Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Tampilkan postingan dengan label tentang hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang hidup. Tampilkan semua postingan

Ide Basa-Basi Tanpa Bikin Tersinggung


Asumsinya bertemu sahabat lama. Berteman di media umum dan sering bertegur sapa di dunia maya. Saat bertemu, apa yang harus dibicarakan?

Nggak semua orang bisa basa-basi sementara basa-basi dirasa wajib apalagi jikalau bertemu langsung. Mau ngomong apa ya? Mending di socmed bisa bales pake like atau emoji doang. Kalau ketemu?

Awkward moment banget kesudahannya kan jikalau cuma "halo" cipika-cipiki terus diam. Kaprikornus keluarlah kata-kata yang biasanya malah jadi menyinggung padahal yang ngomong kadang nggak mikir dua kali jikalau perkataannya bisa melukai.

"Kok gemukan?" atau "Kok kurusan?" --> padahal tidak yakin benar ini orang kurusan atau gemukan, cuma kayaknya aja sih. Ya mana tau, nimbang tubuh bareng aja belum pernah.

"Kok iteman sih?" "Kucel amat neng?" --> none of your business.

"Belum isi aja nih?" *sambil pegang perut* --> percayalah meski bukan aku yang dibeginikan, aku dan suami beberapa kali menegur orang yang berkata ibarat ini pada orang lain. Kami bilang "Ibu tidak sopan, ibu dihentikan bertanya ibarat itu." Butuh keberanian luar biasa tapi orang-orang ini harus berhenti.

"Kapan nambah (anak)?" --> situ Tuhan?

Well. Belum apa-apa udah emosi deh jadinya. Tapi yah, tidak semua orang punya kemampuan interpersonal yang baik. Tidak semua orang tahu bagaimana harus bersikap tanpa melukai orang lain.

(Baca: Mempertanyakan Rezeki)

Dan sebagai orang yang memang suka ngobrol, aku beri wangsit basa-basi yang (semoga) tidak akan menciptakan orang tersinggung.

Tanyakan kabar

Standar lah ya. Justru sesudah tanya kabar ini yang krusial. "Hai apa kabar? *ngomong apa lagi ya* ... krik krik krik"

Tanyakan keluarga yang kita tahu persis keberadaannya atau pernah kita temui atau kita lihat fotonya di media sosial

"Anak yang paling besar kelas berapa sih sekarang? Sekolahnya di mana sih?" --> bisa dilanjutkan wacana dialog seputar sekolah.

"Ibu apa kabar? Duh udah usang ya nggak ketemu ibu. Ibu masih suka jahit?" --> bisa dilanjutkan wacana dialog seputar hobi orangtua. Ceritakan juga hobi orangtua kita.

"Adik kau yang dulu SD itu sudah kerja ya sekarang? Kerja di mana? Oh ya anak zaman kini memang lebih suka punya bisnis sendiri ya" --> bisa dilanjutkan wacana dialog seputar bisnis.

Ingat, jangan tanya yang kita tidak tahu persis. Bagaimana jikalau sudah meninggal? Akan jadi lebih awkward lagi.

Tanyakan soal hobi

"Masih suka yoga? Sekarang yoga di mana?" --> jikalau nggak ngerti soal hobi dia, ini kesempatan kita untuk bertanya dan berguru hal baru. Saya senaaaanggg sekali ketemu orang dengan hobi yang tidak aku mengerti sebelumnya. Bisa jadi tahu banyak hal gres dan orang yang diajak bicara pun biasanya bahagia membicarakan hobi dia.

Ide pertanyaan seputar hobi yang kita tidak ketahui sebelumnya:
- Tanya wacana alat-alatnya, belinya di mana, ada produk lokalnya apa harus impor.
- "Ada komunitasnya nggak?"
- "Mahal nggak sih?" atau jikalau DIY "belajarnya di mana?"
- "Sejak kapan suka hobi ini?"
- DAN BANYAAAKKK LAGI. Nanti ngalir dengan sendirinya kok.

Kalau kebetulan ngerti soal hobinya, bagus dong jadi punya topik dialog yang sama. :)

Rumah

"Rumah masih di A? Kan kerja di kota B? Ditempatin siapa sekarang?" --> lalu bisa bercerita seputar harga rumah atau kontrakan.

"Rumahnya lucu banget deh di Instagram, siapa yang dekor?" --> lalu bisa mengobrol soal Ikea, dekor rumah, dan online shop Instagram lol

"Rumah orangtua masih di Gerlong?" --> lalu bisa mengobrol soal rumah orangtua, tinggal dengan siapa mereka, dll.

Pekerjaan (hanya jikalau kita tahu persis soal ia masih bekerja atau tidak)

"Eh masih kerja di agency A? Ada yang ngehubungin gue waktu itu nanya job ABCD ..." --> ini jikalau kalian blogger atau influencer nyahahahaha

"Neng, katanya resign ya? Pindah kerja atau di rumah aja?" --> PERTANYAAN KRUSIAL, HATI-HATI JANGAN JUDGE.

Jawaban:

A. Kaprikornus ibu rumah tangga. Saran reaksi: "Wah keren euy, aku mah niscaya nggak akan sanggup jadi ibu rumah tangga." --> lanjutkan mengobrol soal anak. Hindari dialog seputar sayang gelar kuliah, sayang karier, dll. None of your business.

B. Pindah kerja. Saran reaksi: "Oiya jadi apa sekarang? Masih jadi wartawan?" --> lanjutkan mengobrol seputar kerjaan.

(Baca: Dunia Tidak Selebar Daun Kelor, Jangan Gampang Baper!)

Dan yang terakhir ini yakni basi-basi yang tidak akan pernah gagal:

Puji (karena semua orang bahagia dipuji)

Kalau cewek:

"Lipstiknya bagus banget sihhhhh! Apa itu apa itu?" --> lanjutkan mengobrol soal lipstik yang tidak akan selesai meski sudah berjam-jam lol.

"Alis cetar bangeett. Pake pensil alis apa?" --> lanjutkan mengobrol soal makeup dan beauty guru.

"Tasnya lucu amaaatt? Beli di mana sih? Oh di Bandung? Di mananya?" --> lanjutkan mengobrol soal tas dan daerah beli tas lucu.

Kalau cowok:

"Motornya keren euy. Ini modif sendiri?" --> laki gue bisa ngobrol panjang sama orang nggak dikenal cuma ngomongin motor.

"Weh, sepatunya mantep. Lokal itu?" --> lanjutkan mengobrol soal sepatu.

Apalagi ya jikalau cowok? Duh gue nggak ada wangsit jikalau perjaka mah. Ya kalian para perjaka ngomongin apalah yang bisa menciptakan jadi dialog panjang.

Kalau orangnya bawa anak, puji anaknya, ajak obrol anaknya.

"Eh cantik/ganteng kelas berapa sekarang?" --> berdasarkan orangtuanya anak niscaya elok atau ganteng kan.

"Rambutnya bagus yaaa keriting" dan jikalau rambutnya lurus "Rambutnya bagus yaaa lurus".

KARENA RAMBUT KERITING DAN LURUS SAMA AJA. Kaprikornus harus sama-sama dipuji.

"Wah topinya Ironman nih, suka Avengers nggak?" --> lanjutkan mengobrol soal film favorit.

Kalau orangnya biasa-biasa aja dan nggak puji-able? 

Jangan maksa muji alasannya biasanya jadi tambah awkward. Ngomongin apa aja bisa sebenernya, aku mah hingga stroller aja bisa jadi materi dialog sama ibu-ibu yang nungguin anak di playground. 

Kalau orangnya nggak suka ngobrol dan hanya jawab sepotong-potong?

Ya udah jangan dipaksa ngobrol. Orang pendiam itu kan ada 2 macam. Satu yang bener-bener tidak suka ngobrol dan yang satu lagi suka ngobrol tapi malu. Yang tipe pertama tidak usah dipaksa, ya kaliii masa maksa-maksa orang. Tipe kedua biasanya beberapa menit juga udah cair.

Intinya sebisa mungkin jangan mengomentari fisik dan rezeki.

Bilang orang kurusan atau gemukan atau iteman atau putihan atau nanya kapan punya anak itu nggak ada keuntungannya sama sekali. Nggak bakal bisa berlanjut dialog juga. Yang ada malah selamat kau dapet award sebagai orang nyebelin.

Dan memang pertama kali ketemu orang sesudah sekian usang itu niscaya ada perasaan awkward kok. Santai aja nanti juga cair sendiri. :)

Semoga mempunyai kegunaan yaaa.

See you!

-ast-

(Baca postingan tentang kehidupan lainnya di sini)

Detail ►

Menjaga Perasaan (Siapa?)


Akhir-akhir ini beberapa orang di sekitar saya mengeluhkan kenapa kita hidup untuk menyenangkan orang lain. To please the society, to meet everyone's expectations.

Saya sendiri yang sebelumnya mengeluhkan hal yang sama, mulai capek dan alhasil mempertanyakan sebaliknya. Memangnya tidak boleh jika hidup untuk menyenangkan orang lain?

Contoh paling sederhana, dulu waktu awal pacaran sama JG untuk pertama kalinya saya tidak boleh pakai baju yang terbuka. Celana pendek, rok pendek, baju-baju kutung semua tidak boleh dipakai.

Aneh sih alasannya yaitu ia anaknya liberal banget, tapi melarang-larang saya menyerupai itu. Padahal ayah ibunya ia juga nggak problem sama sekali. Makara terang melarang saya bukan alasannya yaitu takut orangtuanya marah, punya pacar kok bajunya seksi. Posesif sama liberal memang nggak akur kayanya.

Padahal saya dulu lagi seneng-senengnya pake rok pendek dan Dr Martens. Tapi apa kemudian saya merasa fake dan menjadi orang lain alasannya yaitu tidak boleh mengekspresikan diri dengan baju yang saya suka? Nggak juga sih.

Ya namanya juga menjaga perasaan orang yang kita sayang. Gitu kan?

Sekarang banyak orang yang jika hidup dengan menjaga perasaan orang lain pribadi merasa fake, pribadi merasa hidup kok penuh kepalsuan. Seolah memang kita hidup hanya untuk diri kita sendiri, padahal sebenernya nggak sepenuhnya gitu juga.

Kita kan nggak hidup sendirian. Beli sayur di pasar aja ngomongnya sopan dan nggak nawar alasannya yaitu kasihan. Waitress di restoran nganterin masakan telat aja nggak kita marahin pribadi padahal pengen banget, alasannya yaitu mikirin perasaan si waitress, gimana jika ia dipecat? Gimana jika ia ternyata single mom yang harus biayain anaknya?

Apa kita jadi fake alasannya yaitu menjaga perasaan si waitress?

(Baca: Masuk Akal itu Akalnya Siapa?)

Terus orang-orang yang suka mengumbar kata kasar, yang ngomong selalu to the point jadi mengagungkan "yang penting gue nggak fake". Ya lo nggak fake alasannya yaitu mungkin nggak ada perasaan orang terdekat lo yang perlu dijaga.

Saya gres menyadari ini, gres mencicipi sendiri. Karena saya merasa jika di blog saya selalu jujur. Saya hampir nggak pernah nulis alasannya yaitu nggak lezat sama orang lain. Saya tulis apa yang mau saya tulis meskipun itu menciptakan saya dimaki-maki. Saya nggak peduli.

Tapi ternyata saya nggak peduli alasannya yaitu orang yang maki-maki yaitu orang yang tidak penting buat hidup saya. Kenapa saya harus menjaga perasaan orang yang tidak penting buat hidup saya? Mbak sayur di pasar masih lebih penting alasannya yaitu jika nggak beli sayur nanti nggak masak nanti nggak makan dong.

Beda lagi saat urusannya keluarga. Saya selalu berusaha tidak melaksanakan sesuatu yang menciptakan ayah dan ibu saya kecewa. Apa saya fake? Mungkin iya, tapi tidak menciptakan orangtua khawatir dan kecewa JUGA menciptakan saya bahagia. Karena jika saya melaksanakan hal yang saya suka tapi menciptakan orangtua kecewa, apa saya akan sebahagia ini? Belum tentu kan.

Kalau kini saya nggak pernah umbar berantem sama JG apa saya jadi fake gitu? Nggak kan? Sebaliknya, nggak pernah umbar foto mesra sama JG apa saya jadi fake juga gitu? Nggak kan?

Kalau nggak umbar berantem:

"Cih fake abis, mana ada pasangan nggak berantem"

Kalau nggak umbar foto bahagia:

"Cih fake abis, katanya senang tapi selfie sendiri terus nggak pernah ajak suaminya"

"Kita hanya menentukan apa yang ingin kita bagikan pada orang lain dan mana yang ingin kita simpan sendiri."

Online dan offline. Maya dan nyata.

Karena saat kita berhenti menjaga perasaan orang lain, kita harus siap hidup tanpa lagi melibatkan perasaan kita sendiri. Kalau masih ingin perasaannya dijaga orang lain, maka harus siap pula menjaga perasaan orang lain.

Mungkin kini yang harus dilakukan bukan lagi mengeluhkan kenapa kita berpura-pura, tetapi jalani hidup apa adanya. Karena justru keluhan-keluhan itu yang mungkin menciptakan kita tidak bahagia.

Jadi, buat kau yang merasa tidak senang alasannya yaitu hidup penuh dengan kepalsuan, tidak ada yang menjamin hidup kau lebih senang kok jika kau lepas dari kepalsuan itu. Apalagi jika kepalsuannya melibatkan orang-orang yang kau sayang.

-ast-

Ini postingan emosional dalam perjuangan menciptakan positif hal-hal yang sedang negatif. Lebih lelah negatif atau lelah berusaha positif?

Detail ►

Karena Rezeki Tidak Selalu Uang

Orang mah nganggep rezeki = uang. Cuman ya rezeki dapat berupa doa, kesempatan, pelajaran hidup. Uang itu bab kecil dari rezeki -- Mevlied Nahla, 21 tahun, tumben-tumbenan wise biasanya mah sinting.


Topik cemen gengs, topik cemen akhir brush Real Technique lagi diskon terus saya sama Nahla ingin beli tapi belum gajian. Kemudian kami menyesali hidup dan rezeki. Bokek memang menciptakan orang lebih bijaksana.

Ngepas banget sama momen saya kalah kuis beruang padahal udah niat banget sekreatif absurd dan yang menang ... emmm, maap yah tapi nggak tau deh jurinya nilainya gimana soalnya yang dinilai katanya kreativitas kan. Saya nggak liat kreatifnya di mana sih lol. MAAP LOH YAAHHH. Bukan salah yang menang tapi salah yang pilih lol. Yang cantik banyak loh tapi yang itu aduh.

Btw respek banget sama yang menang. Dia bilang sedang minta kejelasan sama pihak merk alasannya banyak diprotes takutnya salah sistem. Duh kok ada orang baik sekali saya respect super.

*abis ini pada ngomongin saya baper lolol* *silakan lohhh* XD

(Baca: Tapi Masuk Akal Itu ... Akalnya Siapa?)

Iya, pada dasarnya saya kaya mayan tertohok gitu sama quote Nahla di atas. Abis ini brutal sih di waktu yang sama, Real Technique diskon tapi bokek, kalah kuis, kemudian Coldplay konser. Berakhir pada pertanyaan kok hidup gue gini amat? *HEAKK LEBAY*

Padahal mah ya mau kurang bersyukur apa, kemarin pas diskon 11.11 itu dapet pospak murah banget, terus sempet-sempetnya beli sponge Masami Shouko cuma 60ribu aja. Make up di rumah masih numpuk yang belum kebuka, belum lagi skin care yang masih antri. Ehm. Kenapa yah ujung-ujungnya skinker. 😑

Tapi masih aja berasa kurang uang. Kalau uang ada kan gue dapat beli Real Techniques meskipun nggak diskon! Bisa beli Macbook Gold sendiri nggak perlu heboh ikut kuis. Bisa ke Singapur sekeluarga besar jadi dapat bawa Bebe dititip ke ibu saya pas saya nonton konser. Kaprikornus ninggalin Bebenya beberapa jam doang, nggak perlu ia ditinggal di Indonesia.

Padahal nggak perlu gitu-gitu amat juga kali ya. Seperti kata Nahla, rezeki dapat berupa doa. MMMM, permisi ini sih agak kurang paham ya, gimana ya rezeki doa itu? Ya udah harap maklum yang ngomong Nahla hahaha.

SKIP. NEXT.

(Baca: Mempertanyakan Rezeki)

Rezeki berupa kesempatan. Ini kok iya banget. Kami kemudian membicarakan bahwa jika nggak ada Bebe, blog ini niscaya nggak akan sehidup ini. Ya gimana, 80% isinya Bebe kan. Perjalanan hidup saya, JG, dan Bebe. Kalau berdua JG doang ini blog nanti jadi blog komedi ah elah. Kurang hits dong ya, blog parenting kan lebih edukatif gitu kesannya.

Coba berapa banyak kesempatan yang tiba alasannya saya punya blog. Kaprikornus pembicara, jadi juri, jadi ngetop alasannya postingan viral hahahaha. Semua alasannya kisah bersama Bebe. Hampir semua postingan viral saya seputar curhat orangtua baru.

Rezeki berupa pelajaran hidup. ADUH INI IYAAAA.

Bebe mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup itu untuk bersenang-senang. Bahwa banyak hal yang tidak usah dibentuk sedih. Kaya pas kendaraan beroda empat mogok di depan daycare, Bebe malah happy luar biasa alasannya ia dapat lari-larian di trotoar. Kemudian main bubbles sambil teriak-teriak. Duduk di bagasi belakang kendaraan beroda empat yang dibuka.

Dia super senang alasannya dapat full main sama saya dan JG sambil nunggu montir otak-atik aki kendaraan beroda empat yang ternyata abis masa berlaku macam paket internet. Sementara jika pulang di rumah juga mentok saya main hp, ia main sendiri. Hahaha. Gagal amat jadi orangtua sis.

Di pinggir jalan, ia senang alasannya dapat pegang daun. Bisa liat tikus lari ke got, dapat loncat-loncat. Sebelum saya di-judge saya jelaskan dulu jika trotoarnya luas ya bukan trotoar sempit. Dan daycare ini area perumahan jadi bukan jalan raya yang super rame. Ada kendaraan beroda empat motor lewat tapi nggak sering. Ya pada dasarnya Bebe senang ... alasannya kendaraan beroda empat mogok.

Ajaib nggak sih anak kecil itu?

Rezeki banget nggak sih dibikin senang sama anak kecil padahal harusnya manyun alasannya kendaraan beroda empat mogok?

Bebe juga mengajarkan jika keluarga ialah segalanya. Dia selalu rela tunggu JG hingga malem di daycare daripada pulang berdua sama saya pake Grab. Tapi kadang sayanya ngantuk dan capek jadi ingin buru-buru pulang dan males tunggu JG. Kalau disuruh pilih pulang pake Grab atau sama appa niscaya Bebe pilih sama appa, meskipun artinya kami menunggu di luar daycare kepanasan.

Kaprikornus yah, kali ini Nahla bener banget. Rezeki tidak selalu dalam bentuk uang.

Tapi jika kata Gesi (di kesempatan berbeda) "tapi kan kita masih pengen kalung unicorn sis? Pengen shopping agar nggak stres? Tetep butuh uang lah!"

IYA JUGA.

Kaprikornus pada dasarnya berbahagia lah dengan apa yang kita punya. Bukan uang yang jadi ukuran alasannya toh kita tidak kekurangan?

Berbahagia lah alasannya meski nggak dapat beli brush Real Technique, bulan ini dapat beli sepeda dan boncengan jadi Bebe bahagia. Berbahagia lah alasannya masih dapat shopping dan makan lezat tiap bulan. Berbahagia lah alasannya masih dapat katering lezat buat makan malem jadi nggak perlu masak. Berbahagia lah alasannya punya teman-teman yang dapat sinting dan wise pada waktunya.

Berbahagia lah alasannya punya suami yang selalu dukung istrinya untuk bahagia. Hahahaha.

Demikian dan terima pekerjaan perhiasan untuk beli MacBook Rose Gold lol iyalah jika beli sendiri mah maunya yang rose gold bukan yang gold hahaha.

LET'S WORK EVEN HARDEEERRRR!

-ast-

Detail ►

Hal-Hal Yang Aku Pelajari Dari Agresi 212

foto: Republika

Ya, dari agresi 212 kemarin itu saya berguru banyak. Banyak sekali. Hal positif dan hal negatif yang jadi pengingat diri sendiri.

Sebelum agresi pertama 411, saya banyak cincong pada orang yang tetap pada pendirian jikalau agresi ini murni bela agama. Saya keukeuh itu bullshit, agresi itu politis.

Baru di 212 kemarin saya melihat mereka memang membela agama. Minimal tidak ada yang terlihat di kamera TV teriak "bunuh Ahok". Orang-orang yang berkumpul ini membela kepercayaannya.

Baca punya Nahla: 212
dan punya mba Windi: Catatan Aksi Bela Islam 212

Ini hal-hal yang saya pelajari dari agresi 212 kemarin:

1. Aksi sanggup berjalan hening alasannya yakni tujuannya baik


Ya, sebagian besar tiba dengan tujuan zikir, doa, dan salat Jumat bersama. Masa mau bilang tidak baik. Banyak teman yang ikut dengan alasan "kapan lagi salat dengan jamaah sebanyak itu" atau "serasa sedang umroh alasannya yakni berkumpul dan berjalan dengan sesama muslim dalam jumlah banyak".

Whoa saya gres terpikir hingga ke sana. Seperti umroh, mungkin iya juga. Padahal di Jakarta, Jakarta rasa Mekkah.

2. Rumput aman, Monas bebas sampah

Katanya saling mengingatkan ya untuk tidak membuang sampah dan tidak menginjak rumput. Terharu sekali. Kalau diaplikasikan pada hidup sehari-hari niscaya Jakarta rapi. Soalnya saya sering berantem sama orang gara-gara orang buang sampah sembarangan huuuu. 👎🏻

3. Orang baik itu masih banyak

Ada seorang bapak renta yang hilang kemudian ditemukan. Pedagang memberi dagangannya gratis. Sungguh berbuat baik sanggup dengan cara apa saja. 😊

4. Tidak semua orang sanggup berlaku adil

Begini, ketika agresi siang 411 hening ada yang tetap merusuh dengan berteriak "bunuh Ahok" ya akui sajalah bahwa ketika itu memang tidak sedamai itu. Bahwa itu menciptakan takut banyak orang. Mungkin alasannya yakni tujuannya kurang jelas? Datang kemudian apa? Kalau kemarin kan jelas, tiba untuk salat berjamaah dan doa bersama.

Sebaliknya juga ketika agresi 212 damai, ya akui juga dong damai. Ada beberapa teman yang keukeuh mencari-cari kesalahan. Dan hanya share jelek-jeleknya saja.

Saya jadi gemes sendiri sama orang-orang model begini. Saya masih tidak oke aksi, tapi kenyataannya hening kok. Masa mau maksa-maksa tidak damai.

Catcalling? Yah, regardless agamanya apa, cowok-cowok di Indonesia emang hobi amat catcalling. 😭

Cuma emang miris sih jikalau tujuan mau zikir dan doa tapi di jalan catcalling cewek. 😪

5. Jangan mengabaikan fakta dan logika

Ya, mungkin terbawa euforia. Tapi tidak lantas menjelekkan media yang menyebut penerima agresi hanya 1juta misalnya. Itu tidak asal hitung loh, ada metodenya. Keukeuh 7juta tapi ditanya cara menghitungnya gimana malah pribadi emosi "situ ga ikut kan ga usah iri dengki begini lah!"

Lha. Logikanya nggak sampai. Bukan saya yang bikin status jadi saya speechless sama yang komen. Mau ikut komen tapi ah sudahlah.

Kalau memang ikut dan merasa di sana banyak orang, tidak usahlah pedulikan angka. Kalau mau peduli angka, ya harus peduli juga cara menghitungnya. Angka kan ilmu pasti.

6. Sombong itu macam-macam modelnya

Sebagai orang yang sering dibilang congkak oleh Nahla, saya merasa kesombongan saya nggak ada apa-apanya dibanding orang-orang ini. Hahaha. Ya apaan sombong saya cuma level 2 tahun 2 juta views buat blog. Hampir nggak pernah nulis status soal blog, sekalinya bikin pribadi dicap congkak. 😂

Ada yang menulis kurang lebih begini "ah agresi kemarin biasa saja, tidak istimewa, mengumpulkan massa atas nama agama itu tidak perlu dibanggakan alasannya yakni sering terjadi di aneka macam negara dan aneka macam agama." Kemudian dia dibully.

Ya mau nggak gembira juga silakan sih, terserah deh. 😂 Tapi jikalau ada orang bangga, ya semoga juga. Orang kan punya pendapat masing-masing.

Ada juga yang menulis jikalau ratusan ribu orang tiba untuk istigosah itu sudah biasa. Dia menyebut satu kota di mana orang memang rutin tiba berbondong-bondong untuk berdoa bersama. Mereka tidak perlu liputan media juga tidak perlu pamer apalagi hingga foto-foto kemudian di-share di sosmed.

Masnyaaaa, masa ke Monas terus nggak foto-foto. Ke Monas dan foto itu mandatory. Ini nggak sarkas ini beneran. Ya kan? 95% orang yang pertama kali ke Monas niscaya foto lah. Monas kan ikonik.

7. Polisi sanggup juga menarik simpati

Bukan, bukan urusan polisi ganteng. Tapi cara mereka menarik simpati dengan menggunakan juga peci putih. Semua polwan berjilbab rapi. 👍🏻

8. Saya lupa jikalau paspampres itu tentara

Hahahaha yang ini bodoh. Abis paspampres Jokowi kan SELALU pake batik ya, sama kaya ajun biasa. Maksudnya ajun yang lulusan IPDN gitu bukan tentara.

Kemarin pake seragam tentara uhwoowww. Kaprikornus terasa jikalau Jokowi presiden. Biasanya nggak kerasa hahaha. Ya memang dia nggak mau kaya presiden sih, malah Syahrini yang di jalan pake dikawal motor bersirine, Jokowi dan keluarga nggak pernah. 😪

9. Jokowi masih disayang banyak orang

Banyak ibu-ibu yang saya pikir anti Jokowi (karena dia antek Cina 😪) ternyata ikut mengunggah foto Jokowi dengan caption "presidenku". 😍

Dan itu banyaaakkkk. Nggak cuma di Facebook tapi juga di Instagram. Luvvvvv. ❤️

10. Media harus melindungi pekerjanya

Sebagai pekerja media saya murung banget liat video wartawan dilecehkan. 😭

Bukan salah dia loh beneran jikalau medianya nggak berimbang. Yang di lapangan kan berangkat liputan dan meliput apa menurut aba-aba di kantor. 😭

Iya media banyak yang tidak berimbang, tapi tidak lantas membenarkan pelecehan wartawan dengan "salah sendiri beritanya ga imbang!" Melecehkan wartawan sama tidak benarnya dengan menciptakan informasi tidak berimbang.

Btw soal media tidak imbang, jikalau TV memang susah krosceknya ya, tapi jikalau media online kan gampang. Orang kini simpel tuduh, apaan nih media ga berimbang padahal gres baca satu berita.

Woy, search dulu kali informasi yang lain. 😩

Karena informasi kan ditulis berdasar konteks. Misal sedang menulis informasi Ridwan Kamil sanggup penghargaan apa gitu, kan tidak nyambung jikalau ditambah background Bandung banjir.

Tapi bukan berarti tidak imbang kan? Kecuali ketika Bandung banjir tidak diberitakan. Kaprikornus jangan terlalu simpel judge media tidak imbang.

Yang tidak imbang itu yang konsisten share informasi hoax dan menjelek-jelekkan orang terus. Mereka bahkan bukan pers, mau dilaporkan ke dewan pers juga tidak terang forum yang menaungi apa, apalagi ngomong kode etik jurnalistik, JAUH. 😪

Itu aja sih.

*

Saya bersyukur aksinya hening jadi sanggup pulang cepat alasannya yakni jalanan kosong sekali. 😊

Saya tentu masih percaya ada pemeran politik ikut menunggangi tapi mereka memang tidak peduli. Orang-orang ini tiba dan berkumpul, membela apa yang mereka imani apa yang mereka percaya. Urusan politik bukan urusan mereka, jikalau pun ditunggangi semoga Tuhan yang balas. Setidaknya mereka berpikir demikian dan itu cukup. 😊

-ast-

Detail ►

Anak Dan Orangtua

Seminggu terakhir lagi heboh banget di timeline wacana anak yang tuntut ibunya yang sudah 83 tahun. Tuntutannya nggak main-main, Rp 1,8 miliar! Terus 90% komentar adalah: anak durhaka! Nggak tahu diri!

Oh well.


Yang saya lakukan pertama kali tentu mencari tahu ada apa. Ini kan perkara "unik" ya. Nggak tiap bulan ada anak nuntut orangtua, jadi niscaya ada apa-apanya. Dan semakin banyak saya membaca, semakin saya tidak ingin judge siapa-siapa.

Apalagi semenjak baca pernyataan si anak, wawancara khusus dengan Kumparan, kalau beliau ingin memberi pelajaran pada keluarga yang selama ini selalu memanfaatkan sang ibu.

Khayalan saya begini. KHAYALAN LOH YA INI. *BOLD CAPSLOCK*

Si ibu yaitu ibu zaman dulu. Pertama usianya memang sudah sepuh kan, kelahiran 1934 bayangin aja. Umur si ibu 83 tahun, sementara umur Yani (anak yang menuntut) 53 tahun. Beda usia 30 tahun.

Sementara Yani anak kesembilan dari 13 bersaudara. Berarti si ibu menikah muda, pribadi punya anak banyak. Ya ibu saya aja nikah umur 25, nenek saya nikah umur 25, saya nikah umur 25. Ini 30 tahun anaknya udah 9 kan.

Mungkin, mungkin dalam perjalanannya si ibu tidak dapat selalu adil. Banyak kan anak sakit hati sama ibunya dan ibunya nggak pernah tahu itu. Mana mah nikah muda dengan banyak anak. Plus belum dewasa juga merasa ibunya kaya raya (ini asumsi) jadi memanfaatkan ibunya untuk dukungan ke bank segala macem. Si ibu dalam rangka "sayang anak" jadi nggak dapat nolak anaknya mau apa.

Cuma Yani ini yang bener usaha, jadi beliau sebel sama sodara-sodara lainnya yang selama ini hidup yummy doang memanfaatkan si ibu. Sampai Yani dan suami nutup utang kakaknya dulu lah, dikasih kerjaan dulu lah. Selalu ada sodara kita yang nyebelin kaya gitu kan?

Selalu ada anggota keluarga yang terbiasa hidup yummy dari orangtua dan merasa selalu ada keluarga yang bantu, jadi hidup enak-enakan. Usaha ganti-ganti, kerja berat dikit ngeluh. Ngutang mulu ke anggota keluarga yang lain. Ngerepotin mulu tapi perjuangan nggak keliatan. Makanya Yani ini kesel, beliau ingin kasih pelajaran sama abang dan adiknya yang selama ini selalu ngerepotin.


*KHAYALAN SELESAI*


Tulisan sehabis ini harap dibaca pelan-pelan. Pelan-pelan ya. Dan saya (seperti biasa) tidak bicara soal agama, saya bicara dari sisi manusia. :)

Satu yang jadi pikiran dan cukup mengganggu saya adalah, kita selalu melihat dari sudut pandang anak durhaka pada orangtua. Pernahkah kita berpikir sebagai orangtua, bahwa kita juga mungkin "durhaka" pada anak?

Apakah semua orangtua menjalankan kiprahnya dengan sangat baik sehingga kita dapat pribadi judge semua orang yang tidak baik pada orangtua sebagai anak durhaka? Anaknya keterlaluan, memangnya seorang ibu PASTI tidak keterlaluan pada anak?

"Ya kan orangtua udah ngurus kita dan biayain kita semenjak bayi" TRUE. Itu benar. Dan ini tidak perlu dijawab dengan "apa anak pernah minta dilahirkan?" no, tidak sesederhana itu. Tapi ini dapat dirunut semenjak awal sekali, semenjak kita menikah.

Kita lihat dari sudut pandang kita sebagai orangtua.

Kita menikah, siapa yang senang ketika strip dua muncul? Siapa yang sangat senang belanja peralatan bayi, survey rumah sakit, senam hamil? Sebagian besar orang niscaya senang lah. Sebagiannya lagi yang kebobolan. Alih-alih senang biasanya mereka stres lol.

Siapa yang senang ketika anak pertama kali dapat berguling? Bisa jalan? Bisa ngomong "mama" pertama kali? KITA KAN. KITA BAHAGIA. Kita beliin mainan macem-macem dengan alasan supaya anak bahagia, padahal kita beliin anak mainan alasannya kita senang liat anak main dengan tenang. Liat anak senang punya mainan baru.

Kaprikornus logikanya tolong dibalik, bukan kita yang menciptakan anak senang kemudian suatu hari nanti si anak harus membalas itu. Tapi kita senang alasannya punya anak, kita senang melihat anak kita makan enak, kita senang melihat anak kita punya sepatu baru. Kita senang alasannya punya anak, bukan justru anak yang senang alasannya kita. Nangkep kan ya?

Ini jadi melandasi pertanyaan berikutnya: sebagai orangtua, pamrih kah kita?

Masuk akalkah kalau suatu hari nanti kita murka pada anak yang sudah terpelajar balig cukup akal "Durhaka kau sama orangtua! Siapa yang ngasih makan kau dari kecil?!"

Kok jadi pamrih gitu. Kalau nggak mau ngasih makan ya jangan. Kalau nggak mau urus ya titip panti asuhan. Ini kan kita kasih makan anak juga dengan bahagia, MPASI aja dihias-hias dan share di Instagram. Kita rela melaksanakan semua itu kan? Karena itu hal yang bikin kita senang kan?

Kaprikornus mari bercermin sama-sama. Beri yang terbaik untuk anak dan jadilah yang senang pertama kali ketika ia meraih mimpi-mimpinya. Ayo semua mulai investasi dana pensiun jadi ketika pensiun, kita tidak terlalu merepotkan anak. Apalagi kalau anak sudah berkeluarga.

Dan ya, meski demikian, bukan berarti jadi pembenaran untuk tidak sopan dan tidak berbuat baik pada orangtua loh ya. Berbuat baik lah. Kalau sudah kenal bertahun-tahun kita juga niscaya suka berbuat baik kan pada orang lain dengan alasan "udah kenal usang banget". Apalagi sama orangtua? Udah kenal semenjak lahir kan.

Kecuali kalau orang yang sudah kita kenal usang ini suka KDRT misalnya. Ya udahlah gimana lagi. Mungkin lebih baik kalau ditinggalkan aja. Hiks. Ini salah satu perkara "keterlaluan" kan. Kalau si ibu suka nyiksa sih berdasarkan saya udahlah tinggalin aja. Nggak sehat, nggak berarti tetep harus dihormati alasannya udah udah ngelahirin kita. Dia aja nggak menghargai kita sebagai manusia, untuk apa kita menghargai dia?

Khusus buat para orangtua dengan balita: jangan juga terlalu manjain anak. Sekarang anak nggak dikasih jajan nangis kemudian dikasih, 15 tahun kemudian nggak dikasih motor bisa-bisa bunuh ibunya alasannya tidak terbiasa dengan rasa kecewa.

Udah gitu aja. See you!

-ast-

Detail ►

Mengubah Mimpi

Abis baca postingan mbak Ira soal bagaimana kehidupan sosmed dan urusan belanja, gue juga jadi pengen ikut curhat. Sebabnya apalah lagi jika bukan konser Coldplay yang harus dilewati begitu saja wahahahahahaha.



Ini udah sempet gue ceritain dikit sih di Instagram (klik dan baca captionnya!). Betapa gue duka sih nggak nonton Coldplay, tapi nggak galau banget. Sedih lah alasannya yaitu Coldplay gitu loh! Si Bebe aja namanya dari album Coldplay!

Tapi gue sadar diri dan nggak meratapi hingga cranky alasannya yaitu keputusan tidak nonton itu yaitu keputusan yang gue ambil dengan sangat sadar. Bukan yang pengen terus nggak punya duit atau dihentikan suami hahaha.

Duit ada lah, bisa lah ya nonton konser mah. Cuma kan sayang, sayang aja keluar uang segitu buat nonton konser. Belum tiket pesawat dan hotel kan. Sementara gue masih punya utang KPR, dana pendidikan gres 3/4 jalan, dan dana-dana lainnya sebagai akhir kita menentukan jadi orangtua lol. Harus diakui lah, sehabis punya anak dana-dana itu mendadak jadi diatur ulang dan dipikir ulang kan.

Terus gue antara besar hati sama miris sama diri sendiri alasannya yaitu gue menentukan untuk nggak senang-senang spontan demi diri sendiri. Beda sama beberapa tahun lalu.

Beberapa tahun kemudian gue gajian sendiri ya diabisin sendiri kan. Nonton konser ke Singapur minimal abis lah 4jutaan mah. Tapi gue nggak mikir panjang, masih pake belanja dan beli merchandise pula.

Padahal artisnya juga ke Indonesia dan pas di Indonesia gue nonton lagi konsernya alasannya yaitu harus liputan, artis yang sama. Sebut saja Bigbang lol. Abis liputan hari pertama besoknya gue BELI LAGI tiket untuk nonton konser hari kedua. Kalau dipikir kini mah GUE GILA APA GIMANA. HAHAHAHAHA

Dan gue bukannya kaya loh ya, emang dulu nggak punya tabungan aja. Punya tabungan hanya untuk dibelikan sesuatu, jadi beneran nggak punya duit nganggur banget. Nabung ah beli iPhone, nabung ah nonton konser, nabung ah beli sepatu. Begitu siklusnya. Yang mana lucu-lucu aja sih DAN senang huhuhuhu.

Kalau kini punya duit 4juta nganggur duh mending masuk dana darurat yang juga masih belum tercapai menyerupai juga dana pendidikan HAHAHAHAHA. SD mahal, saya sebal. Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas pun mahal. Apalagi kuliah. Lha daycare aja mahal. T______T

(Baca: Tahap Menyiapkan Dana Pendidikan Anak)

Terakhir gue nonton konser itu konser solo G-Dragon 2012 ya? 2012 apa 2011 sih lupa. Konsernya masih di MEIS Ancol, gue nggak liputan tapi emang sengaja aja mau nonton kesayangan, beli tiket festival. Berapa ya harganya Rp 1,5jutaan lah. Tapi itu gres mau nikah, boro-boro punya anak. Kalau kini gue lebih suka uang-uang itu jadi angka di tabungan. AKU KENAPA. APA AKU DEWASA. MENGAPA AKU DEWASA LOL.

Betapa anak bikin mimpi-mimpi jadi berubah. Segala hal yang dulu bikin gue hepi ternyata nggak lagi bikin gue hepi. Betapa anak bikin keuangan gue lebih tertata. Ya lo bayangin aja dulu gue beli sepatu seharga setengah honor sebulan. Itu gimana caranya coba? Masuk nalar ga?

Masuk nalar dong.

Karena semua orang punya cara membelanjakan uangnya sendiri. Dari dulu gue paling sebel sama yang nyinyirin gue ngabisin duit nonton konser tapi sendirinya spontan jika beli buku. Ada yang senang dengan nonton konser, ada yang senang dengan beli buku. Terserah dong mau dibeliin apa?

Ada yang senang pake sepatu mahal, ada yang senang liat angka di tabungan. Ada yang muda hura-hura, ada yang muda ngirit parahhh. Tau-tau beli rumah cash. Yha. Nggak ada yang salah, nggak ada yang benar.

Yang bisa beli rumah cash boleh besar hati dan merasa sukses. Sebaliknya yang duitnya habis buat nonton konser atau liburan juga nggak usah kecil hati alasannya yaitu kalian melewati pengalaman yang berbeda. Pasti ada pelajaran yang bisa diambil kok gengs dari setiap dongeng masa lalu. Ada dongeng berbeda juga yang bisa diceritain sama anak cucu kalian. Ehm.

(Baca: bagaimana kehidupan sosmed dan urusan belanja, gue juga jadi pengen ikut curhat. Sebabnya apalah lagi jika bukan konser Coldplay yang harus dilewati begitu saja wahahahahahaha.



Ini udah sempet gue ceritain dikit sih di Instagram (klik dan baca captionnya!). Betapa gue duka sih nggak nonton Coldplay, tapi nggak galau banget. Sedih lah alasannya yaitu Coldplay gitu loh! Si Bebe aja namanya dari album Coldplay!

Tapi gue sadar diri dan nggak meratapi hingga cranky alasannya yaitu keputusan tidak nonton itu yaitu keputusan yang gue ambil dengan sangat sadar. Bukan yang pengen terus nggak punya duit atau dihentikan suami hahaha.

Duit ada lah, bisa lah ya nonton konser mah. Cuma kan sayang, sayang aja keluar uang segitu buat nonton konser. Belum tiket pesawat dan hotel kan. Sementara gue masih punya utang KPR, dana pendidikan gres 3/4 jalan, dan dana-dana lainnya sebagai akhir kita menentukan jadi orangtua lol. Harus diakui lah, sehabis punya anak dana-dana itu mendadak jadi diatur ulang dan dipikir ulang kan.

Terus gue antara besar hati sama miris sama diri sendiri alasannya yaitu gue menentukan untuk nggak senang-senang spontan demi diri sendiri. Beda sama beberapa tahun lalu.

Beberapa tahun kemudian gue gajian sendiri ya diabisin sendiri kan. Nonton konser ke Singapur minimal abis lah 4jutaan mah. Tapi gue nggak mikir panjang, masih pake belanja dan beli merchandise pula.

Padahal artisnya juga ke Indonesia dan pas di Indonesia gue nonton lagi konsernya alasannya yaitu harus liputan, artis yang sama. Sebut saja Bigbang lol. Abis liputan hari pertama besoknya gue BELI LAGI tiket untuk nonton konser hari kedua. Kalau dipikir kini mah GUE GILA APA GIMANA. HAHAHAHAHA

Dan gue bukannya kaya loh ya, emang dulu nggak punya tabungan aja. Punya tabungan hanya untuk dibelikan sesuatu, jadi beneran nggak punya duit nganggur banget. Nabung ah beli iPhone, nabung ah nonton konser, nabung ah beli sepatu. Begitu siklusnya. Yang mana lucu-lucu aja sih DAN senang huhuhuhu.

Kalau kini punya duit 4juta nganggur duh mending masuk dana darurat yang juga masih belum tercapai menyerupai juga dana pendidikan HAHAHAHAHA. SD mahal, saya sebal. Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas pun mahal. Apalagi kuliah. Lha daycare aja mahal. T______T

(Baca: Cita-cita yang Tertunda Karena Anak)

Yang nggak pernah nonton konser niscaya nggak akan tau jika abis nonton konser itu euforianya bisa hingga lamaaaa banget. Minggu pertama masih cari-cari video konser di YouTube, ahad kedua masih senyum-senyum dengerin playlist konser, ahad ketiga mulai panik alasannya yaitu si artis kan tur tuh, lagi agenda di Malaysia weekend ini. Langsung heboh cek tiket dan cari calo HAHAHAHA. Minggu keempat mulai duka dan karenanya beli DVD konsernya lol. Lyfe of a fangirl.

Dan iya, gue pernah beli tiket di calo ... di SINGAPUR. Beli di Carousell Singapur, dulu Carousell Singapur itu macam Kaskus gitu jika di sini. Aplikasinya belum masuk Indonesia kaya kini hahahaha. Duh hidupku penuh nostalgia.

Kaprikornus yah, tetep duka gara-gara nggak nonton Coldplay hahahaha. Tapi menghibur diri alasannya yaitu yakin gue akan sebel sendiri jika spontan nonton terus uang di tabungan ngurang banyak. Dulu Singapur bisa jadi weekend gateaway alasannya yaitu dolar Singapurnya cuma Rp 6000 aja sis. Sekarang Rp 9500 ya ampun stres. Sekarang orientasiku uang, uang yaitu segalanya lolol.

Mimpi gue berubah seiring dengan gaya hidup yang berubah. Mimpi gue bukan lagi untuk diri gue sendiri, tapi juga untuk si Bebe yang gue beliin mainan lebih sering dibanding gue beli lipstik. Mimpi berubah dan itu tidak apa-apa.

Btw buat ciwik-ciwik yang belum nikah. Ayo ditanya dulu calon suaminya, masih boleh nonton konser nggak jika udah nikah. Kalau pun nggak dibolehin damai aja, begitu nikah dan punya anak juga kita sadar diri kok mikir dua kali mau nonton konser hahahaha.

Ya kecuali jika duit lo nggak bergantung sama gaji. Atau minimal rumah dan kendaraan beroda empat udah dibeliin orangtua dan mertua jadi nggak pernah kenal KPR dan KTA. Gaji sisa banyak deh.

Hidup emang gitu gengs. Atur ajalah asal senang ok!

:)

Kalau kamu, apa mimpi yang kau ubah sehabis punya anak?

-ast-

Detail ►

Tentang Drama Kehidupan

Kenapa ya saya anaknya suka overthinking sama segala sesuatu. Apalagi untuk urusan hierarki antara status sosial, jabatan di kantor, sama tugas di rumah. Saya suka kepikiran banget!


Misal gini, ada cleaning service di kantor yang pendieeemmm banget. Pendiem terus sopan banget gitu, jikalau jalan selalu nunduk. Ya saya maklum mungkin beliau merasa bukan siapa-siapa, level terendah di kantor lah kasarnya. Kaprikornus beliau nunduk entah alasannya memang minder atau memang merasa harus sopan.

Suatu hari saya ajak ngobrol, dengan malu-malu dan tetap nunduk (mungkin menjaga pandangan yhaaa) beliau jawab anaknya dua. Satu udah kelas 5 apa 6 SD gitu, satu lagi masih umur 2 tahun. Dan saya pribadi tettoottt! kepikiran banget.

Kepikiran banget alasannya berarti meski di kantor beliau nunduk dan minder gitu, beliau di rumah yaitu kepala keluarga dengan anak yang mau remaja. Apa beliau di rumah tegas sama istrinya? Apa beliau di rumah galak sama anaknya? Apa beliau di rumah juga pendiem?

AKU ... KEPO.

T________T

Inget juga kemarin makan di Shaburi terus mbak waitressnya nyapa Bebe dan tiba-tiba dongeng jikalau anaknya beliau juga umur 2 tahun dan suka Cars kaya sepatu Bebe. Dia dongeng dengan sangat excited dan saya mendadak mellow alasannya dengan demikian beliau yaitu ibu bekerja. Mungkin di sela-sela kerjaan dulu beliau harus pumping juga sama kaya saya. Mungkin juga beliau sama sedang mikirin ulang tahun anaknya mau dibikin kaya apa. Ah. :((((

(Baca: Orang-orang yang Bertahan Hidup)

Kaprikornus inget juga dongeng JG yang masa kecilnya dilalui dengan tinggal di gang sempit. Tetangga-tetangganya itu semua orang susah lah kasarnya. Mereka suka otoriter sama istri, teorinya JG alasannya mereka kerjanya rendahan banget, mereka jadi nggak punya bunyi di kawasan kerja. Satu-satunya "kuasa" mereka ya sama istri, jadilah istrinya diperlakukan seenaknya.

Hiks.

Mau murung juga nggak perlu murung ya ini, namanya juga hidup. Tapi gimana ya, saya kepikiran betapa satu insan itu punya tugas yang beda-beda banget di banyak sekali lini kehidupan. Saya gres ngerti lagunya Nike Ardilla jikalau dunia ini panggung sandiwara.

Di kantor beliau yaitu cleaning service yang minder, di rumah beliau ayah yang tegas tapi sayang keluarga, di lingkungan rumah ternyata beliau Pak RW dan terbiasa mimpin rapat RT, dan seterusnya.

Nggak usah susah-susah deh, waktu masih sekolah aja kerasa kan bedanya. Kita di sekolah sebagai ketua kelas tentu beda dengan kita di rumah yang anak bungsu. Kita di kampus yang serampangan dianggap anak bodoh, ternyata di rumah yaitu kakak sulung tulang punggung keluarga.

Kepikiran jikalau insan bahwasanya memang hidup dengan beberapa topeng, mau pakai yang mana, mau lepas yang mana. Mau jadi saya yang mana.

Dan social media juga panggung lain lagi.

Di socmed beliau ibu-ibu berisik garda depan pembela kebenaran, di rumah ternyata boro-boro berisik, ditanya pendapat sama suaminya aja nggak pernah. Di socmed beliau ibu-ibu inspiratif banyak acara positif bersama keluarga, di rumah beliau ternyata depresi alasannya problem dengan mertua.

Makanya jangan gundah sama orang-orang yang di socmed ributnya ya ampuuunnn. Pas ketemu tenang krik krik. Atau sebaliknya, di socmed sepertinya hidup seru dan bahagia, pas ketemu kok ya orangnya banyak ngeluh. Ya maklum, itu topeng satunya lagi kan, topeng social media.

Lalu apa harus jadi orang yang sama di semua panggung supaya dibilang apa adanya?

(Baca: Menjaga Perasaan Siapa Agar Tidak Dibilang Fake?)

Ya nggak juga sih. Nggak apa-apa kok punya banyak peran, punya banyak topeng. Saya nyaman berisik di socmed dan JUGA di dunia nyata. Saya nyaman bercerita pada kalian di blog ini menyerupai saya bercerita pada JG. Kalau kalian merasa tidak nyaman ya tidak apa-apa. Tidak berarti kalian palsu, kalian hanya sedang pakai topeng yang lain.

Yang jelas, harus diingat bahwa ini yaitu topeng peran, bukan topeng kebohongan. Kalian yang berisik di socmed tapi pendiam di dunia nyata, nggak berarti kalian bohong kan?

Cuma inget-inget aja jikalau lagi pengen ngomong bernafsu sama orang. Waitress itu mungkin teraniaya di rumah, satpam itu juga mungkin ayah-ayah yang lagi gundah bayar sekolah anak, kakak angkot yang nyebelin itu mungkin sebatang kara. Yah, entah ini harus dipikirin apa nggak sih ya.

Ya gitulah. Auk nulis apa sih ini. Bye!

-ast-

Detail ►

Kepercayaan Diri Dan Remah-Remah Dunia


Yang kenal baik sama saya niscaya tau persis kalau saya orangnya pede banget sedunia. Jarang banget ngerasa rendah diri. JARANG loh ya catet, bukannya nggak pernah.

Kalau di circle blogger, dulu saya suka sebel sama yang bilang "da saya mah apa atuh cuma remah-remah blablabla" alias merendahkan diri dan nunjukkin ketidakpercayaan dirinya. Dulu saya sebel alasannya yakni come on kalau terus menganggap diri remah, kapan mau majunya? Kapan bisa jadi main course-nya? -_____-

Atau ada tipe orang yang lebih baik sesat di jalan alasannya yakni aib bertanya. WHY? Itu selalu saya pertanyakan. Kenapa mesti aib sih? Kenapa nggak punya doktrin diri untuk sekadar nanya sesuatu yang kita nggak tau jawabannya?

Tapi kemudian saya juga ternyata bisa ada di posisi mereka. Ada di posisi di mana saya "kok gue gini doang sih? Kok orang bisa kaya gitu sih?" Dan momen itu bukan momen penyemangat melainkan momen "ah sh*t lah gue nggak bakal bisa kaya dia".

Dan itu menyebalkan.

T_______T

Ini diperparah alasannya yakni saya orangnya kompetitif banget. Misal saya bisa kesel kagum kalau liat orang seumuran saya yang kerja di New York Times. Ya padahal emang orang Amerika, lahir hingga kuliah di Amerika, ya masuk akal atuh kan kerja di New York Times masa mau kerja di media lokal Indonesia ya nggak?

Dan alhasil saya sadar kalau duduk kasus merasa remah ini yakni duduk kasus inferiority. Di masalah saya, semakin sering bertemu atau berinteraksi dengan orang yang saya anggap hebat, maka saya merasa semakin inferior. Dan saya sadar ini tidak baik
Inferiority complex: an unrealistic feeling of general inadequacy caused by actual or supposed inferiority in one sphere, sometimes marked by aggressive behavior in compensation.

Inferiority menyerupai ini mengakibatkan perasaan "if only" alias "coba kalau". Coba kalau ngotot dulu kuliah di Amerika, mungkin kini udah jadi editor di New York Times. "Coba kalau" semacam ini bikin stres dan nggak menuntaskan masalah!

Karena anutan berikutnya yakni "ya nggak bisa kuliah di Amerika juga sih orang kurang pinter begini". Kemudian jadi merutuki diri kok kurang pinter sih, apa saya kurang berguru pas sekolah, perasaan udah berguru terus tapi kok nggak mampu sih kuliah di Amerika. Blablabla. Padahal ngomel itu nggak mengubah hidup.

Sebenernya kalau lagi waras sih saya sadar benar kenapa harus "coba kalau" toh kini hidup saya juga nggak susah. Setelah itu saya mau tidak mau harus compare dengan orang lain yang kehidupannya di bawah saya. Dari situ biasanya saya merasa lebih baik alasannya yakni masih banyak orang yang secara level pendidikan setara dengan saya, tapi kehidupannya nggak menyerupai kehidupan saya.

👉  Baca juga: Kecantikan dan Perempuan Kedua

Juga yang harus diingat dan saya pikirin banget: kalau terus menerus mengejar standar orang lain, kapan puasnya?

Si A keren banget sih kerja di Google --> apakah jikalau saya kerja di Google saya akan puas? Atau tetap merasa inferior dengan orang-orang yang kerja di Apple?

Si B kok bisa sih nulis di Huffington Post! --> apakah jikalau goresan pena saya dimuat di Huffington Post, saya akan berhenti merasa inferior pada si B?

Belum tentu kan! Inferiority hanya menciptakan kita ingin jadi orang lain!

Which is fine sih ya di level tertentu, terutama di level bikin semangat melaksanakan segala sesuatu. Tapi kalau udah bikin sedih, bikin murung, bikin kepikiran, mungkin saatnya cari pinjaman profesional atau minimal cari orang yang bisa diajak bicara dan mengembalikan doktrin diri.

Perlu diteliti juga apakah "if only" nya masuk akal? Yang udah gawat itu yang begini "coba kalau dulu nikahnya sama anaknya si A, niscaya bisa maternity photoshoot tiap ahad pake fotografer profesional" atau "coba kalau tinggian dikit udah jadi model niscaya ah elah". Itu "if only" yang nggak bisa diterima! Hentikan kini juga! Jangan terus dipikirin!

Caranya mungkin bisa dengan cari tahu kita jago di bidang apa terus pelajari hal itu hingga jago banget dan bikin kita bangga. Kalau udah gembira sama diri sendiri, niscaya inferioritynya berkurang deh. Pasti lebih percaya diri dan nggak lagi menganggap diri sendiri sebagai remahan di dunia.

Tapi ini cuma berlaku untuk orang-orang ambisius ya. Kan banyak juga tuh orang yang lempeng-lempeng aja, nggak ngerasa inferior dan juga nggak ngerasa harus melaksanakan sesuatu yang lebih hahaha. Nggak apa-apa, santai, yang penting bahagia. Kalian tetap bukan remah kok. 😂

Dan kecuali kalau urusannya uang. Karena kalau udah urusan uang mah udah di luar kehendak banget lah. Masa mau inferior sama keluarga Trump alasannya yakni mereka lebih kaya. Urusan uang dari turunan keluarga mah lekatnya sama syukur aja, bukan yang lain. :)

👉 Baca: Tentang Berpikir Positif)

Nah kalau saya kan suka ngerasa inferior sama orang pintar, kalau JG selalu merasa inferior dengan orang yang gajinya lebih gede. Inferior alasannya yakni merasa kurang skill hahahaha. Nggak sekali dua kali nelepon saya siang-siang cuma mau bilang.

"Sayang si A gajinya xx puluh juta masa. Kok saya gini-gini aja ya?"

Jawabannya bisa dua:

1. Udah rezekinya 💅

2. Kita nggak tahu kerja keras beliau kaya apa. Jujur apa nggak ya urusan dia, tapi pada dasarnya kita nggak tau effort apa yang beliau keluarin demi kerjaan dengan honor gede. Kalau ternyata zero effort? Kembali ke poin nomor satu lol. 🙌

Dan saya juga jadi terbiasa melihat "alasan" di balik sesuatu. Misal temen-temen yang liburan terus ternyata keluarganya kaya, yang nggak kaya ternyata hidupnya ekonomis banget. Atau temen-temen yang gajinya gede ternyata kerjanya stand by 24 jam. Yang mana kalau kita lakukan mah nggak mungkin alasannya yakni males banget astaga hahaha

Atau harus ekonomis seirit apapun, tak bisa juga kan. Makara ya, kuncinya (kayanya) jalani hidup dengan gembira. Lakukan hal-hal yang bikin bahagia. Sadari bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari kapasitas otak atau jumlah uang di tabungan.

And one thing: stop the 'if only'! *ngomong sama diri sendiri*

Ngerasa inferior atau punya teman yang punya duduk kasus inferior? Share dan tag temennya ya! XD

-ast-

Detail ►

Memaknai Pilihan


Aih gres Senin udah ngomongin pilihan. Gara-garanya Jakarta jikalau bulan pahala itu macetnya 3 kali lipat dari biasa kan ya. Saya jadi merenung soal pilihan-pilihan.

Juga dikompori oleh salah satu komentar di statusnya Gesi ahad kemudian di postingan Suami Nyebelin (baca yaaa, gimana nyebelinnya JG lol).

Isi komentarnya gini (saya copas):

“Katanya sih mak, kerja d Jakarta itu stres nya 3x. Stres perjalanan pergi, stres pekerjaan dan stres perjalanan pulang hehhee.. Cabal ea kelens 😉”

Terus aku murung baca komen itu hahahaha lagi PMS emang waktu itu. Sedih sebab kenapa orang stres tapi tetap bertahan?

Stres sebab kerjaan di kantor baiklah aku masih ngerti. Nggak semua kerjaan stress-free dan banyak jenis pekerjaan yang memang menciptakan tingkat stres jadi lebih tinggi. Itu satu hal. Tapi kasian banget dong jikalau udah stres sebab kerjaan, stres juga sebab pergi dan pulang kantor.

Padahal pergi dan pulang kantor kan efek dari bekerja. Karena bekerja di kawasan yang mengharuskan kehadiran maka harus pergi dan pulang kantor. Jika tidak bekerja maka tidak digaji. Jika tidak digaji maka harus makan dari mana. Makara yah, untuk stres yang satu ini emang nggak ada solusi kecuali pindah kerja.

Oke berarti asumsinya orang yang stres sebab kerja di Jakarta yakni kerja kantoran. Jangan bahas yang kerja bernafsu ya, itu mah udah level lain dari kejamnya Jakarta.

(Baca: Orang-orang yang Bertahan Hidup di Jakarta)

Nah kini lanjut ke dua stres lain yang disebut si mbak. Yaitu pergi dan pulang kantor. Pulang pergi pakai kendaraan beroda empat atau TransJakarta sehingga kena macet. Atau justru pake kereta yang sekeras hutan belantara.

🚗 Pilihan 1: ke kantor naik mobil

YA UDAH PASTI MACET. UDAH PASTI ITU MAH. Pergi lebih pagi. Stres sebab kurang tidur? Tidur dulu di kendaraan beroda empat pas nyampe kantor. Ada temennya JG yang begitu dan kayanya ia nggak stres, buktinya ia hepi-hepi aja hahaha

🏡 Pilihan 2: rumah di pinggiran

Nah kan udah tau stres sebab macet kenapa atuh beli rumah di pinggir terus ditempati. I just don’t get it. Kalau senang sebab tinggal di rumah sendiri ya udah nggak usah ngeluh stres sebab macet.

🏠 Pilihan 3: ngontrak rumah deket kantor

Nah dapat aja kan rumah di pinggiran itu dikontrakin, terus ngontrak rumah di Jakarta. Less stres banget pasti. Nambah cost ngontrak? Ya kan itu harga yang dibayar dari perjalanan. :)

🏢 Pilihan 4: pindah kerja ke kawasan deket rumah

Yaiya jikalau nggak mau pindah rumah ya pindah kerja HAHAHAHAHA

🚴 Pilihan 5: naik motor

YOI. Selama bulan pahala ini kami naik motor sebab macetnya nggak masuk akal. Makara lebih cepet lah niscaya meskipun tetep macet juga. Minimal sebelum buka puasa udah nyampe rumah lah. Kalau nggak mau naik motor, ya udah nikmatin naik kendaraan beroda empat macet. Weee. 😂

🚉 Pilihan 6: naik kereta

Ya kan ini solusi banget sih. Yang tinggal di Bogor aja banyak kok dan survive kerja di Jakarta sebab pemberian kereta. Nggak mau naik kereta sebab males penuh? YA JANGAN KERJA JAUH-JAUH MAKANYAAAA.

🚲 Pilihan 7: naik sepeda

Iya JG biasanya naik sepeda jikalau nggak bulan puasa. Cepet dan sehat!

See, aku aja dapat ngasih 7 pilihan loh. Tinggal dicari yang terbaik kan. Dan udah banyak orang yang karenanya nyerah, resign, pindah lagi ke kota asal sebab nggak mampu kerja di Jakarta. Itu tidak apa-apa. Itu pilihan kalian. Kalau kalian masih bertahan di Jakarta, ya itu juga pilihan kalian. Poin aku adalah, maknai setiap pilihan yang sudah kalian buat. :)

Apa aku dan JG nggak stres tiap hari di Jakarta yang macet dan panas?

Jawabannya: NGGAK.

Saya dan JG nggak stres tinggal di Jakarta sebab kami senang tinggal di kota ini!

Well yah benci polusinya sih tapi kan seberapa sering sih jalan siang-siang panas di antara kemacetan penuh metromini? Nggak pernah. Makara ya nggak terlalu kerasa juga.

Macet 4 jam jikalau mau dikeluhin bisa, tapi mengeluh untuk apa? Kalau mau ngeluh mah macet 1 jam juga dapat banget dikeluhin. Kami memaknai pilihan kami untuk tinggal di Jakarta dengan bahagia. Kami memaknainya dengan tidak banyak mengeluh pada hal-hal yang sudah di luar kuasa.

(Baca: Kenapa Kami Cinta pada Jakarta)

Bukan sekali dua kali aku harus menunggu hingga jam 7 atau setengah 8 malam di teras daycare sebab JG belum juga tiba menjemput. Panas, banyak nyamuk, tapi apa aku ngeluh kemudian aku stres menyalahkan macet Jakarta yang bikin JG telat jemput padahal cus dari kantor jam 5? Nggak lah sebab untuk apa.

Cuma bikin berantem doang loh ngeluh itu. Yaiya aku kesel nunggu, tapi kan JG juga kesel macet. Sama-sama kesel jadi ketawain aja. Hahahaha.

Saya juga dapat banget pesen ojek atau taksi online terus pulang duluan berdua sama Bebe tapi apa poinnya? Saya di rumah termangu berdua Bebe dan JG stres macet sendirian hingga rumah kan kasian. Makara aku selalu menentukan untuk menunggu. Karena macet bertiga itu dapat sambil ngobrol, dapat sambil nyanyi, dapat sambil bego-begoan. Quality time banget. Nggak apa-apa macet asal sama-sama. #prinsip

Toh dapat sambil makan malam juga sebab sudah pesan katering makan malam yang diantar ke kantor siangnya. Toh Bebe dapat sambil main juga sebab di teras daycare ada perosotan, ayunan, sepeda, dan bola. Toh dapat nonton YouTube juga jadi nggak bosan. Toh dapat sambil jajan cilor dan putu yang lewat depan daycare.

Kalau aku bisa, kalian juga niscaya bisa. Cari kantor yang remote office! Pindah industri! Pindah kerja! Gaji jadi lebih kecil? Why not jikalau jadi nggak stres dan jadi lebih bahagia. Coba dipikir lagi, siapa tau passionnya yakni berkebun atau beternak sapi? Bahkan buah-buahan dan daging aja banyak yang jual di Instagram loh.

Ih ngegampangin! Pindah kerja nggak segampang itu kali? Udah coba belum? Yakin nggak mau pindah kerja atau nggak mau ganti gaya hidup sebab kerjaan yang deket rumah gajinya lebih kecil? ;)

Apalagi jikalau masih single ya, wah pilihan itu BANYAAAKKK sekali. Kalau udah nikah dan punya anak, pilihannya lebih terbatas kan sebab jam kerja aja inginnya yang pasti. Tapi jikalau kita mau berusaha aku yakin selalu ada kok. Selalu adaaaa selama kita yakin dan percaya DAN TERBUKA pada hal baru. Rezeki kan nggak bergantung dari kantor ya nggak?

Mengeluh itu pilihan. Bahagia itu pilihan. Tinggal bagaimana kita memaknai pilihan itu. :)

Selamat hari Senin gengs! Macet banget loh hari ini! Hahahaha

-ast-

Detail ►

Meragukan Empati

Nahla udah nulis soal empati ini sih (klik ya). Tapi saya sendiri gres kepikiran soal tenggang rasa ini sesudah tragedi beberapa hari lalu. Ini akan panjang yaaa. Baca hingga tamat yaaa!

Sebelum ke dongeng intinya, kalian harus tau bila dibanding Nahla atau Gesi, saya yakni orang yang sungguh heartless. People said I have zero empathy huhu tapi ya nggak lah. Nggak zero banget, saya cuma pilih-pilih kasihan sama siapa.

Iya pilih-pilih dan pake kebijaksanaan dulu jadinya jarang kasihan. Apalagi bila susahnya lantaran terperinci salah atau malas. HAH NGAPAIN KASIAN. Ya kan, people with no feeling banget kan bila kata BuzzFeed.


Parahnya, JG juga sama hahaha. Dia melankolis dengan cara tertentu tapi ia juga realistis banget! Cuma lebih sering saya sih yang bilang kasihan sama orang dan ia bantah.

Misal saya bilang “duh kasian ya si A, sama suaminya dilarang-larang ini itu blablabla hingga ia nggak bisa begini begitu blablabla”

JG: “Kenapa kasihan sih, kan ia sendiri yang pilih suaminya”

AHA! Saya pun nggak jadi kasihan.

Nah lantaran keseringan gitu kesannya saya juga jadi punya teladan untuk lihat dulu alasannya yakni tragedi gres kasihan. Sampai beberapa hari lalu.

Beberapa hari menjelang ulang tahun Bebe, saya harus ke daerah digital printing lantaran nggak punya printer di rumah. Kalau pun punya juga tetep harus beli kertas tebel kan jadi ya udah pulang kantor jam setengah 5-an gitu saya eksklusif ke daerah printing. JG jemput Bebe kemudian ketemu di sana.

Dengan sungguh inisiatif saya naik ANGKOT. KENAPA GUE NAIK ANGKOT. ITU PERTANYAAN YANG TIDAK TERJAWAB SAMPAI SEKARANG. MUNGKIN SUDAH JALANNYA.

Karena jarak kantor dan daerah printing itu deket banget mungkin cuma 2,5 km. Saya mikirnya “alah deket, nunggu ojek malah usang nunggu ojeknya dateng”. Makara saya eksklusif nyeberang dari kantor dan naik angkot.

Padahal bila diitung-itung cuma beda 2ribu peraakk. Naik angkot 4ribu, naik ojek 6ribu. Tapi ya sudahlah masalah ini disingkirkan dulu lantaran saya jadinya nyesel banget naik angkot gara-gara satu orang ini.

Makara jalanan itu macet banget. Saya duduk di sebelah kiri angkot sendirian, di sebelah kanan ada 3 ibu-ibu. Semuanya ngelamun (ya masa mau jungkir balik). Nah terus saya nggak sadar bila jendela kebuka, lantaran bukan saya yang buka jendelanya.

TAU-TAU ADA KEPALA ORANG PERSIS DI SEBELAH MUKA SAYA. DI BALIK JENDELA ANGKOT.


DEKET BANGET. Mas-mas umur 20an tahun, kulitnya item kebakar matahari, mukanya lemes kaya mau pingsan. Dia nyodorin sendal kulit di depan muka saya

Saya refleks mundur dong sambil megang tas. Dia bilang gini:

“Bu, hiji we bu. Kanggo meser kolek bu,” katanya dengan bunyi yang super lemes.

(Arti: “bu (beli) satu aja bu. Buat beli kolak bu”)

Saya shock berat dan di otak saya cuma satu: WHAT THE F, DOES HE SPEAK SUNDANESE?!!

Ya di Jakarta gitu loh, mending ia ngomong sama saya, sayanya ngerti. Lah bila ia ngomong ke orang lain? Saya mundur dan geleng-geleng doang sambil berharap angkotnya cepet maju. Dia ngomong itu berulang-ulang. Saya diem, pegang tas kuat-kuat. Sampai kesannya ia pergi.

Saya eksklusif tutup jendela dan shock.

Tiba-tiba ibu-ibu di depan saya bilang “Jualan sendal ya? Kasian ya”

Saya kembali liat ke pinggir jalan dan di sanalah dia. Jalan terseok-seok sambil bawa tas besar yang materi jins itu loh. Tasnya kaya berat banget gitu jadi jalannya tambah lemes. TERUS SAYA JADI KASIHAN.


Mana ini angkot jalannya lambat banget lantaran macet jadi saya bisa liat ia nawar-nawarin ke banyak orang (karena itu daerah rame deket pasar) dan semua orang nolak. Sampai kesannya ia terduduk di trotoar dengan muka pucet. Saya ngerasa bersalah lantaran kok tadi saya takut sama dia, ia cuma jualan kok. Tapi lagian mau beli juga saya nggak punya uang cash. Cuma punya 4ribu ini recehan buat bayar angkot.

Ah pokonya berkecamuk banget lah. Saya mikirin mungkin ia dari kampung mana gitu niat kerja di Jakarta, terus ternyata di Jakarta nggak seindah bayangan. Terus ia puasa harus jalan entah berapa kilometer.

Saya mikirin ia tinggal di mana di Jakarta. Apa ia makan sahur tadi subuh? Dia bisa pulang apa nggak ya? Dia kampungnya di mana ya? Berapa sendal yang udah ia jual hari ini ya? Apa nggak kejual sama sekali hingga beli takjil pun nggak mampu?

T__________T

Sampai kesannya saya bisa menguasai diri dan melihat ke seberang jalan … ADA JUGA MAS-MAS SERUPA!

Tapi yang ini nggak lemes meski mukanya susah sih ya. Dia duduk di trotoar depan warung padang terus nawar-nawarin ke orang yang lewat. Sendalnya sama, tas jinsnya sama.

Saya mikir hah syukurlah orang tadi niscaya nggak sendirian. Untung ada temennya. Saya hingga berkhayal mungkin mereka adek abang terus berjuang di Jakarta sama-sama. Dari situ saya sedikit lega lantaran yah namanya beban bila dibagi berdua mungkin bisa jadi lebih ringan.

Dan kesannya saya nyampe ke daerah printing. Ketemu JG. Saya bilang:

“Tadi saya naik angkot terus saya kaget ada mas-mas di nongol di jendela, ternyata jualan sendal, kasian sayang ia lemes banget gitu kaya mau pingsan, saya jadi kepikiran”

TAU APA TANGGAPAN YANG TERHORMAT @JAGO_GERLONG?

*PANIK*

“HAH?! KAMU NGAPAIN NAIK ANGKOT?! HP KAMU MANA?! KAMU NGGAK DICOPET KAN?! DOMPET KAMU MANA?!”





“Ada kok, saya nggak dicopet. Lagian emang kasian beneran ih bukan copet, ibu-ibu depan saya hingga kasian juga. Terus ada mas-mas yang lain juga kok di seberang jalan yang nggak lemes.”

“Hah, itu mah KOMPLOTAN. Ibu-ibu itu niscaya komplotannya juga. Biar kau lengah. LAGIAN NGAPAIN KAMU NAIK ANGKOT?!” kata JG.

Terus saya diem. Shock-nya jadi dobel.

T_____________T

Ok I completely understand your concern about my safety, angkot and copet thank you so much. Tapi saya yakin itu ibu-ibu bukan persekutuan laahhh. Itu ibu-ibu biasa pulang dari pasar. Dan ibu-ibu itu beneran kasian, buktinya saya nggak dicopet.

Sampai kini saya masih 50:50. Apa bener ia mau pingsan? Atau ia akting aja semoga orang kasian? Ya di Jakarta gini banyak banget kan orang-orang akting gitu demi dapet uang. HIKS.

(Baca: Sedekah di Tangan yang Salah)

Satu yang cukup menganggu saya, saya susah berempati tapi saat saya berempati, tenggang rasa itu diragukan. Dan sesudah saya pikir-pikir emang iya sih, mungkin banget ia nipu dan kita emang harus siap dengan penipuan semacam itu.

Saya pernah juga soalnya pulang ke rumah berdua Bebe terus tiba-tiba depan rumah ada kaya preman gitu ngakunya minta uang buat mesjid. Saya cuma punya selembar 100ribuan dan kesannya berpindah tangan lantaran saya takut nolak lah. Takut banget. Mana masih di garasi dan cuma berdua sama Bebe di rumah.

Saya tau dan sadar saya dipalak lantaran pas liat mapnya, map panti asuhan. Di tabel santunan juga panti asuhan.

T___________T

Ya pada dasarnya saya pernah beberapa kali kena tragedi gitu jadi JG udah sebel banget.

Tapi kan beda masalah ya, bila tadi lantaran kasian. Yang kedua lantaran dipalak. Meskipun ya memang bisa banget modus malak dengan cara bikin orang kasian. Bisa banget ngerti kok.

Hiks.

Tetep sedih. Karena mau kasihan sama orang aja harus pake waspada dulu. Harus pikir panjang dulu. Mengapa sudah tidak ada lagi yang murni di dunia ini HUHU. Kapan bisa bantu orang tanpa kepikiran apakah orang itu kriminal apa nggak ya?

Jakartaaaa. Macem-macem orang ada di sini dan yah, cukup horor bila nggak waspada sih. Apalagi ahad ini 2 orang kan ditembak di tempat. Satu yang gres ambil uang dari bank dan ditembak kepalanya dan satu lagi yang anak Trisakti ditembak lantaran neriakin maling motor di rumahnya.

Pertanyaan Gesi “apa bila tragedi gitu jadinya kita harus membisu dan bukannya ngelawan?”

Saya sih iya. Saya lebih baik diam. Takut banget soalnya. Saya nggak cukup berani melawan kejahatan. :(

*

Akhirnya hari itu ditutup dengan “pokoknya kau nggak usah naik-naik angkot lagi”

“Aku kan mau irit!”

“IRIT 2RIBU!”

Ok you win.

T___________T


-ast-

Detail ►

Meng-Undo Kehidupan


Coba pikirkan baik-baik dalam sehari kerja, berapa kali teken Ctrl + Z? Saya sering banget gengs. Apalagi nulis blog gini, baca hapus baca hapus hahaha demi kesempurnaan yang sempurna. *APAHHH* *APAH COBA JELASKAN MAKSUDNYAH*

Terus saya jadi mikir, betapa enaknya hidup di kala digital gini. Semua bisa dicoba dulu dan dengan gampangnya bisa di-undo seketika.

Waktu saya ngerjain skripsi, saya stres setengah mati lantaran ngerasa salah terus dan jadi buang-buang kertas tiap kali revisi. Entah berapa kilo kertas kebuang. Ayah hingga beliin printer laser lantaran jikalau pake printer biasa boros banget tintanya!

Tapi terus saya nanya ayah dan ibu, waktu ngerjain skripsi gimana? Ya gimana lagi, pake mesin tik lah omg. Katanya pas ngetik didobel, ada kertas belakang yang udah digaris-garisin pake spidol semoga keliatan di titik mana harus mulai dan berhenti ngetik, juga untuk tau di mana tengahnya kertas untuk naro judul. Dengan kata lain, itulah align yang bisa kita set pribadi dalam beberapa klik di Ms Word atau Google Docs.

OH WOW.

Nah terus saya jadi mikir (ya biasalah orang kebanyakan mikir), apakah fasilitas Ctrl + Z ini bikin hidup kita jadi kurang mikir? Kaprikornus kurang perhitungan? Kaprikornus menggampangkan banyak hal? Kaprikornus kurang terencana?

(Saya pernah nulis dikala saya ingin kembali menghargai proses: Tentang Hidup Kembali


Mungkin nggak semua orang ya tapi saya sih cukup ngerasain itu. Mau posting apa, mikir bentar ah udalah upload aja dulu toh bisa dihapus. Nulis blog aja yang udah proof read beberapa kali suka tetep lolos typo. Apakah saya kurang serius proof read lantaran merasa toh bisa diedit juga?

Apakah jadi bikin kita kurang menghargai proses?

Mau beli baju cincai lah beli aja dulu toh bisa tuker atau refund (makanya beli baju di e-commerce gengs), mau beli barang mahal macam kamera ya udalah beli dulu aja toh jikalau nggak suka tar tinggal jual di marketplace simpel paling harga turun dikit tapi kan udah coba punya dan pake.

Lha zaman dulu? Baju aja harus menjahitnya sendiri lol, susah undo-nya. Mau beli-beli barang mahal jikalau nggak suka harus jual lagi di mana? Jual barang bekas di mana sih dulu? Di Babe ya? Sama di Old & New. Anak Bandung tahun 2000-an banget hahahahaha.

Intinya dulu ngapa-ngapain lebih susah di-undo, jadi niscaya kita lebih menghargai prosesnya. Itu harus diakui. Lagian mau ngaku ginian aja masa susah hahaha.

Terus fasilitas komunikasi juga bikin males mikir banget. Janjian aja pake “liat nanti deh makan di mana” atau ala Cinta di AADC “nanti sorean deh dikabarin lagi ea”. Yang penting tempatnya udah pasti, maka daerah ketemu persisnya dipikirin nanti aja last minute. Weh jikalau zaman dulu bisa-bisa nggak jadi ketemu ya?

Duh saya nggak mampu ngebayanginnya. Ngabarin ke orang via surat bahwa akan hingga di bandara hari apa jam sekian dan minta jemput di titik mana. Kalau pesawatnya delay? Kalau tiba-tiba ada apa hingga nggak jadi berangkat? Aku butuh kepastian mas, tolong.

Jadinya dengan segala fasilitas digital ini kenapa kita jadi cenderung males mikir?

Paling simpel liat efeknya dari urusan hoax. Seberapa sering orang dengan simpel sebarin hoax terus dengan gampangnya juga sebarin undangan maaf lantaran yang tadi hoax.

Padahal MIKIR dulu gitu ya ampun. Pikirin dulu apa ini bener nggak ya? Masuk logika nggak ya? Kroscek deh googling dulu.

Oh listrik naik ya? Emang kenapa sih naik? Oh ternyata bukan naik tapi subsidi untuk keluarga bisa dicabut. BACA, CARI TAU, BELAJAR. Nggak percaya sama media mainstream? Lebih percaya sama media entah di mana kantornya entah siapa pemimpin redaksinya? Ok silakan. Nggak temenan ya kita. ;)

Kemalasan mikir ini jadi bikin chaos banget. Semua teriak-teriak berisik padahal yang tau terang masalah cuma dikit. Ditanya kronologi aja nggak ngerti, yang penting bikin status dulu, jikalau ternyata salah yang tinggal dihapus atau diedit. Kenapa sih yaaa. Lelah juga ya lama-lama dengan orang-orang males mikir ini.

Dulu orang yang punya opini dan dibaca massa cuma itu penulis kolom opini di koran dan orang-orang yang diundang TV. Mereka terang backgroundnya, lah sekarang? Orang nggak terang background-nya apa aja bisa ikut ngomong soal politik, soal kesehatan, soal ekonomi. Ngana siapaaa?

Berani ngomong lantaran jikalau salah tinggal hapus kan? Ini sebabnya banyak orang yang bacot di dunia maya tapi nggak mau ketemu di dunia nyata. Karena jikalau ketemu langsung, omongan nggak bisa di-undo, jadi lebih baik diam.

ARGH.

(Baca: Tentang Kejujuran)

Hidup cuma sekali loh gengs. Yang kita lakukan kini ini mungkin bisa di-undo tapi waktu nggak akan pernah bisa diulang.

Ingatlah jikalau komunikasi bersifat irreversible (tidak bisa dikembalikan ibarat semula). Oke konten bisa kita ralat, status bisa kita edit, tapi secara teori komunikasi yang sudah berjalan tetap ada efeknya, baik positif maupun negatif.

Kaprikornus jikalau sekali kita share gosip hoax, gosip itu bisa kita hapus, bisa kita hilangkan dari muka bumi. Tapi untuk orang-orang yang sudah baca, kita akan tetap diingat sebagai orang yang pernah share hoax. Makanya hindari share sesuatu jikalau kita nggak tau persis, hindari social media dikala murka lantaran kita nggak tau apa yang bisa kita tulis dan kemudian tidak bisa di-undo di benak orang lain.

Dan ya, ayo mulai menghargai proses. Iya semua lebih simpel di-undo tapi kadang ada hal-hal yang memang butuh kesempurnaan. Feed Instagram contohnya, sebel kan jikalau harus ngehapus foto yang nggak sesuai di feed tapi yang like udah banyak? LOL Untung bisa archive kini yaa.

Stop sebarkan sesuatu yang dimulai dengan kata "Sebarkan!" apalagi dengan komplemen "selamatkan orang yang anda cintai!" duh. STOP YA, PLEASE. Googling dulu lah minimal, Google pinter kok, keywordnya nggak usah persis juga ngerti dia. Jangan hingga kita jadi pecahan insan males mikir. Huhu.

Ayo mulai kroscek untuk segala sesuatu, selalu lah berpikir skeptis. Lihat dari semua sisi. Lihat dari sisi yang berseberangan dengan kita. Lihat ke sisi positif jangan selalu berpikir negatif. Lihat ke bawah jangan melulu lihat ke atas. (monolog)

*

Yaaa meskipun hidup dengan aliran matang, perhitungan sempurna, menyusahkan segala hal, dan well-planned nggak jamin kalian jadi sukses juga sih. HAHAHAHAHA. Tergantung definisi suksesnya juga yaaa.

Sukses dengan proses jujur atau nggak jujur hayo? Ah jadi panjang.

Udah ah gitu aja. Selamat kerja bagi yang masih kerja!

-ast-

*Terinspirasi nulis ini lantaran lagi bikin presentasi dan Ctrl + Z mulu ARGH KAPAN KELARNYA KALAU GUE UNDO-UNDO TERUS. KEBURU LEBARAN. BYE.

Detail ►

#Sassythursday: Wacana Passion Dan Calling

Wow sungguh berfaedah sekali ya #GesiWindiTalk dan #SassyThursday kali ini. Diawali dengan posting Instagram saya beberapa bulan kemudian soal passion, Gesi ingin nulis juga soal passion ini. Akhirnya ajak Nahla dan Mba Windi deh sekalian. Karena kami sungguh orang-orang yang passionate lolol.

Baca yang lain juga ya!
Grace Melia: Mencari Passion
Windi Teguh: Menemukan Passion
Mevlied Nahla: Atas Nama Passion

Saya sendiri ingin nulis dari sisi passion dan calling. Dua kata ini definisinya banyak banget dan memang blur gitu. Nggak jelas. Ada yang bilang passion dan calling sama, career yang beda. Ada yang bilang passion, calling, dan career itu beda. Blablabla. Suka-suka orang deh, saya juga mau bikin pendapat sendiri lol.

Kaya yang saya bilang di postingan Instagram, passion itu pencarian seumur hidup, begitu juga dengan calling. Saya beruntung tau semenjak kecil jikalau passion saya nulis, belum bosan, atau ingin ganti. Iya saya suka agak gimana gitu sama yang membatasi definisi passion dengan sesuatu yang tidak menciptakan kita bosan.

"Ah jikalau bosan namanya bukan passion" ... Ih gitu amat. Padahal ya nggak apa-apa, namanya insan kan punya titik jenuh yang beda-beda. Yang jelas, yang bikin bosannya paling usang itu bisalah dibilang passion hahaha. Ya jikalau gres seminggu udah bosan kan terang bukan passion ya. Tapi jikalau udah 3 tahun? Udah 5 tahun? Terus kita bosan, masa dibilang bukan passion. Kan nggak begitu juga.

Nggak apa-apa banget bilang “aku dulu passionate banget sama A tapi kini nggak lagi”. BOLEH KOK. NGGAK MASALAH. Hahaha. Jangankan passion, cinta aja sanggup luntur kan gengs. HEYAK.

Dan ingat, masih ada calling!


Ya, calling kalian apa sih? Saya sendiri belum nemu banget, untuk apa saya hidup? Apa panggilan (banyak yang bilang “panggilan Tuhan”) yang bikin saya ngerasa berguna? Tapi saya nggak pusing amat sih saya anaknya santaaaii hahahaha.

Contoh sederhananya gini, ada orang yang passionnya berkebun, tapi dengan berkebun beliau jadi nggak sanggup bantu orangtua yang sedang sakit dan bayar adiknya kuliah. Kaprikornus beliau kini tetap bekerja di korporasi, dengan demikian beliau jadi sanggup bantu keluarga alasannya ialah gajinya lebih dari cukup.

Keluarga ini tentu beliau sayang banget jadi sesuatu memanggil beliau untuk terus bantu keluarga dan itu bikin beliau bahagia. That’s your calling! Nangkep kan ya? Lagian passion berkebun kan masih sanggup jadi hobi.

Contoh lain. Passion kau traveling, terus ketika lagi masuk hutan Kalimantan kau jatuh cinta sama orangutan. Dan mulai kini kau mendedikasikan diri kau sebagai penggerak evakuasi orangutan. Kamu merasa kau HARUS dan ada urgensi melaksanakan itu. That’s your calling! Passion traveling tetap sanggup dilakukan ketika kau traveling mencari orangutan untuk diselamatkan atau kampanye ke mana-mana.

Kaprikornus buat saya, passion dan calling itu sanggup sama sanggup beda. Ketika kau passionate dan kau merasa berkhasiat bagi diri sendiri, keluarga, atau nusa bangsa ketika melakukannya, sanggup jadi passion kau dan calling kau sama.

Begitu gengs. Semoga nangkep ya hahahaha.

Intinya apa?

🌟 Untuk kalian yang masih berusaha menemukan passion dan calling 💙

Pikirkan baik-baik apa ya calling kalian? Jangan-jangan selama ini kalian nggak tau passion kalian apa alasannya ialah sibuk menjalani calling? Nggak apa-apa banget. Satu-satu aja kok kalem ajaaa.

Karena kadang kita bukan nggak tau passion kita apa, tapi kita belum sadar aja. Maka dari itu memang harus dikerjakan berulang-ulang dan terus menerus. Dicoba lagi dicoba lagi!

Dan ya, passion itu memang harus dicari. Kalian nggak akan tau se-passionate apa kalian sama satu hal sebelum kalian coba. Kaprikornus coba hal-hal gres deh. Sekarang banyak banget kan short course gitu buat berguru hal baru.

Dari yang standar kaya baking atau cooking class hingga yang agak “aneh” kaya leather stitching atau jewelry making gitu. Dicoba dulu aja yang kira-kira menarik, siapa tau jadi hobi gres dan bikin kita senang melakukannya. Itulah passion! JADI AYO COBA DULU!

🌟 Untuk kalian yang sudah tahu passion kalian apa 
💙

Good for you! Jangan pernah ngerasa puas, terus lakukan dan lakukan alasannya ialah jam terbang itu nggak pernah berkhianat. Kalian boleh capek, kalian boleh bosan, tapi ingat passion itu ialah ihwal sejauh mana kita bertahan dan seberapa berpengaruh kita berusaha mempertahankan.

Kalau kalian cukup beruntung sanggup ngerjain passion tanpa terganggu uang, maka kalian punya ruang untuk lebih berkembang. Hard work never lies.

Karena definisi sukses bagi orang juga beda-beda kan. Ada yang definisi suksesnya ialah honor sekian sebulan, berkali lipat dari temen seangkatan/orang seumuran. Tapi ada juga yang definisi suksesnya kaya saya, honor so-so lah, hidup nggak mewah, tapi saya punya kerjaan yang saya suka, saya punya waktu banyak buat keluarga. And that makes me happy! :)

🌟 Untuk kalian yang tahu passion kalian apa tapi mengeluh alasannya ialah kerjaan tidak sesuai passion 💙

Ya pekerjaan akan lebih ringan jikalau pakai passion, tapi telusuri lagi deh kenapa ambil kerjaan itu? Karena gajinya? Karena cari pengalaman? Karena apa?

Kalau alasannya ialah honor kan ya gimana, siap hidup tanpa gaji? Akan lebih susah mana, kerja nggak sesuai passion atau nggak punya gaji? Passion apa uang? Pusing kan?

Kalau kalian emang nggak tahan ya resign. Kalau kalian bertahan alasannya ialah uang, maka ya, jalani lah. Passion-nya dijadikan sampingan dulu aja sementara. Siapa tau tabungan dari kerjaan yang menyebalkan itu sanggup jadi modal untuk menguangkan passion kan? :)

Lagipula nggak semua passion sanggup menghasilkan uang yang layak untuk hidup, sementara kebutuhan hidup terus berjalan dan gaya hidup susah diubah kan.

Gimana pun uang akan selalu jadi motivasi lebih. Kecuali kalian memang sanggup hidup lebih susah demi passion atau passionnya emang sanggup menghasilkan uang banget yaaa. Beruntunglah kalian yang sanggup hidup layak dan yummy sambil kerjain passion. Yosh!

Dan ya, kembali ke calling. Mungkin memang kerjaan kalian nggak sesuai passion, tapi menjalani calling?

🌟 Untuk kalian yang tidak terlalu peduli dan yaaa hidup sih gini aja lol 💙

Nggak apa-apa banget! Iyalah nggak apa-apa banget beneran. Nggak semua orang punya sasaran buat hidup dan hidup tanpa sasaran pun tidak apa-apa hahaha. Kecuali jikalau kalian punya anak ya, ya minimal siapin lah dana pendidikan anak alasannya ialah anak kan tanggung jawab kita.

Karena jikalau semua orang ambisius nanti pusing lohhh. Harus ada orang-orang kalem emang semoga dunia seimbang hahaha. Kalau semua ambisius nanti pilpres siapa yang milih dong semua orang ingin jadi presiden lol.

*

Oke sebagai penutup, pesan saya (yang juga harus saya katakan berkali-kali pada diri sendiri): carilah kebahagiaan dalam hidup. Whether it’s passion, calling, or career!

Buat ibu-ibu yang ngerasa rendah diri alasannya ialah jadi ibu rumah tangga, jadi ibu rumah tangga itu calling banget loh. Nggak semua orang punya calling untuk jadi ibu rumah tangga. Meski saya selalu bilang wanita harus berdaya, saya juga nggak duduk kasus sama ibu-ibu yang hidupnya memang hanya mendedikasikan diri sama keluarga. Selama senang kan nggak apa-apa banget. Kecuali memang melakukannya dengan terpaksa. :)

Tidak ada kata terlambat menemukan passion, tidak ada salahnya mengganti passion, dan tidak ada salahnya tidak punya atau belum nemu passion! Your call!

Minimal tau caranya bikin diri sendiri senang dulu lah semoga nggak monoton hidupnya. Kalau hidup monoton nanti bosen loh. Bosen hidup kan serem ya hehe.

So be proud of what you are now! Be happy! Your happiness is your own responsibility! Your life is your own journey. :)

*

Demikian kuliah umum kali ini, sudah layak kah jadi motivator? :)))))

-ast-

Detail ►

Kehilangan Dan Kuota Kepemilikan


Bicara kehilangan, dua kali barang yang cukup "penting" harus terrampas dari kehidupan saya.

Tahun 2008-an saya pernah dihipnotis di Toko Petra, Bandung. Waktu itu hilang Blackberry pertama yang dibeli dengan uang tabungan sendiri. Kedua kemarin itu, ketika barang-barang yang raib malah bukan barang yang saya beli sendiri.

Keduanya cukup bikin melongo seharian. Dan ya ... sedih sekali. T_______T

Saya dongeng di grup dan semuanya kalem, Nahla bilang: "namaste, kita harus kasih positive vibes, udah anggap buang sial" --> anaknya emang positif banget sama harta benda.

Gesi bilang: "Kalo kata Kousuke papa Miiko: barang yang hilang membawa segala kesakitan dan ketidakberuntungan kita alias kaya kata nahla, buang sial" --> bahkan di ketika kesialan pun nge-quote-nya Miiko.

Mba Windi bilang: "tp udah dilihat blm ke seluruh rumah siapa tau ketelingsut" --> orangnya paling logis hahahaha heartless wtf.

Terus kata anak kantor saya Devina (cie Devina disebut namanya lol) "sejak saya ilang HP itu mbak, saya percaya semua orang pernah kehilangan, kaya ada kuotanya gitu".

Oh ya, kuota kehilangan, kuota kepemilikan. Kehilangan kali ini ternyata mengajarkan saya banyak hal.

*

Pagi itu gosip kehilangan belum saya ceritakan di group keluarga. Saya menunggu agak hening dan memikirkan kalimat yang pas alasannya saya sendiri masih shock memikirkan ada orang masuk rumah. Saya merangkai kata semoga kejadiannya tidak terlalu terasa horor.

Ketika kesannya saya bercerita, semua orang berduka, adik-adik saya pada kasih emot nangis. Sayanya jadi makin sedih huhuhu.

T_________T

Emosinya campur aduk. Sedih, khawatir, terutama takut. Iya saya takut banget alasannya malem sebelumnya di rumah cuma berdua Bebe. Saya jadi kepikiran, gimana jikalau orangnya masuk pas JG nggak ada. Saya dan Bebe dapat apa?

Gimana jikalau pas orang itu masuk ruang tamu ia tidak menemukan apa-apa? Apa ia akan lanjut masuk rumah dan bertemu kami bertiga? Seketika keganjilan saya menyimpan kamera dan iPad di ruang tamu jadi terasa sebagai keberuntungan.

Jika hari itu normal dan kamera serta iPad ada di kamar menyerupai hari-hari biasanya, ruang tamu saya tidak akan terisi barang berharga. Apa yang akan si pencuri lakukan?

Segala emosi itu bercampur plus terpikir adik saya yang akan menikah final ahad ini. Rasa kecewa, hasrat kebendaan, dipadukan dengan obsesi pada Instagram ini memang menjerumuskan sekali ya.

*ujung-ujungnya Instagram* 😪

Nggak usang group buibu temen kuliah rame. Temen saya dongeng ada anak temennya umur 6 bulan yang gres aja meninggal alasannya SIDS (sudden infant death syndrome). Yang kacau dari SIDS itu nggak pernah diketahui penyebabnya kan, anak lagi tidur tau-tau meninggal aja nggak ada bunyi atau apa.

"Abis main terus tidur terus ia ga bangkit lagi, kata dokter kematian alami"

T_________T

Belum sekian menit bahas SIDS, guru daycare-nya Bebe chat ngirim beberapa foto Bebe yang dekil keringetan abis guling-guling main bola di halaman. Mukanya bahagia, tengil menyerupai biasa. Bebe nggak tahu, sepagian ibu dan appanya lagi sedih. Nyes banget rasanya liat Bebe yang happy sehabis denger gosip anak meninggal.

T_________T

Kehilangan saya ternyata nggak ada apa-apanya. Orang lain kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar, sementara saya masih punya segalanya. Hidup saya nggak pernah kurang meski nggak berlebihan hingga dapat beli Hermes. Bebe sehat dan happy, suami support selalu, saya nggak kurang apa-apa.

Abis dikirim foto Bebe itu saya ngerasa Tuhan itu lagi ngegeplak nyamuk depan muka saya yang lagi ngelamun. Saya digeplak di depan mata biar kaget dan berhenti merenung terlalu lama.

Beberapa bulan ke belakang saya memang terlalu banyak mengeluh, terlalu sering ngerasa kurang, terlalu mikir kok hidup gini-gini aja sih. Kok kurang terus ini dan itunya.

Butuh hilang kamera dan iPad dulu gres saya ngerasa bahwa tanpa kedua benda itu aja ternyata hidup saya nggak kurang. Nggak sama sekali. Hidup saya cukup, sangat sangat cukup.

Saya juga jadi sadar satu hal: nothing is unlimited. Every single thing has a limit!
Hidup dan mati sih udah tentu ya. Tapi juga hak kepemilikan kita pada barang. Nggak ada satu pun yang dapat kita miliki selamanya. Semua benda punya "kuota".

Jatah saya untuk punya kamera dan iPad mungkin hanya 5 tahun. Itu pun harusnya saya sudah merasa beruntung lah, selama 5 tahun dapat memanfaatkan kamera dan iPad tanpa modal apa-apa sama sekali alasannya keduanya yakni pemberian.

Kalau pun nggak hilang, ketika kuota kepemilikannya habis ya barang itu PASTI akan nggak dapat dipake lagi. Entah rusak atau saya beli gres atau barangnya dikasih ke orang atau dijual.

Kalau pun kita simpan barang itu selalu, akan ada masanya ia berhenti kita pakai. Hanya akan terduduk di lemari atau di gudang dan kemudian ditasbihkan sebagai "barang kenangan".

Semua niscaya ada batasnya. SEMUA PUNYA WAKTUNYA, SEMUA PUNYA GILIRANNYA. Semua punya kuota kepemilikannya.

Tiba-tiba saya ikhlas. Saya eksklusif chat JG dan bilang mulai kini saya akan lebih menghargai waktu-waktu bersama Bebe dan JG alasannya ternyata mereka berdua lah sebenar-benarnya definisi bahagia. :')

Saya eksklusif merasa beruntung menikah dengan JG yang bahkan tidak bertengkar atau saling menyalahkan ketika terjadi petaka menyerupai ini. Padahal menyalahkan yakni hal termudah untuk menenangkan diri.

Dan ya, aneka macam saya tahu pasangan yang malah bertengkar ketika terjadi musibah. Hal sesederhana anak menangis saja dapat jadi sumber pertengkaran. Padahal untuk apa mencari kesalahan yang tidak perlu? Kami tidak, thank God.

JG dapat menyalahkan saya yang entah kenapa menyimpan kamera dan iPad di ruang tamu. Saya juga dapat menyalahkan JG yang tidak mengunci pintu. Tapi kami tidak melaksanakan itu. Tidak peduli siapa yang salah, yang terperinci ketika ini kami butuh satu sama lain untuk saling membuatkan kesedihan.

Sorenya saya jemput Bebe dan bilang "cil, kamera sama iPad ibu ilang diambil orang, ibu sedih deh".

Manisnya, Bebe eksklusif peluk saya dan bilang "nanti jikalau sudah besar saya beli kamera dan aiped buat ibu".

CRYYYYY.

Sepanjang jalan ke rumah, Bebe yang duduk di car seat terus cium-cium tangan saya sambil bilang "Aku beli kamera, ibu seneng kan? Appa seneng kan? Tapi nanti jikalau sudah besal"

😢

Nyampe rumah ia eksklusif nyalain senter di HP nya dan sibuk nyenterin semua kolong. Kolong meja, kolong rak, sisi samping lemari. Saya tanya, lagi apa? Jawabannya?

"Aku lagi cari kamera dan aiped ibu" seolah kamera dan iPad saya hilang itu sama dengan mobil-mobilan ia yang "hilang" masuk ke kolong.

WHAT HAVE I DONE TO DESERVE THIS SWEET BOY 😭😭😭

*

Nahla selalu bilang "harta itu serem kak, serem banget". Iya saya gres sadar itu sekarang, semakin banyak kita punya sesuatu, semakin besar kemungkinan kita "sakit" alasannya kehilangan, semakin tinggi rasa khawatir dan curiga.

Tapi yaaa, realistis aja sih. Nggak bakal juga tiba-tiba hidup minimalis hanya dengan satu koper gitu kaya yang lagi trendi hahaha Nggak sanggup, secukupnya aja yaaaa. Hasrat kebendaan ini kan paling susah dibendung alasannya bikin senang dengan instan. Sigh.

Dan ternyata kemalingan gini masuk akal terjadi di kota-kota besar ya! Iya sih saya sering denger cerita, tapi banyak orang yang saya ceritain soal ini pernah kehilangan dengan cara sama juga, kehilangan di ruang tamu juga alasannya nggak kunci pintu. Oh well.

Kuota kehilangan itu benar adanya.

Malem itu juga kami ke kantor polisi, mengantri 1 jam lebih dan belum juga kebagian jatah dibuatkan laporan pencuriannya. Kami mengobrol dan menyadari bahwa semua orang di sini melaporkan sesuatu yang hilang alasannya dicuri!

Saya gres tahu lho, di kantor polisi ruangannya itu beda dengan bikin surat kehilangan atm hilang. Ini ruangannya tegang, ada satu ibu yang ternyata pencuri ketangkep basah, sedang diinterogasi. Beberapa calon pelapor lain menunggu dengan wajah capek. Ditambah pak polisi yang menjawab ketus alasannya harus jaga image-lah! Ada maling di ruangan gitu loh!

Wow, banyak orang kehilangan artinya banyak yang mencuri, artinya banyak yang butuh uang. Mungkin memang BUTUH uang untuk makan, untuk beli susu, untuk anaknya sekolah.

Iya saya yakin, maling nekat menyerupai ini tidak akan mengambil kamera dan iPad saya untuk dibelikan iWatch dong? Priority bro. Nggak mungkin kan malingnya persekutuan Danny Ocean alasannya masa iya yang dimaling cuma kamera dan iPad. 😶

Selintas saya mikir loh kok banyak orang jahat di dunia ini!

Tapi kemudian eksklusif tersadar bahwa nggak fair lah mikir kaya gitu alasannya kenyataannya orang baik juga banyak. Lebih banyak.

Orang-orang baik yang mau membantu mendorong kendaraan beroda empat ke pinggir jalan meski tidak kenal, yang tidak menjambret HP kita ketika sedang pesan ojek di sisi jalan yang ramai, yang rela ... apa lagi ya. Ya pada dasarnya banyakan orang baik kok! Dalam satu gedung kantor aja maling uang kantor paling berapa orang kan. Rasionya lebih banyak orang yang baik dan jujur kan!

Belum lagi memikirkan orang-orang yang harus mengambil kuota kehilangan mereka dengan cara yang garang dan tidak manusiawi. Yang dirampok dengan senjata tajam hingga disekap di kamar mandi.

Ya pada dasarnya saya masih jauh lebih beruntung. Maling kamera itu hidupnya niscaya tidak seberuntung saya. :')

Jadi ya jikalau kalian gres kehilangan barang kaya saya, ingatlah selalu bahwa semua orang punya kuota kehilangan. Semua barang punya kuota kepemilikan. Nothing's immortal.

Dan selayaknya ibu-ibu, mari kita tutup postingan ini dengan kata mutiara yaitu ... selalu ada pesan tersirat di balik setiap kejadian hahaha.

Kali ini hikmahnya yakni jadi beli kamera baru. Sebelumnya saya selalu ingin beli kamera tapi tak pernah punya alasan besar lengan berkuasa untuk beli alasannya kamera usang pun tidak apa-apa hahahaha #win

Kalian pernah hilang barang elektronik kesayangan juga? Hilang apa? Jangan sedih ya, mungkin kuotanya sudah habis! ;)

-ast-

Detail ►