ngerti dia. Makanya ini saya sendiri ngotot mencar ilmu phonic. lol

Misal Y dan O ia tau itu YO alasannya yaitu saya sering ngomong. Tapi ditanya "M O jadi apa?" Nggak tau ia HAHAHAHAHA.

Untuk nulis, masih latihan otot jari yang saya sebut di atas bila di sekolah. Tapi bila ia di rumah semangat ngajak nulis, ya kami mencar ilmu menulis juga di rumah. Menulis karakter apapun, menggambar juga boleh yang penting pegang pensil, bila bosan ya berhenti.

Untuk berhitung, saya seringnya pake jari tangan doang. Kemarin-kemarin ia selalu skip six, jadi dari five eksklusif seven. Besokannya tiap saya turun mobil, ia harus kiss bye enam kali. Terus udah deh nggak lupa lagi. Hal-hal sederhana kaya gitu aja.

(Baca: Larangan Calistung Sebelum Umur 7 Tahun Adalah Pembodohan

Pas banget ahad kemudian di daycare Bebe ada parents meeting dengan tema “Mengapa Tidak Perlu Buru-buru Mengajarkan Calistung”. Yang ngasih materi owner daycare yang juga praktisi montessori jadi semua penjelasannya pake filosofi montessori. Kemudian saya tercerahkan! Dan tentu saja akan menyebarkan pencerahan itu pada kalian semua lol.

Pencerahannya sederhana: anak bukan dihentikan mencar ilmu calistung TAPI JANGAN DIPAKSA dan harus sesuai tahapan kemampuannya.

Udah segitu doang sih bila kalian mau berhenti baca di sini juga boleh lol.

Calistung itu BUKAN kemampuan naluriah. Makara kurang sempurna bila bilang “alah nanti juga bisa sendiri kok”. Nggak begitu. Membaca, menulis, dan menghitung bukan kemampuan naluriah. Beda sama merangkak, jalan, atau lompat. Nggak diajari pun bisa sendiri.

Karena bukan nature, maka harus di-nurture.
*dikeplak mas ganteng Ivan Lanin alasannya yaitu ngomong campur Inggris mulu*

Membaca, menulis, dan berhitung harus diajarkan dalam kondisi yang menyenangkan bukan alasannya yaitu ditakut-takutin nanti mental anak blablabla. Alasannya sederhana, supaya mencar ilmu jadi menyenangkan. Supaya anak bahagia membaca, supaya terbiasa menulis, supaya bahagia sama matematika. Supaya senang, bukan alasannya yaitu takut. :)

Ini lebih masuk buat saya dibanding ditakut-takutin anak akan bosan mencar ilmu blablabla. Hehehe.

Kapan kita tahu anak sudah siap mencar ilmu calistung?

Pertama, telinga anak harus dalam kondisi baik. Kedua, kosakata yang dikuasai harus sudah banyak dan tidak ada kesulitan dalam komunikasi sehari-hari. Karena membaca akan lebih mudah dikala anak bisa menghubungkan kata yang ia baca dengan benda yang ia tahu.

Dari segi fisik, akan lebih mudah bila otot-otot jari anak sudah lentur. Menulis membutuhkan 3 jari yang lentur: jempol, telunjuk, dan jari tengah. Tiga jari ini digunakan untuk menulis, makan, menjumput, dan banyak lagi dan ketiga jari ini sebaiknya sering dilatih semenjak usia toddler.

Kalau dari Bebe telinga kan nggak ada masalah. Kosakata banyak juga dan udah bisa kalimat utuh dan kalimat bertingkat. Makara berdasarkan dua faktor ini sih Bebe siap banget mencar ilmu calistung.

Otot jari masih dilatih kan di sekolah. Latihannya bisa dengan transferring (mindahin pompom pake pinset dari KIRI ke KANAN ya), bisa dengan tracing (men-trace karakter pakai dua jari telunjuk dan jari tengah), memindahkan air dengan spons, dan banyak lagi. Itu semua buat latihan otot jari dan tangan semoga nulisnya halus dan nggak gerigi-gerigi. *alah*

Katanya daripada tracing karakter (menyambung garis putus-putus berbentuk huruf) mending tracing garis dan gelombang (huruf S terus menerus hingga panjang). Nantinya nulis karakter akan bisa sendiri bila udah lancar bikin garis dan gelombang.

Iya sih bener juga. Tapi alasannya yaitu saya nanggung punya beberapa buku dan flash card alphabets yang bisa dipake latihan jadi ya udah terusin aja hahahaha. Toh anaknya mau juga kan.

(Baca: Mengajarkan Bahasa Inggris pada Balita, Perlu?)

Untuk tambah-tambahan, paling mudah pakai mobil-mobilan dia. Satu kendaraan beroda empat ditambah dua kendaraan beroda empat jadi tiga kendaraan beroda empat dan seterusnya.

Buat jadi menyenangkan dan jangan pake target. Slow.

Tapi please note bila ini melelahkan sekali HAHAHAHAHAHA BOLD UNDERLINE. Main Lego atau baca buku lebih mudah, sungguh. Tapi ya udah daripada anaknya nggak belajar? Saya seneng Bebe mencar ilmu jadi capek-capek pulang kerja pun ya temenin lah bila pas ia mau mencar ilmu baca atau tulis.

Satu hal lagi.

Meski nggak kepikiran untuk Bebe, saya ngerti banget sama orangtua yang masukin anaknya ke les calistung. Karena ngajarin sendiri itu capek banget ya Tuhan. Nggak perlu dijudge macem-macem lahhh, bila emang di lingkungannya cuma ada SD yang wajib bisa calistung untuk masuk, masa orangtua nggak boleh panik dan ngasih anaknya les calistung sih?

Nanti anaknya nggak bisa masuk SD gimana? Nggak usah masuk SD dulu? T_____T Kadang nggak bisa menyamaratakan satu standar jadi nasional bila sekolahnya sendiri belum punya standar yang terperinci ya.

Makara ayo semangat mencar ilmu calistung buibu! Kita niscaya bisa melewati ini semua!

-ast-

Detail ►

Memahami Anak

Kemarin saya Insta Story soal kesulitan menjadi ibu. Dari semua tanggapan yang masuk, 80% menjawab sulit menahan emosi. Karena anak banyak tingkah, banyak ulah, iseng dan lain sebagainya.



Sementara bagi saya, hal yang tersulit ketika jadi ibu yaitu ketika saya menyadari bila saya tidak sanggup lagi hanya fokus pada diri sendiri.
 Sekarang dan selamanya, hidup saya akan terbagi dengan anak. THAT FACT HIT ME REAL HARD.
 

Mungkin lantaran nggak ada yang menyiapkan saya untuk punya anak. Saya sendiri nggak pernah menyiapkan diri untuk punya anak. Waktu kuliah sih centhyl banget pengen nikah muda lah segala rupa. Begitu kerja waw nikah aja mikir-mikir banget panjang lebar. Heran juga kenapa kecemplung sekalian dan punya anak hahahaha.

Eh terus kebetulan sini kan orangnya perfeksionis dan ambisius ya. Oke gundah kok sanggup punya anak, tapi sehabis punya ya lakukan segala hal untuk membesarkan anak. Hahaha. Se-nggak pede itu sama insting keibuan diri sendiri lantaran ya seumur hidup nggak punya imajinasi apa-apa ihwal jadi ibu.

Kemudian tiba problem berikutnya, problem sulit sebagai ibu: mengelola ekspektasi. Saya punya ekspektasi pada Bebe PLUS saya punya ekspektasi diri pada saya sebagai orangtua. That’s the hardest part. Damn.

Meski merasa nggak punya insting keibuan, saya yakin pada satu hal: saya tahu 100% akan membesarkan Bebe ibarat apa. Sebagai orangtua, saya dan JG merumuskan hal-hal (kita sebut saja values) semoga Bebe sanggup jadi individu yang kita harapkan. Yang selalu sanggup punya keputusan sendiri, mandiri, tidak bigot, dan menghargai perempuan.

Values ini nggak dirumuskan pas lagi hamil gitu. NGGAK SAMA SEKALI. Pas hamil cuma kepikiran satu hal: Bebe harus jadi orang yang sanggup ambil keputusan. UDAH ITU DOANG. Lebih lantaran rese sama JG yang nggak sanggup ambil keputusan.

(Ceritanya ada di sini: Anak dan Pengambilan Keputusan)

Seiring berjalannya waktu, semakin Bebe meninggalkan masa bayi, kami semakin sering mendiskusikan ihwal sikap Bebe, cari tahu ke sana sini, konsultasi dengan psikolog anak, dokter tumbuh kembang, dll. Kami butuh backup science, research, anything untuk menghadapi Bebe. Untuk memahami kenapa beliau melaksanakan ini dan itu.

Karena bila pake insting doang wah murka sih pasti. Emosi saya nggak sanggup menghadapi anak yang waktu bayi high needs dan jadi highly sensitive ketika balita. Kalau saya nggak cari penjelasannya secara science, dijamin saya akan sering marah-marah.

Waktu Bebe umur 3 tahun, kami ketemu dengan Montessori dan yay makin kokoh deh valuesnya. Satu mantra Montessori yang perlu disimpan dalam hati dan diterapkan sehari-hari:

“Setiap hal yang dilakukan anak niscaya bermakna”

PASTI LHO. Menurut kita nggak jelas, berdasarkan anak mah ya terperinci lah. Apalagi anak umur 2 tahun gitu yang sedang gundah melihat dunia dan berusaha memahami emosinya sendiri,. Kalau bukan kita yang memahami beliau dan mengajarkan soal emosinya, siapa lagi?

Ingat, apa yang tidak masuk nalar bagi kita, mungkin sangat masuk nalar bagi mereka.

Tempatkan diri pada point of views anak. Kadang mereka melaksanakan hal menyebalkan bukan lantaran ingin menyebalkan tapi lantaran mereka ingin mencoba hal baru. Kebetulan hal barunya menyebalkan bagi kita.

Dua paragraf di atas dari goresan pena usang saya: The Terrible Terrible Two. Tulisan itu juga mungkin sanggup bantu untuk ibu-ibu yang susah nahan emosi.

Kaprikornus apa aja values yang kami terapkan di rumah? Dan gimana values ini sanggup bantu untuk mengelola emosi? Values kami secara umum adalah:

ANAK ITU SUBJEK. BUKAN OBJEK.

Sebagian besar pernah saya tulis di blog ini. Tapi belum pernah dibentuk list kaya gini. Detailnya:

Anak yaitu individu sendiri. Dia anakku tapi beliau BUKAN aku.

Saya nggak mau memaksakan diri saya pada anak. Misal hanya lantaran saya suka gambar, Bebe harus jadi suka gambar juga. Atau lantaran saya dan JG seneng tampil, maka beliau harus seneng tampil juga.

Bebe bukan kami. Dia individu sendiri. Kaprikornus saya dilarang kecewa ketika ia tidak mau atau menolak melaksanakan hal yang berdasarkan saya baik. Yang berdasarkan saya menyenangkan. Yang tetapkan sebuah hal menyenangkan atau nggak itu ya Bebe sendiri.

Ini salah satu cara memahami anak. Less stressful juga lantaran jadinya nggak pernah maksa apa-apa untuk anak.

Kami menghargai semua pendapat Bebe dan tidak pernah meremehkannya.

Ini nih yang sering banget saya liat. Orangtua yang meremehkan anak dan bahkan bilang “alah anak kecil tau apa?” atau “alah kaya yang ngerti aja kamu”.

Anak ingin tahu sesuatu kemudian malah diremehkan lantaran beliau tidak tahu. Kalau kita malas menjelaskan sesuatu sama anak, jangan salahkan bila suatu hari anak juga malas menjelaskan sesuatu sama kita.

via GIPHY

Kami memberi kebebasan untuk melaksanakan apapun yang ia ingin lakukan.

Jika berbahaya, boleh tetap dilakukan asal diawasi. Kaprikornus bebas banget mau ngapain juga boleh. Mau guling-guling di aspal atau nggak pake sepatu ke luar rumah bahkan ke mall sekalipun boleh. Kalau bahaya? Ya didampingi. Makanya sukaaaa sekali sama Montessori.

Karena di Montessori, materi practical lifenya real sekali. Gelas ya pake gelas kaca, gunting ya gunting beneran (bukan gunting anak), semua pake benda yang sama untuk orang dewasa. Kaprikornus kini bila Bebe minta potong roti misal pake pisau beneran ya dikasih pisau beneran TAPI DITEMANI, DIAWASI.

Diberi tahu risikonya. Ini menjadikan rasa percaya diri dan tanggung jawab anak.


Kami memvalidasi emosi. Kamu boleh marah, boleh sedih, boleh kecewa.

Emosi itu normal. Iyalah, lha kita aja sanggup kesel masa anak kecil nggak boleh. Ibunya aja praktis cranky di ketika lapar, masa pas anaknya lapar terus cranky malah kita marahin “KAMU KENAPA SIH?!” Laper bos!

Sejak umur 3 tahun, saya juga sudah memberi tahu bila kau sanggup marah, IBU JUGA BISA. Kalau kau sanggup duka dan nangis, IBU JUGA BISA. Ini bikin anak berempati. Misal saya abis teriak gitu ya lantaran beliau nggak tidur-tidur, beliau eksklusif diem kan. Saya peluk dan tanya “kamu duka kan bila saya marah? Aku juga duka lho bila kau marah”

Nextnya bila beliau murka TINGGAL SINDIR AJA HAHAHA. Nggak deng, tapi labeli emosinya “Wah anak ibu marah-marah terus, kecewa ya lantaran harus berhenti nonton” atau “Oh iyaaa kau duka ya ya udah boleh nangis tapi dilarang makan coklat malem-malem”. Ya masa anak duka nggak boleh nangis. Nanti makin sedihlahhh.

Nangis yaitu salah satu cara mengeluarkan emosi. Nangis itu sehat. Baca nih di sini: 5 Alasan Anak Perlu Menangis

Kaprikornus bila beliau nangis, kami kebal. Kami nggak kalah apalagi marah. Diemin aja sih hahahaha.

Kami akan selalu mendengar Bebe. Selalu dan tidak akan pernah memintanya berhenti bicara.

Bebe yaitu prioritas. Semua ucapannya kami dengar baik-baik jadi ya beneran nggak sanggup ngobrol berdua JG bila ada Bebe lantaran motong mulu beliau sebel dicuekin. Kaprikornus nggak pernah kesel bila Bebe ngomong terus, lantaran ya udah jadi prioritas aja.

Baca lengkapnya di sini: Parenting Butuh Teori!

We treat him like adults.

Menurut Montessori, anak yaitu orang cukup umur yang terjebak dalam badan yang kecil. 
Jadi ya bila kita sebel lantaran satu hal, anak juga niscaya sebel. Saya dongeng apapun sama Bebe dongeng apapun. Saya percaya beliau mengerti. Bahasanya aja yang diubahsuaikan dengan bahasa anak 4 tahun.

Kaprikornus nggak pernah insiden saya menolak menjelaskan dengan alasan "alah udalah nggak akan ngerti kau masih kecil". Saya jelaskan dulu, panjang lebar, bayi keluarnya gimana aja saya liatin videonya (yang gentle birth ya yang nggak jerit-jerit), so far belum ada pertanyaan beliau yang ketika saya jelaskan beliau tetep nggak ngerti. DIA MENGERTI. Anak nggak ngerti itu lantaran kita nggak sanggup jelasinnya. Period.

Kami mengungkapkan sayang dengan kata-kata.

Teori oonnya nih ya, ngungkapin sayang pake kata-kata itu nggak gampang. Nggak semua orang bisa. Kaprikornus bila ngungkapin sayang aja udah biasa, dibutuhkan ngungkapin hal lain juga bisa. “Aku sayang kamu” itu kalimat tersering diucapkan di rumah kami. Saya ke JG, saya ke Bebe, JG ke Bebe, Bebe ke JG semua sesering itu bilang “aku sayang kamu”.

Kaprikornus inget dongeng beberapa ahad lalu, saya lagi mandi, Bebe lagi makan Puyo tapi nggak abis. Terus malah diaduk-aduk dimainin, TUMPAHLAH ITU PUDING, Bebe terus beresin sendiri kan. Perang belum dimulai, JG belum ngomel nih.

Selesai tumpahan puding di meja masuk lagi ke cupnya, EH LOH TUMPAH LAGI. Mulai emosi dong ya. JG (yang dari tadi sambil basuh piring) bilang “kan appa sudah bilang jangan dimainkan! Tutup terus simpan!”

Bebe diem, nggak mau beresin dia. Saya beres mandi, nanya ada apa. Terus saya bilang “Bereskan, kau salah. Kamu harus bereskan”. Terus beliau beresin sambil sedih.

Selesai beberes hingga dilap pakai tisu, Bebe akhirnya bilang “tadi saya nggak sengaja tumpahin lagi itu lantaran mau tutup terus susah tutupnya, jadi tumpah lagi”

HUAAAAAA. Langsung seketika saya peluk dan bilang “thank you for telling me this, saya bahagia kau tetap bertanggung jawab membereskan dan saya juga bahagia lantaran kau berani bilang bila tadi kau tidak sengaja” kemudian JG juga peluk dan minta maaf lantaran sudah menuduh Bebe mainin puding.

MAU MEWEK SIH SUMPAH.

via GIPHY

Karena gimana ya, saya waktu kecil (dan saya yakin kalian di generasi saya juga punya pengalaman serupa), takut aja gitu ngakuin hal-hal kaya gitu ke orangtua apalagi bila abis dimarahin. Kalau ortu udah murka ya kita nggak punya pembelaan. Kalau pun akhirnya kita sanggup membela diri, kemungkinan besar jadi berantem kan sama ortu?

Udah mah kita nggak ngerasa salah, dimarahin, ortunya nggak minta maaf. Wah sebel sih. Nggak heran pas remaja saya berantem terus sama ibu hahahaha.

Kami akan support apapun yang ia inginkan selama tidak melanggar hukum yang berlaku.

Yes. Bebe BEBAS melaksanakan apapun tapi dengan hukum yang berlaku. Aturannya nggak banyak kok, kurang lebih gini doang:

1. YouTube hanya weekend (ini hukum sehabis beliau umur 3 tahun). Baru boleh nonton SETELAH makan.
2. Makan tidak sambil nonton
3. Tidur malam maksimal jam 10
4. Wajib gosok gigi sebelum tidur
5. Harus tidur siang meski weekend
6. Di kendaraan beroda empat harus di car seat

Sisanya bukan hukum tapi lebih ke tanggung jawab:
1. Kalau numpahin sesuatu ya beresin
2. Tiap nyampe rumah, masukin sepatu ke rak sepatu kemudian basuh tangan dan kaki.
3. Kalau salah, sengaja tidak sengaja harus minta maaf


Jangan lupa jelaskan lantaran akibatnya. Kaprikornus nggak pernah drama nggak boleh makan es krim lantaran udah malem. Karena beliau tau sendiri bila beliau makan es krim tandanya beliau harus gosok gigi. Malah kadang beliau jadi males makan yang manis-manis lantaran males gosok giginya lagi. Internal motivation itu bila udah terbentuk jadinya praktis banget hidup kita. Anak jadi mandiri, tetapkan segalanya sendiri, sesuai dengan value yang selama ini diterapkan dalam keluarga.



*

Udah segitu valuenya. Sungguh ekspektasi yang sangat tinggi ya. Nggak heran terlalu takut punya anak kedua. Selain takut bayar daycare, takut juga nggak sanggup mempertahankan idealisme ini HAHAHAHA. Iya idealisme kami bukan BLW atau MPASI homemade emang. Kalau urusan itu mah seraahhh yang penting anak mau makan. Hahahaha.


(Baca: How Are We Gonna Raise Our Kids?

Apa sanggup kaya gini selalu dilakukan? Karena udah terbiasa sih bisa. Kami juga saling mengingatkan TERUS JANGAN BAPER. Kaprikornus saya bila udah capek terus Bebe nanya-nanya saya jawabnya suka asal. Misal Bebe tanya “Bu, kenapa sih lalala” terus saya jawabnya “kenapa yaaaa lantaran begitu deh pokoknyaaaa” Males-malesan asli.

Pasti eksklusif ditegur JG “heh kok jawabnya asal amat” gitu. Jangan baper bila ditegur. Sebaliknya juga, bila JG kaya gitu ya saya tegur juga. Langsung ingetin “ih nanti beliau males nanya lagi loh” gitu.

Kenapa value ini harus saya jembreng kaya gini? Karena saya yakin, berangkat dari sini lah kenapa saya sanggup sabar dan nggak praktis emosian ketika menghadapi tingkah Bebe. Karena saya berusaha paham ilmunya dan selalu berusaha memahami pola pikirnya. MUNGKIN kalian susah nahan emosi lantaran belum merumuskan secara detail, ingin ibarat apa anak kalian?

Kalau sudah dirumuskan, semua akan lebih praktis lantaran kalian tahu persis goalsnya apa. Kalian akan sadar kenapa anak melaksanakan itu? Anak kok begini, saya salah apa? Semua tidak akan blur lagi.

Ya kecuali anaknya masih di bawah 2 tahun ya. Itu masih fase pasrah aja buibu HAHAHA. Di 1,5 tahun sih kayanya Bebe mecahin gelas (karena emang dikasih gelas kaca) dan saya eksklusif colekin kaca ke kakinya biar beliau tahu itu sakit. Dari situ beliau selalu pake gelas kaca dan nggak pernah mecahin lagi.

KALAU PUN mecahin lagi ya udah nggak usah dimarahin sih. Kaya orang cukup umur nggak pernah mecahin gelas aja. Orang cukup umur aja sanggup nggak sengaja jatohin, anak kecil juga bisa. Treat them like we treat ourselves, like adults!

JADI HARUS BANGET NIH BIKIN LIST VALUES BEGINI?

Ih nggak haruslah. Siapa yang bilang harus. Ketika punya anak yang harus itu cuma punya penghasilan yang sanggup ngasih makan anak SISANYA BEBAS. Nggak ada harus ini itu. Valuesnya juga diubahsuaikan dengan value keluarga, di mana kita merasa sanggup melaksanakan itu dan mencontohkannya pada anak. Tiap keluarga niscaya beda dong ya value yang dipegangnya, semacam company culture perusahaan gitu, tiap perusahaan niscaya beda.

Cuma di saya ini berhasil bikin emosi saya lebih stabil, lantaran saya tau apa yang saya perjuangkan. Bikinnya juga nggak perlu sekaligus kok. Hari ini membiasakan satu hal baik, ahad depan membiasakan satu lagi, bulan depan satu lagi. Satu perubahan kecil pelan-pelan lebih baik dibanding nggak berubah sama sekali. <3

Satu lagi, sanggup kaya gini lantaran kami sehat fisik dan mental, lantaran kami nggak punya problem pribadi lain. Kalau kalian punya problem pribadi lain dan jadi nggak fokus urus anak, semoga cepet ketemu solusinya yaaaa. Aamiin.


-ast-

Detail ►

Semua Yang Jadi Perihal Anak

Satu hal yang sering saya bahas dengan JG dulu sebelum menikah dan selama hamil, apakah ketika kita punya anak dan harus mengobrol dengan orang lain, topik kita jadi akan melulu soal anak?


Kalau lawan bicara sudah punya anak juga sih masih sepakat ya, jikalau lawan bicara belum atau tidak punya anak (ya menyerupai kami dulu ketika membahas itu), haruskah kita kehilangan sekian banyak topik dan hanya membahas wacana anak kita sendiri?

Karena dulu kami sepakat pada satu hal: mendengar orang membicarakan anaknya sendiri nonstop sementara kami menikah saja belum, itu menyebalkan. Kaya mikir emang nggak ada serpihan lain dari hidup lo yang nggak dapat diceritain gitu?

Berpegang teguh pada prinsip itu, maka saya sangat berusaha tidak membicarakan Bebe di lembaga umum (seperti di meja makan siang yang ramai) KECUALI ADA KONTEKSNYA ATAU KALAU DITANYA. Kalau nggak ditanya saya nggak tiba-tiba buka topik soal anak “eh kemarin Xylo lucu deh beliau ngapain dan ngapain …” Sejak Bebe bayi hingga sekarang, saya masih menyerupai itu.

Kaprikornus jikalau ngobrol sama saya, topiknya akan sangat bermacam-macam dari Twitter, selebgram, politik, skin care, you name it. Begitu pun dengan JG. Kami se-ekstrovert itu hingga mikirin banget topik ngobrol sama orang sebab kami seneng banget ngobrol dan takut orang bosan jikalau ngobrol dengan kami hahahaha.

Sampai ke sesi team building yang yah, topiknya banyak yang sangat personal. Dan sering sekali tanggapan saya ya wacana Bebe. Berkali-kali saya harus bangun di hadapan 20 sekian orang dan membahas wacana Bebe. Membosankan. Saya jadi orang membosankan itu.

via GIPHY

Salah satu pertanyaannya adalah: kalau satu hari mau tuker jadi orang lain, kau mau jadi siapa?

Saya jawab saya ingin jadi Xylo. Karena ingin tahu apakah saya cukup baginya? Apakah ada yang terlalu menyakiti? Apakah ada yang terlalu menyebalkan? :(

Nah, ahad berikutnya ditanya personal goals, saya jawab ingin Bebe masuk sekolah di SD yang kami inginkan meskipun chance-nya tipis sekali.

PERSONAL GOALS = SEKOLAH BEBE. Merenung sendiri sebab apanya yang personal coba huhu bahkan definisi personal saya aja blur sekali sekarang.

Orang lain kan goalsnya punya cat cafe, kerja di London, dan banyak sekali keinginan pribadi lain. Saya mikirin personal goals saya sendiri, ada beberapa sebetulnya, tapi untuk ketika ini nggak ada yang lebih saya inginkan di dunia ini selain Bebe masuk SD itu. Harus SD itu. :(

Biarlah saya dianggap membosankan ya sebab ternyata benar, kini semua jadi wacana anak. Mau tidak mau, suka tidak suka, ketika kalian punya anak dan mau bertanggungjawab pada anak itu, semua jadi wacana anak.

Apa saya jadi kehilangan diri saya? Tentu!

Tidak perlu meromantisasi, menghibur diri, dan bilang “nggak ah nggak hilang kok, semua worth it demi anak”. Ada yang hilang ya akui saja hilang, semua demi anak ya benar juga. Anak yang diutamakan, personal goals kita jadi hilang. Diubah di sana dan di sini.

Pesan moral bagi kalian yang mau menikah dan ingin segera punya anak, sudah siap kehilangan diri sendiri? Sudah selesaikah dengan diri sendiri? Saya mungkin sudah seselesai itu sehingga ditanya personal goals pun jawabannya tetep soal anak.

Karena jikalau belum selesai dengan diri sendiri, jadinya akan complicated banget lho. Akan banyak penyesalan dan bukan mustahil akan kita limpahkan ke anak jikalau si anak dirasa mengecewakan: “ibu udah begini dan begitu demi kamu!”

Keyword “demi kamu”. Apakah anak minta biar diprioritaskan? Tidak pernah. Apakah Bebe minta sekolah yang saya inginkan itu? Tidak. Saya yang mau. JG yang lebih mau banget. Kaprikornus memang untuk Bebe, tapi sepenuh-penuhnya itu keinginan saya dan JG. Pada akibatnya itu jadi personal goal kami. Malah sepersonal itu.

Saya mikirin lagi apa personal goal saya sebagai diri sendiri dan bukan sebagai orangtua? Ada, beberapa. Tapi kemudian sesudah dipikir-pikir lagi pada akibatnya demi lebih banyak uang sehingga dapat liburan sama JG dan Bebe hahahahaha.

Kaprikornus ya mungkin saya memang sudah jadi tante-tante. Mungkin saya sudah jadi bude-bude yang membosankan. Semua wacana diri sendiri jadi masa lalu, semua wacana keluarga jadi masa kini dan masa depan.



via GIPHY

Mungkin saya dapat santai bicara menyerupai ini sebab saya punya kehidupan lain selain jadi ibu. Kalau yang melulu di rumah dan full sama anak terus, cari hobi deh. Cari sesuatu yang kalian suka dan dapat kalian kerjakan sehingga dapat sejenak nggak memikirkan soal anak. Ya biar nggak jenuh aja.

Saya beruntung sebab punya pekerjaan, menulis buku, sharing di Instagram, menulis blog, punya banyak sekali acara di luar tugas jadi ibu dan tidak melulu bersama anak. Meskipun ya tetep nulis buku soal anak, sharing di Instagram soal anak juga, nulis blog ya apalagi jikalau bukan soal anak, bahkan kerja di kantor aja kini bahasnya parenting. Kurang membosankan apa hidup saya? Passionate amat kayanya sama parenting. XD

Tapi mungkin sebab saya rajin share soal Bebe di platform online loh jadi rasanya cukup. Mungkin memang setiap orang JUGA ingin selalu dongeng wacana anaknya tapi mereka nggak punya blog, nggak main Instagram, apalagi nulis buku, jadi dongeng anaknya melulu di lembaga offline. Buat saya mending nulis online sih, mau baca silakan, nggak mau ya nggak usah. At least saya nggak memaksa orang untuk dengerin saya dongeng wacana anak saya. YA NGGAKKKK?

Ini kayanya makin nggak terang deh jadi ya udah gitu aja pokoknya yang penting ditulis deh daripada pusing dipikirin doang. Selamat menyambut Senin semuanya!

Kaprikornus apa personal goal kalian sesudah punya anak? Masih punya sesuatu yang personal? Apa ujung-ujungnya untuk anak juga menyerupai saya? ;)

-ast-

PS: Kemarin malam saya tanya eksklusif sama anaknya, “Ibu nyebelin nggak sih? Xylo pernah mikir mau ganti ibu nggak?” Dia menggelang dan peluk terus bilang “nggak kok saya nggak mau ganti ibu” uncchhhh gemas. :’)

Detail ►

Mengajarkan Bahasa Inggris Pada Balita, Perlukah?

[SPONSORED POST]


Di blogpost saya ahad lalu, saya sudah sedikit bercerita perihal 2-3 ahad belakangan ini saya sedang mencoba mengajarkan bahasa Inggris pada Bebe.

Eh malah tiba-tiba diundang EF dan MommiesDaily ke talkshow "Multilingual at Early Age, Why Not?" dan saya terharu saking pas banget momennya hahahaha. Iya beneran, pas mulai bilingual sama Bebe kemarin itu saya nggak tau akan diundang ke event ini. :')

Talk show ini digelar di EF fx Sudirman 22 Februari lalu, dipandu oleh Donna Agnesia dan menghadirkan psikolog Roslina Verauli (panggil saja mbak Vera) dan Meta Fadjria, pengajar di EF Indonesia yang sudah berpengalaman menjadi guru bahasa Inggris anak selama 18 tahun.

Saya bagi jadi beberapa part ya! Baca hingga simpulan lantaran membukakan mata dan banyak fakta-fakta yang saya gres tahu perihal pentingkah mengajarkan lebih dari satu bahasa pada balita.

Yuk!

Bilingual dan speech delay


Iya ini sering banget jadi topik jikalau lagi ngomongin bilingual: bilingual sebabkan speech delay atau terlambat berbicara. Bahkan saya sendiri kemarin nulis gitu hahahaha deym. Maklum belum tau yaaa.

Nah, dari talk show ini saya jadi yakin jikalau bilingual atau bahkan multilingual itu nggak ada hubungannya sama speech delay atau terlambat bicara.

"Tapi ada anak temen gue bilingual dan beliau speech delay," sering dong denger kaya gitu?

Ya saya aja sering banget. Padahal berdasarkan psikolog Roslina Verauli (panggil saja mbak Vera) itu nggak ada hubungannya. Anak yang memang ada talenta speech delay, monolingual (satu bahasa) aja beliau niscaya gagal. Apalagi dua atau lebih. Nangkep nggak?

Intinya gini, misal ada anak yang berpotensi speech delay. Diajarin satu bahasa aja udah nggak bisa sebenernya. Dengan satu bahasa aja udah niscaya speech delay. Eh malah diajarin dua bahasa sekaligus. Begituloh gengs, jadi nggak ada hubungannya yaaa! Iyaaaa!

As concerns children, many worries and misconceptions are also widespread. The first is that bilingualism will delay language acquisition in young children. This was a popular myth in the first part of the last century, but there is no research evidence to that effect. Their rate of language acquisition is the same as that of their monolingual counterparts.-- Francois Grosjean, PhD

Dari umur berapa anak sebaiknya diajari beberapa bahasa?

Dari bayi!

Tau nggak sih jikalau tangisan bayi di setiap negara itu berbeda? Tangisan yaitu bahasa pre-verbal dan sudah menyesuaikan dengan bunyi dan bahasa orangtuanya. Kaprikornus nangis anak Indonesia sama anak Amerika gitu beda! Canggih ya!

Peak time *halah* anak dalam berguru berbahasa yaitu dari 0 hingga 6 tahun. Lewat 6 tahun, berguru bahasa gres tidak akan secepat saat usia di bawah 6 tahun.

Baru hingga sini saya pribadi jadi lebih semangat ngajarin Bebe bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Mumpung gres 2,5 tahun yakan. Eh langsung dikritik sama mbaknya di daycare.

"Ah bu, Salo sih bahasanya udah bisa dua, Indonesia sama Sunda. Kalau dibilang 'ibak yuk' (mandi yuk) ngerti dia," kata mbak daycare yang kebetulan orang Sunda juga.

😂😂😂

Dan kemudian saya gembira HAHAHAHAHAHAHA. Soalnya alhasil Bebe bisa tiga bahasa! Trilingual, how cool is that! Ya zaman kini gituloh, bawah umur kecil di mall ngomong bahasa Indonesia aja nggak bisa, saking Inggris terus. Akan super cool jikalau Bebe bisa bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Sunda!

Yosh! 

Kenapa anak harus berguru lebih dari satu bahasa?

Kalau saya sih lantaran ngerasain sendiri orang yang bisa bahasa abnormal itu lebih punya banyak kesempatan dibanding orang yang hanya bisa satu bahasa. Minimal bisa jadi translator atau kerja di embassy negara yang bersangkutan lah.

Terus iyaaa, saya kompetitif. Dalam artian saya ngeri sendiri melihat bawah umur lain udah pada bisa bahasa Inggris dari bayi. Salut banget sama ibu-ibu yang udah konsisten pake bahasa Inggris dari anaknya lahir. Apalagi yang konsisten ibunya bahasa Inggris dan bapaknya bahasa Indonesia. Soalnya ribeeettt!

Dulu juga pas hamil saya niatnya gitu, tapi pas lahir haaa bubar semua. Duh ngurus anak aja udah ribet apalagi harus memikirkan berkomunikasi pake dua bahasa. Saya masih waras hingga kini aja udah bersyukur lol. 


Nah jikalau berdasarkan Mbak Vera, ini kelebihan anak yang bisa lebih dari satu bahasa:

- Kognitif: anak bilingual IQ-nya lebih tinggi. Lebih baik dalam tes atensi, daypikir analitikal, pembentukan konsep, kemampuan verbal, dan fleksibilitas berpikir.

- Sosiokultural: anak bilingual lebih handal dalam kesadaran metalinguistik (seperti mendeteksi kesalahan dalam grammar, memahami arti dan hukum dalam percakapan untuk berespon sopan/relevan/informatif). Memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik.

- Personal: kemampuan bersaing dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik

Ya kan. Yang kepingan personal mungkin spesifik jikalau menguasai bahasa abnormal ya. Kalau bahasa kawasan apa bisa disamakan juga?

Bukan merendahkan bahasa kawasan tapi seberapa kuat sih kemampuan berbahasa kawasan dengan kemampuan bersaing untuk menerima pekerjaan yang lebih baik?

Kayanya nggak terlalu ngaruh ya. CMIIW. Tapi mungkin juga lantaran bahasa kawasan itu kurang Istimewa jikalau masih di negara aslinya. 

Tentang Language Mixing

"Ih tapi anak bilingual suka galau bahasa tau, ngomongnya jadi campur-campur Inggris Indonesia digabung."

Sering juga dong denger kaya gitu? Kaprikornus anak kecil bilang "ibu saya mau yang green!" atau "mommy i want eat nasi" itu namanya language mixing and it's a good thing! Karena itu berarti proses berguru berjalan lancar. Bukan malah berarti anak galau bahasa.

Iya, berdasarkan Mbak Vera, language mixing yaitu salah satu tanda anak sudah menguasai kedua bahasa. Cuma aja beliau masih galau atau lupa kata itu dalam bahasa satunya apa, jadi beliau sebut yang duluan keinget.

Here is also the fear that children raised bilingual will always mix their languages. In fact, they adapt to the situation they are in. When they interact in monolingual situations (e.g. with Grandma who doesn't speak their other language), they will respond monolingually; if they are with other bilinguals, then they may well code-switch. -- Francois Grosjean, PhD
Nah semakin dewasa, nanti juga semakin bisa memisahkan bahasa ini. Contohnya kita aja deh, jikalau ada yang nanya "how are you?" niscaya otomatis kita jawab pake bahasa Inggris. Atau ada yang nanya pakai bahasa Sunda gitu, kita otomatis jawab pake bahasa Sunda kan. Karena kita menguasai semua bahasa itu, jadi kita udah nggak kesulitan lagi switch ke bahasa lain, tergantung pada lawan bicara.

Bolehkah berguru bahasa abnormal lewat YouTube?

Atau ya lewat gadget/TV lah menyerupai film atau lainnya?

Buibu, jawaban dari pertanyaan itu akan menciptakan kita merasa gagal sebagai orangtua HAHAHAAHHAHAHA.

Menurut Mbak Vera, anak sebaiknya tidak dikasih gadget hingga usianya ... 30 bulan atau 2 tahun 6 bulan. Supaya anak tetap bersahabat dengan ibunya dan tidak kecanduan.

*ayo nangis dan pelukan sama-sama lol*

Intinya gadget bukannya tidak boleh, tapi sebisa mungkin ditunda dan dibatasi. Maksimal 2 jam sehari! Syukurlah, Bebe sehari kayanya nggak pernah sih lebih dari 3 jam. Aku nggak gagal-gagal amat lol.

Belajar bahasa dari gadget juga boleh tapi sebaiknya didampingi. Kaprikornus tetap ada kedekatan anak dan orangtuanya. Lebih anggun lagi membaca buku bahasa Inggris dibanding nonton pakai gadget. YAIYALAAHHH.

Karena bahasa itu sikap sosial. Dibutuhkan interaksi anak dengan insan hidup lain di sekitarnya. 

"Ah anak saya bahasa Inggris nya sepakat kok padahal cuma nonton Disney Channel doang."

Iya iyaaa. Percaya kok hahahaha. Ya namanya juga pilihan kan buibu, mau ngajarin pake media apa. Nggak ada yang paling benar atau paling salah ok!


Tapi soal gadget ini ada omongan Mbak Vera yang nyangkut banget sama saya hingga kepikiran. Kurang lebih gini:

"Anak kecanduan gadget itu bukan inti masalah, tapi jawaban dari suatu masalah. Orangtua niscaya punya masalah, anaknya melarikan diri dengan gadget. Sama dengan selingkuh, ada problem dulu yang menjadikan selingkuh, bukan menduakan kemudian jadi masalah."

WOW. Bener juga. Masalahnya ada di orangtua yang males nemenin anak maka anak dikasih gadget dan kemudian beliau kecanduan. Gitu kan? 

Apa cara paling efektif untuk mengajari anak bahasa asing?

Saya baca di mana gitu lupa, untuk bahasa kedua, anak bisa dipapar selama 30% sehari. Kaprikornus dari seharian, 70% bahasa pertama yang sudah beliau kuasai, 30% bahasa kedua.

Kalau berdasarkan mbak Vera, ini tips mengajarkan bahasa abnormal pada balita:

- Bantu anak mendengar sebanyak banyaknya
- Belajar diksi lewat nyanyian. Kaprikornus dikasihtahu, artinya apa.
- Kalau anak salah jangan dimarahi. Misal beliau salah jawab, tapi udah bener bahasa kedua, itu anggun lantaran artinya beliau mencoba.

Gimana jikalau pengen banget berguru bahasa Inggris tapi orangtuanya nggak bisa mengajari? Ya itu tandanya butuh dukungan orang lain. EF English First ternyata punya lho aktivitas untuk balita. Saya gres tau banget lantaran dipikir untuk anak sekolah dan profesional aja.

EF punya aktivitas Small Stars untuk anak berusia 3 hingga 6 tahun. Programnya memakai metode EFEKTA System dengan tahapan Learn, Try, Apply, dan Certify.


Lengkapnya bisa dilihat di sini ya: Small Stars EF. Klik!

Tapi tetep lho, meski pendidikan bahasa Inggris di-outsource-kan pada EF, tugas orangtua tetap yang utama. Karena berdasarkan mbak Meta yang sudah jadi pengajar EF usang sekali, anak akan lebih berhasil berguru dengan dukungan penuh dari orangtua.

Kalau Bebe gimana?

Nah saya sendiri sengaja mengajarkan satu bahasa dulu (Bahasa Indonesia) ke Bebe hingga beliau benar-benar lancar. Sekarang nyesel nggak nyesel sih.

Nyesel lantaran kaya dari nol lagi ngajarin Bebe ngomong bahasa Inggris. Nggak nyesel lantaran jikalau hingga Bebe speech delay, saya juga niscaya nyalahin diri sendiri kenapa bilingual segala. Iya meskipun nggak ada hubungannya, tapi kan paling praktis nyalahin diri sendiri huhu.

Awalnya beliau murka lho, lantaran merasa saya bicara sesuatu yang nggak beliau ngerti. Saya pakai metode dua bahasa, jadi saya sebut bahasa Indonesia kemudian bahasa Inggrisnya.

Kaprikornus ngomong apapun, ngomongnya dua kali "Xylo, lapar? Xylo, are you hungry?" atau "Nggak boleh gitu ya! No you can't do that ok!"

Sama ya baca buku sih. Buku-buku bahasa Inggris yang dulu dibacakan pakai bahasa Indonesia mengarang bebas, kini dibacakan bahasa Inggrisnya. Nonton juga masih kok, tapi agak nggak yakin beliau nangkep sih. Hahaha.

Minggu pertama beliau marah-marah. Minggu kedua mulai memperhatikan. Minggu ketiga udah blabbering! Dia udah ngeh beberapa kata meskipun ngomongnya masih malu. Warna dan hewan sederhana juga udah mulai hafal huhu maaf ya muji anak sendiri terus. #shamelessmom

Kalau JG kuat banget ngomong Inggris doang meski Bebe hah hoh. Saya nggak tega jadi aja masih campur. Tapi mulai blabbering aja udah bahagia. Ya kaya bayi aja kan pertama kali berguru ngomong juga blabbering dulu.

Kaprikornus misal kemarin, JG sama Bebe di ruang tamu terus JG bilang ke Bebe "kasih ibu dan bilang 'ibu this is for you'." Terus Bebe ke kamar dan beliau mengucapkan kata-kata entah apa "dbhzjsjsbsjznsk" HAHAHAHAHAHA. Mungkin di otaknya bener "this is for you" lol.

Rencananya nanti preschool nya gres akan bahasa Inggris atau nanti jikalau anaknya nggak mau preschool ya mungkin akan ke EF aja supaya suasananya nggak terlalu "sekolahan". Tapi long way to go hingga Bebe ke usia itu jadi kini masih akan diusahakan oleh saya dan JG dulu.

*

Kaprikornus ya begitulah. Semoga membantu ya. Ayo ajarkan anak bahasa kedua! Bahasa Korea juga boleh semoga bisa bantu ngobrol sama oppa. 😂

See you!

-ast-

Source for the Francois Grosjean, PhD quotes: http://www.francoisgrosjean.ch/bilingualism_is_not_en.html
Kids images:Designed by Freepik

Detail ►

Bercermin Dari Anak

Kemarin ketika program Mommies Daily sama Biore, ibu Widi Mulia (iya Widi ‘B3’) share sesuatu yang kena banget dan ya menyerupai biasa bila dapet sesuatu yang inspiring ya harus share juga dong agar dapat menginspirasi lebih banyak orang.


Makara ceritanya pas sesi tanya jawab itu ada ibu yang curhat, gimana agar belum dewasa nggak berantem terus? Karena ia udah pusing urus 2 anak, ketambah ini belum dewasa berantem terus.

Saya merhatiin ibu ini dari awal acara. Ibu ini emang ambisius, malah pas sesi games aja ia kecewa banget alasannya yaitu nggak menang. Kecewa hingga misuh sama suaminya gitu lho. Padahal ya namanya games ya, it’s supposed to be fun.

Makara pas ia nanya gini saya maklum banget alasannya yaitu mungkin sehari-hari ia emang sestres itu harus ngurus dua anak. Apa tanggapan Widi?

Widi share tips gimana ia emang sengaja didik Dru sebaik mungkin agar adik-adiknya tinggal teladan Dru. Makara semenjak lahir, Dru dididik sebaik mungkin alasannya yaitu mereka yakin benar akan punya anak lebih dari satu, dan Dru harus punya pribadi yang baik alasannya yaitu mau nggak mau adik-adiknya akan mencontoh dia.

Mereka juga kebiasa nggak ikut campur duduk perkara anak-anak. Makara bila belum dewasa berantem ya suruh selesain sendiri. Jangan malah jadi saling ngadu ke ibu terus ibunya yang selesain. Bahkan sama Denden yang masih kecil aja, harus diselesaikan sendiri.

Tapi yang paling kena bukan itu. Ya mungkin alasannya yaitu anak saya cuma satu ya. Yang justru dapet banget dan kaya ketonjok yaitu kalimat yang ini.

(kurang lebih ngomongnya gini ya ga plek ketiplek saya soalnya nggak nyatet juga)


“Sebagai orangtua kita bercermin dulu, berapa sih nilai kita dalam membesarkan anak-anak? Misal kita kasih nilai 7 sebagai orangtua, ya kita jangan berharap anak jadi dapat punya nilai lebih dari itu. Karena orangtua yang nilainya 7, anaknya juga akan punya nilai 7”

WAW. KEMUDIAN KUMERENUNG BANGET SIH.

via GIPHY

Kasarnya gini ya, kalian ngeluh anak kalian nggak dapat diatur, bikin ulah terus, nggak dapat diajak kerja sama. Pertanyaannya: apa yang sudah kalian usahakan agar anak dapat diajak kerja sama?

Kalau misal sudah berusaha, seberapa besar perjuangan kalian? SEBERAPA NIAT?

Mungkin terlalu sering bentak? Mungkin nggak pernah bilang baik-baik sambil natap matanya? Mungkin nggak pernah validasi perasaan anak?

Mungkin kurang quality time? Mungkin nggak pernah fokus dengerin anak? Mungkin nggak pernah bener-bener temenin anak main?

Mungkin nggak pernah nanya apa yang bikin bahagia atau murung hari ini? Mungkin kurang pelukan? Mungkin kalian punya duduk perkara pribadi yang jadi kebawa ketika komunikasi sama anak?

Intinya: perjuangan kalianlah yang mencerminkan bagaimana anak kalian bersikap.

(Baca: Mencari Diri Sendiri)

Saya tentu pribadi mikir juga. Iya sih, saya bersyukur alasannya yaitu hidup kayanya lagi kalem-kalem aja jadi dapat netral banget bila menilai Bebe. Kalau ada sesuatu yang bikin saya kurang puas sama Bebe, saya dapat berpikir jernih dan refleksi diri dulu: apa nih yang harus diberesin? Salah di mana nih?

BAGIAN ITU SAYA MERASA SUDAH MELAKUKAN HAL YANG BENAR. Nah tapi ada hal lain yang lebih menohok.

Yaitu ekspektasi pada anak yang kadang nggak sesuai sama perjuangan kita. Saya mau Bebe tulisannya manis tapi duh ngajarin nulis aja males. Saya mau ia suka baca tapi duh bacain buku aja nggak tiap hari kini alasannya yaitu ngantuk dan berjuta alasan lainnya.

Makara bila liat anak orang yang waw pinter banget, saya pribadi mikir wah dapat nggak ya Bebe kaya gitu? Gimana Bebe mau kaya gitu sih weekend aja dikasih gadget terus alasannya yaitu capek bila main dua hari full.

Untungnya kini Bebe lagi suka gambar, jadi bila saya atau JG lagi gambar, Bebe jadi ikut gambar juga. Sisanya? Ya Bebe nonton dapat berjam-jam. Makanya saya kasih syarat banget boleh nonton bila udah keluar rumah, udah makan.

Kalau ditotal dalam seharian itu mungkin dapat hingga 6 jam ia nonton. Ya 2 kali saya dan JG nonton film lah. Mentok kami nggakb dapat nonton lebih dari 2 film alasannya yaitu dengan demikian Bebe juga akan nonton terlalu lama. Segitu juga nggak nonstop sih, berhenti untuk makan, untuk mandi, untuk les renang, dll.

Jadi sering banget terjadi percakapan ini dengan JG.

JG: “Eh si Bebe bila weekend kelamaan nggak sih nonton doang? Apa kita kurangin lagi nontonnya cuma boleh sehari doang?”

Jawaban saya selalu: “KAMU mampu nggak nemenin ia seharian full tanpa YouTube sama sekali? Aku sih nggak sanggup”

JG juga ya nggak mampu alasannya yaitu ya kami berdua juga bila weekend pengen nonton film, pengen leyeh-leyeh, baca buku, YANG HANYA BISA DILAKUKAN KALAU BEBE NONTON.

Gimana anaknya mau berubah bila kita nggak berubah? Nggak dapat kan?

Begitu pula dengan hal lain. Gimana anaknya nggak emosian sih bila kitanya emosian?

(Baca: Mengajarkan Emosi pada Anak)

Banyak DM yang saya terima bilang mereka nggak pernah divalidasi emosinya sama orangtua zaman dulu. Sekarang jadi susah sekali memvalidasi emosi anak. Dulu sering dibentak, maka kini dengan tidak sengaja jadi juga sering membentak. AYO KITA UBAH! Itu mata rantai yang harus kita putus kini juga.

Kaya yang sering saya bilang: MARI KOREKSI GAYA PARENTING ORANGTUA KITA. Apa yang tidak kita sukai dari gaya parenting orangtua, JANGAN dilakukan lagi pada anak. Karena nanti anak kita akan melaksanakan itu lagi ke anaknya dan seterusnya. Seperti juga orangtua kita melaksanakan itu alasannya yaitu ia meneruskan nenek kakek kita, buyut kita, dan seterusnya. STOP DI KITA. We can do it!

Suka tidak suka, perilaku KITA tercermin pada anak KITA. Mungkin tidak selalu, tidak semuanya, tapi tidak ada salahnya memperbaiki diri sendiri dulu sebelum menuntut apapun dari anak.

Apakah dengan demikian saya jadi percaya bila anak yaitu kertas kosong yang dapat diisi sesuka hati orangtuanya? DUH COME ON. Males amat ngomentarin ini.

Percaya atau tidak percaya, tidak akan mengubah apapun. Ini hanya sebuah renungan, untuk refleksi diri bahwa kadang ekspektasi kita pada anak kadang terlalu tinggi. Kadang tidak seimbang dengan perjuangan yang kita lakukan.

Demikian semoga dapat jadi ide juga yaaa!

-ast-

Detail ►

Hidup Yang Kita Pilih


Minggu kemudian saya nonton konser lagi sesudah 5 tahun lamanya. Lama juga ya 5 tahun nggak nonton konser hahaha. Sebenernya artisnya sempet ke sini sih 2 tahun lalu, tapi waktu itu kan saya punya bayi. Boro-boro nonton konser, nonton bioskop aja nggak kepikiran sama sekali. Makara waktu itu skip.

Sekarang alasannya Bebe udah gede, udah bisa ditinggal dengan manis (meski ibu ngakunya kerja lol), dan nggak nangis sama sekali. Akhirnya saya nonton. Sepanjang nonton rasanya campur aduk. Terakhir saya nonton 5 tahun yang kemudian itu juga saya udah nggak liputan sih, udah beli tiket sendiri. Tapi kemarin rasanya kaya “goyang” gitu sama pilihan hidup hahahaha.

Karena lagi nonton konser terus kepikiran Bebe besoknya sekolah hari pertama.

Sebebnya saya ada di tengah-tengah. Di satu sisi, saya punya teman-teman seumuran saya yang masih concert goers banget. Salah satu temen orang Singapur, udah nonton konser kemarin itu 6-7 kali. KONSER YANG SAMA LOH. Set listnya sama. Dari Singapur ia masih kejar hingga Bangkok, Hong Kong, beberapa kota di Australia, Indonesia, dan nanti Malaysia.

Ada juga satu orang lagi yang bahkan ngejarnya hingga ke Amerika! Orang-orang ini belinya juga selalu VIP, sewa bis kecil buat ikut ke bandara, dan nginep di hotel sekitar venue konser.

Saya juga pernah begitu. Meskipun ya nggak ke 6 negara juga ya. Dan jika kalian menduga itu semua alasannya kami kaya raya, nggak juga sih. NABUNG LAH! Pernah saya ceritain di sini: Mengubah Mimpi.

Poinnya adalah, ternyata sesudah puluhan konser dalam dua tahun, saya hingga pada titik yang dibilang orang “mau gini-gini aja nih hidup?” Kemudian saya merasa harus move on, menikah, punya anak, dan hidup saya berubah hanya dalam hitungan bulan.

Sekarang saya masih bisa nonton konser, jauh lebih bisa dan beberapa tahun lalu. Tapi kan mikirin Bebe masa ditinggal terus. Atau masa bela-belain Bebe di rumah aja sama mbak yang lebih murah supaya uang daycare bisa ditabung untuk nonton konser. Kan nggak begitu.

Padahal jika dipikir lagi, apa coba definisi “gini-gini aja hidup”? Gimana sih hidup yang “gini-gini aja” itu?

Apakah hidup kaya temen saya? Usia hampir 30, nggak menikah apalagi punya anak, nabung ya buat nonton konser di mana-mana. Atau temen saya yang lain, seumuran juga, nggak menikah apalagi punya anak, nabung ya buat traveling aja.

Apa lantas hidup mereka “gini-gini aja” hanya alasannya mereka memutuskan untuk tidak menikah dan punya anak?

Kenapa mereka suka direcokin orang dengan “mau hingga kapan main terus!”

Ya hingga nanti-nanti lah. Artisnya juga manggung hingga nanti-nanti kan. Tempat liburan yang dituju juga masih banyak yang belum kesampaian. Nggak apa-apa banget kan kaya gitu. Ya yang penting kan kerja dan menghasilkan uang untuk hidup dan bahagia. Apalagi coba.

Kalau saya, saya ternyata dengan sadar menentukan untuk menikah di usia ideal masyarakat Indonesia untuk wanita perkotaan, 25 tahun. Saya menentukan untuk punya anak, saya menentukan untuk cari uang dan tiba-tiba prioritas segalanya untuk anak.

Tapi alasannya saya melaksanakan ini, nggak berarti kalian semua juga harus melaksanakan ini. Karena kadang saya nyesel juga kenapa sih saya buru-buru settle down dengan nikah dan punya anak secepat itu hahahaha. Makanya kemarin pas seru-seruan nonton konser rada mikir, ini gitu hidup yang saya mau? Kan mending kerja buat diri sendiri seneng-seneng aja!

Kalau udah gitu kan balik lagi, ini pilihan saya dulu, tanggung jawab dong dengan pilihan itu. Satu hal, jika pun dulu saya nggak menentukan menikah, mungkin saya menyesal juga dengan pilihan tidak menikah. Kita nggak pernah tau dan kemungkinan penyesalan selalu ada, apapun jalan yang kita pilih.

It's not that I'm not happy, I AM. Cuma kan maklum jika kadang mikir "eh jika dulu gini gimana ya?" Biasalaahh. Wajar terjadi. HAHAHA.

(Baca: Memaknai Pilihan)

Kalian yang nggak mau menikah dan menentukan untuk menyenangkan diri sendiri seumur hidup tanpa harus membaginya dengan dana pendidikan juga jadinya nggak apa-apa banget! Nggak usah dengerin kata orang alasannya orang yang ngomong itu nggak bayarin tiket senang-senang kalian.

Dan jangan mau dibilang "gitu-gitu aja". Buktikan dengan kalian sendirian, kalian punya pengalaman yang jauh lebih banyak dan menyenangkan dibanding orang yang judge kalian dengan "gitu-gitu aja". Bikin bucket list dan selesaikan satu-satu.

Jangan takut dibilang “anak tuh bisa bikin hidup lebih semangat”. Iya bener banget kok statement itu. Tapi nggak berarti yang nggak punya anak hidupnya jadi nggak semangat kan. Semangat kan bisa dateng dari mana aja. Lagian apa kabar atuh orang yang udah bertahun-tahun perjuangan punya anak tapi nggak bisa? Apa hidupnya jadi kurang semangat?

Bos di kantornya JG ada yang masih muda udah jadi GM. Makara general manager di korporasi sebesar itu, perempuan, udah pernah tinggal di sekian negara. Nggak nikah dan nggak punya anak. Tapi dengan pencapaiannya, nggak mungkin dong beliau hidup tanpa semangat?

“Anak ngasih arti lain sama kehidupan”. Iya bener juga kok. Cuma ya jangan jadi judge orang-orang yang tidak mau menikah dan punya anak sebagai egois dan hidupnya tidak berarti. Semua orang mengartikan sendiri hidupnya. Nggak butuh orang lain untuk mengartikan hidup kita.

Cuma kadang berat di orangtua ya. Orangtua meski udah nggak bayarin apa-apa tapi suka teteeppp pengen anak-anaknya nikah. Karena seolah kiprah mereka tunai sudah saat bawah umur menikah. Sabar-sabarin aja hahaha.

(Baca: Menjaga Perasaan (Siapa?))

Asal satu hal, jika nyesel jangan ngerugiin orang lain!

Saya pernah denger dongeng suami yang tergila-gila main game lagi dan kesudahannya nelantarin anak istri. Padahal sebelum nikah udah nggak main game. Suatu hari beli komputer gres yang harganya puluhan juta dan mulai lah beliau main game lagi. Nggak perlu kerja memang alasannya anak orang kaya. Tapi anak dan istri nggak diperhatikan lagi.

Nah jika gitu tandanya udah merugikan orang lain dong. Jangan gitu-gitu amat lah gengs.

Hidup seimbang aja bisa kok. Misalnya saya, saya berencana nonton konser setahun sekali (kalau konsernya ada lol). Ada juga temen saya yang anaknya dua, punya “jatah” liburan sendirian (tanpa anak dan suami) sekali setahun. Fair lah. Menyeimbangkan kehidupan jadi ibu dan jadi diri sendiri itu penting dong. Masa kerja capek-capek semua full demi anak? Hahaha.

Judge saja saya silakan.

Makara ya, apa pilihan hidup kalian? Pernah nyesel nggak?

-ast-

Detail ►

Mendefinisikan Nakal


Bulan kemudian saya belanja bulanan di Bandung. Pringles lagi diskon buy 1 get 1 free. Ini pertama kali Bebe makan cemilan model begini, biasanya beliau makan mentok biskuit doang. Coklat dan permen belum pernah makan. Excited dong Bebe.

JG antri di kasir, saya ambillah itu Pringles dan ajak Bebe duduk di dingklik depan supermarketnya. Di dingklik itu ada anak umur 4 tahunan bangun di kursi, bersama wanita setengah baya yang saya duga neneknya. Ternyata benar,

*Ah elah mau bilang anak umur 4 tahun duduk sama neneknya aja ribet lol*

Karena Bebe excited ingin makan, Bebe kalem. Dia elok sekali. Nggak lari-lari atau apa. Si nenek itu ngeliatin kami terus hingga kesannya nyeletuk.

"Berapa tahun ini neng? Meni (kok) santai gitu, ini mah nakal," katanya sambil menunjuk sang cucu.

NAKAL. INI MAH NAKAL. SI CUCU DIBILANG NAKAL.

T________T

na.kal
[a] (1) suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dsb, terutama bagi anak-anak) (2) jelek kelakuan (lacur dsb) - source kbbi

Saya jawab, "Dua tahun setengah bu, badung kenapa emangnya?"

"Ya ini naik-naik kursi, jika di rumah duh nggak mau diem. Blablabla," si ibu full curhat mode-nya diaktifkan.

Yang ada di otak saya cuma satu. Anak naik kursi dibilang nakal. Anak lari-larian dibilang nakal. Kok duka sekali.

T________T

Apa definisi nakal?

Dulu, ibarat yang saya ceritakan di postingan Karma Anak Laki-laki ini definisi badung saya memang ibarat itu. Tapi kan itu waktu saya kecil, sehabis punya anak sendiri, ya berubah lah. Kok tega banget bilang anak sendiri nakal?

Kalau menjudge anak sendiri nakal, apalagi masih balita, apa yang sudah kita lakukan sebagai orangtua? Karena berdasarkan saya, badung pada balita itu problem contoh pikir sebagai orangtua.

Nakal itu judge yang parah sih berdasarkan saya. Karena anak balita bukan tidak mau berdasarkan tapi memang tidak mengerti bahwa ia HARUS menurut. Maka ia harus diberi pengertian, bukan dilabeli nakal. Karena melabeli badung pada balita itu nggak ada gunanya.

Oh wait, kayanya memberi label badung pada semua orang itu nggak ada gunanya. Cewek badung dan pemuda badung aja definisinya nggak sama. Hih.

(Baca: Bebe Umur 2 Tahun itu Bikin Pusing!)

Karena si anak dilabeli badung kemudian apa? Lalu kita stres sebab merasa punya anak nakal. Padahal yang pertama kali bilang si anak badung itu siapa? Kita sendiri.

Bebe jauh dari kalem. Tapi jika beliau naik kursi ya dijaga aja biar tidak jatuh. Kalau memang ancaman yang diberi tahu jika itu bahaya, nanti Bebe jatuh. Kalau marah? Diamkan. Kalau kita kalah sebab beliau marah? Kita yang gagal.

Iya kita yang gagal. Kita memberi kesempatan pada si anak untuk menunjukkan bahwa kita lemah dan kurang tegas. Padahal balita butuh sosok yang tegas, sosok yang beliau percaya. Dengan tegas beliau nggak akan benci sama kita kok. Kalau udah terlanjur gagal? Masih ada kesempatan.

Besok lagi juga anak akan melaksanakan hal yang kita rasa salah kok, dijamin. Makara orangtua kan proses seumur hidup, nggak mungkin mulus terus. Sesekali gagal tapi tolonglah jadikan pelajaran. *ngomong sama diri sendiri*. Bukannya jadi menyalahkan si anak dengan bilang "ini anak nakal".

Lebih parahnya lagi membandingkan dengan anak orang lain. Bebe dianggap santai sebab duduk, si cucu dianggap badung sebab bangun di kursi. Kenapa beliau sungguh yakin jika Bebe tidak pernah naik kursi? Dijadikan perbandingan itu menyakitkan, saya eksklusif kebayang ibu si anak.

Ibu si anak mungkin hidupnya tertekan sebab ibunya sendiri mengkritik cucunya sebagai cucu yang nakal. Sedih. :(

(Baca: Tips Menangani Anak Tantrum di Tempat Umum)

Kalau anak sudah usia SD atau Sekolah Menengah Pertama sih berdasarkan saya sebab definisi "nakal" nya sudah dapat dalam level mengganggu ketertiban umum. Pernah saya lagi makan indomie di warung deket kostan dulu, dan tiba-tiba anak empat anak SD pake seragam pramuka mengobrol di depan warung, mereka membuka tas, DAN MEMINDAHKAN CELURIT. Dari tas si anak satu ke tas anak lain.

ANAK SD. MEMINDAHKAN CELURIT. Si ibu warung eksklusif melempar belum dewasa itu dengan kursi plastik dan mengusirnya. Mereka diancam biar tidak main lagi ke kawasan situ. Mereka kabur terbirit-birit.

Oke jika level ibarat itu gres dapat dibilang badung sih. Meskipun tetep pertanyaannya mendasarnya "orangtuanya ke mana? kenapa dapat mereka begitu?" Kadang orang harus dibekali otak dulu sebelum memutuskan untuk punya anak.

Ya tetep, problemnya di orangtua.

Apa definisi badung buat kalian?

Tolong jangan bilang badung pada balita ya sebab kasihan. :(((((

-ast-

Detail ►