Bercermin Dari Anak
Makara ceritanya pas sesi tanya jawab itu ada ibu yang curhat, gimana agar belum dewasa nggak berantem terus? Karena ia udah pusing urus 2 anak, ketambah ini belum dewasa berantem terus.
Saya merhatiin ibu ini dari awal acara. Ibu ini emang ambisius, malah pas sesi games aja ia kecewa banget alasannya yaitu nggak menang. Kecewa hingga misuh sama suaminya gitu lho. Padahal ya namanya games ya, it’s supposed to be fun.
Makara pas ia nanya gini saya maklum banget alasannya yaitu mungkin sehari-hari ia emang sestres itu harus ngurus dua anak. Apa tanggapan Widi?
Widi share tips gimana ia emang sengaja didik Dru sebaik mungkin agar adik-adiknya tinggal teladan Dru. Makara semenjak lahir, Dru dididik sebaik mungkin alasannya yaitu mereka yakin benar akan punya anak lebih dari satu, dan Dru harus punya pribadi yang baik alasannya yaitu mau nggak mau adik-adiknya akan mencontoh dia.
Mereka juga kebiasa nggak ikut campur duduk perkara anak-anak. Makara bila belum dewasa berantem ya suruh selesain sendiri. Jangan malah jadi saling ngadu ke ibu terus ibunya yang selesain. Bahkan sama Denden yang masih kecil aja, harus diselesaikan sendiri.
Tapi yang paling kena bukan itu. Ya mungkin alasannya yaitu anak saya cuma satu ya. Yang justru dapet banget dan kaya ketonjok yaitu kalimat yang ini.
(kurang lebih ngomongnya gini ya ga plek ketiplek saya soalnya nggak nyatet juga)
“Sebagai orangtua kita bercermin dulu, berapa sih nilai kita dalam membesarkan anak-anak? Misal kita kasih nilai 7 sebagai orangtua, ya kita jangan berharap anak jadi dapat punya nilai lebih dari itu. Karena orangtua yang nilainya 7, anaknya juga akan punya nilai 7”
WAW. KEMUDIAN KUMERENUNG BANGET SIH.
Kasarnya gini ya, kalian ngeluh anak kalian nggak dapat diatur, bikin ulah terus, nggak dapat diajak kerja sama. Pertanyaannya: apa yang sudah kalian usahakan agar anak dapat diajak kerja sama?
Kalau misal sudah berusaha, seberapa besar perjuangan kalian? SEBERAPA NIAT?
Mungkin terlalu sering bentak? Mungkin nggak pernah bilang baik-baik sambil natap matanya? Mungkin nggak pernah validasi perasaan anak?
Mungkin kurang quality time? Mungkin nggak pernah fokus dengerin anak? Mungkin nggak pernah bener-bener temenin anak main?
Mungkin nggak pernah nanya apa yang bikin bahagia atau murung hari ini? Mungkin kurang pelukan? Mungkin kalian punya duduk perkara pribadi yang jadi kebawa ketika komunikasi sama anak?
Intinya: perjuangan kalianlah yang mencerminkan bagaimana anak kalian bersikap.
(Baca: Mencari Diri Sendiri)
Saya tentu pribadi mikir juga. Iya sih, saya bersyukur alasannya yaitu hidup kayanya lagi kalem-kalem aja jadi dapat netral banget bila menilai Bebe. Kalau ada sesuatu yang bikin saya kurang puas sama Bebe, saya dapat berpikir jernih dan refleksi diri dulu: apa nih yang harus diberesin? Salah di mana nih?
BAGIAN ITU SAYA MERASA SUDAH MELAKUKAN HAL YANG BENAR. Nah tapi ada hal lain yang lebih menohok.
Yaitu ekspektasi pada anak yang kadang nggak sesuai sama perjuangan kita. Saya mau Bebe tulisannya manis tapi duh ngajarin nulis aja males. Saya mau ia suka baca tapi duh bacain buku aja nggak tiap hari kini alasannya yaitu ngantuk dan berjuta alasan lainnya.
Makara bila liat anak orang yang waw pinter banget, saya pribadi mikir wah dapat nggak ya Bebe kaya gitu? Gimana Bebe mau kaya gitu sih weekend aja dikasih gadget terus alasannya yaitu capek bila main dua hari full.
Untungnya kini Bebe lagi suka gambar, jadi bila saya atau JG lagi gambar, Bebe jadi ikut gambar juga. Sisanya? Ya Bebe nonton dapat berjam-jam. Makanya saya kasih syarat banget boleh nonton bila udah keluar rumah, udah makan.
Kalau ditotal dalam seharian itu mungkin dapat hingga 6 jam ia nonton. Ya 2 kali saya dan JG nonton film lah. Mentok kami nggakb dapat nonton lebih dari 2 film alasannya yaitu dengan demikian Bebe juga akan nonton terlalu lama. Segitu juga nggak nonstop sih, berhenti untuk makan, untuk mandi, untuk les renang, dll.
Jadi sering banget terjadi percakapan ini dengan JG.
JG: “Eh si Bebe bila weekend kelamaan nggak sih nonton doang? Apa kita kurangin lagi nontonnya cuma boleh sehari doang?”
Jawaban saya selalu: “KAMU mampu nggak nemenin ia seharian full tanpa YouTube sama sekali? Aku sih nggak sanggup”
JG juga ya nggak mampu alasannya yaitu ya kami berdua juga bila weekend pengen nonton film, pengen leyeh-leyeh, baca buku, YANG HANYA BISA DILAKUKAN KALAU BEBE NONTON.
Gimana anaknya mau berubah bila kita nggak berubah? Nggak dapat kan?
Begitu pula dengan hal lain. Gimana anaknya nggak emosian sih bila kitanya emosian?
(Baca: Mengajarkan Emosi pada Anak)
Banyak DM yang saya terima bilang mereka nggak pernah divalidasi emosinya sama orangtua zaman dulu. Sekarang jadi susah sekali memvalidasi emosi anak. Dulu sering dibentak, maka kini dengan tidak sengaja jadi juga sering membentak. AYO KITA UBAH! Itu mata rantai yang harus kita putus kini juga.
Kaya yang sering saya bilang: MARI KOREKSI GAYA PARENTING ORANGTUA KITA. Apa yang tidak kita sukai dari gaya parenting orangtua, JANGAN dilakukan lagi pada anak. Karena nanti anak kita akan melaksanakan itu lagi ke anaknya dan seterusnya. Seperti juga orangtua kita melaksanakan itu alasannya yaitu ia meneruskan nenek kakek kita, buyut kita, dan seterusnya. STOP DI KITA. We can do it!
Suka tidak suka, perilaku KITA tercermin pada anak KITA. Mungkin tidak selalu, tidak semuanya, tapi tidak ada salahnya memperbaiki diri sendiri dulu sebelum menuntut apapun dari anak.
Apakah dengan demikian saya jadi percaya bila anak yaitu kertas kosong yang dapat diisi sesuka hati orangtuanya? DUH COME ON. Males amat ngomentarin ini.
Percaya atau tidak percaya, tidak akan mengubah apapun. Ini hanya sebuah renungan, untuk refleksi diri bahwa kadang ekspektasi kita pada anak kadang terlalu tinggi. Kadang tidak seimbang dengan perjuangan yang kita lakukan.
-ast-
Posting Komentar