Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri memaknai-pilihan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri memaknai-pilihan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Memaknai Pilihan


Aih gres Senin udah ngomongin pilihan. Gara-garanya Jakarta jikalau bulan pahala itu macetnya 3 kali lipat dari biasa kan ya. Saya jadi merenung soal pilihan-pilihan.

Juga dikompori oleh salah satu komentar di statusnya Gesi ahad kemudian di postingan Suami Nyebelin (baca yaaa, gimana nyebelinnya JG lol).

Isi komentarnya gini (saya copas):

“Katanya sih mak, kerja d Jakarta itu stres nya 3x. Stres perjalanan pergi, stres pekerjaan dan stres perjalanan pulang hehhee.. Cabal ea kelens 😉”

Terus aku murung baca komen itu hahahaha lagi PMS emang waktu itu. Sedih sebab kenapa orang stres tapi tetap bertahan?

Stres sebab kerjaan di kantor baiklah aku masih ngerti. Nggak semua kerjaan stress-free dan banyak jenis pekerjaan yang memang menciptakan tingkat stres jadi lebih tinggi. Itu satu hal. Tapi kasian banget dong jikalau udah stres sebab kerjaan, stres juga sebab pergi dan pulang kantor.

Padahal pergi dan pulang kantor kan efek dari bekerja. Karena bekerja di kawasan yang mengharuskan kehadiran maka harus pergi dan pulang kantor. Jika tidak bekerja maka tidak digaji. Jika tidak digaji maka harus makan dari mana. Makara yah, untuk stres yang satu ini emang nggak ada solusi kecuali pindah kerja.

Oke berarti asumsinya orang yang stres sebab kerja di Jakarta yakni kerja kantoran. Jangan bahas yang kerja bernafsu ya, itu mah udah level lain dari kejamnya Jakarta.

(Baca: Orang-orang yang Bertahan Hidup di Jakarta)

Nah kini lanjut ke dua stres lain yang disebut si mbak. Yaitu pergi dan pulang kantor. Pulang pergi pakai kendaraan beroda empat atau TransJakarta sehingga kena macet. Atau justru pake kereta yang sekeras hutan belantara.

🚗 Pilihan 1: ke kantor naik mobil

YA UDAH PASTI MACET. UDAH PASTI ITU MAH. Pergi lebih pagi. Stres sebab kurang tidur? Tidur dulu di kendaraan beroda empat pas nyampe kantor. Ada temennya JG yang begitu dan kayanya ia nggak stres, buktinya ia hepi-hepi aja hahaha

🏡 Pilihan 2: rumah di pinggiran

Nah kan udah tau stres sebab macet kenapa atuh beli rumah di pinggir terus ditempati. I just don’t get it. Kalau senang sebab tinggal di rumah sendiri ya udah nggak usah ngeluh stres sebab macet.

🏠 Pilihan 3: ngontrak rumah deket kantor

Nah dapat aja kan rumah di pinggiran itu dikontrakin, terus ngontrak rumah di Jakarta. Less stres banget pasti. Nambah cost ngontrak? Ya kan itu harga yang dibayar dari perjalanan. :)

🏢 Pilihan 4: pindah kerja ke kawasan deket rumah

Yaiya jikalau nggak mau pindah rumah ya pindah kerja HAHAHAHAHA

🚴 Pilihan 5: naik motor

YOI. Selama bulan pahala ini kami naik motor sebab macetnya nggak masuk akal. Makara lebih cepet lah niscaya meskipun tetep macet juga. Minimal sebelum buka puasa udah nyampe rumah lah. Kalau nggak mau naik motor, ya udah nikmatin naik kendaraan beroda empat macet. Weee. 😂

🚉 Pilihan 6: naik kereta

Ya kan ini solusi banget sih. Yang tinggal di Bogor aja banyak kok dan survive kerja di Jakarta sebab pemberian kereta. Nggak mau naik kereta sebab males penuh? YA JANGAN KERJA JAUH-JAUH MAKANYAAAA.

🚲 Pilihan 7: naik sepeda

Iya JG biasanya naik sepeda jikalau nggak bulan puasa. Cepet dan sehat!

See, aku aja dapat ngasih 7 pilihan loh. Tinggal dicari yang terbaik kan. Dan udah banyak orang yang karenanya nyerah, resign, pindah lagi ke kota asal sebab nggak mampu kerja di Jakarta. Itu tidak apa-apa. Itu pilihan kalian. Kalau kalian masih bertahan di Jakarta, ya itu juga pilihan kalian. Poin aku adalah, maknai setiap pilihan yang sudah kalian buat. :)

Apa aku dan JG nggak stres tiap hari di Jakarta yang macet dan panas?

Jawabannya: NGGAK.

Saya dan JG nggak stres tinggal di Jakarta sebab kami senang tinggal di kota ini!

Well yah benci polusinya sih tapi kan seberapa sering sih jalan siang-siang panas di antara kemacetan penuh metromini? Nggak pernah. Makara ya nggak terlalu kerasa juga.

Macet 4 jam jikalau mau dikeluhin bisa, tapi mengeluh untuk apa? Kalau mau ngeluh mah macet 1 jam juga dapat banget dikeluhin. Kami memaknai pilihan kami untuk tinggal di Jakarta dengan bahagia. Kami memaknainya dengan tidak banyak mengeluh pada hal-hal yang sudah di luar kuasa.

(Baca: Kenapa Kami Cinta pada Jakarta)

Bukan sekali dua kali aku harus menunggu hingga jam 7 atau setengah 8 malam di teras daycare sebab JG belum juga tiba menjemput. Panas, banyak nyamuk, tapi apa aku ngeluh kemudian aku stres menyalahkan macet Jakarta yang bikin JG telat jemput padahal cus dari kantor jam 5? Nggak lah sebab untuk apa.

Cuma bikin berantem doang loh ngeluh itu. Yaiya aku kesel nunggu, tapi kan JG juga kesel macet. Sama-sama kesel jadi ketawain aja. Hahahaha.

Saya juga dapat banget pesen ojek atau taksi online terus pulang duluan berdua sama Bebe tapi apa poinnya? Saya di rumah termangu berdua Bebe dan JG stres macet sendirian hingga rumah kan kasian. Makara aku selalu menentukan untuk menunggu. Karena macet bertiga itu dapat sambil ngobrol, dapat sambil nyanyi, dapat sambil bego-begoan. Quality time banget. Nggak apa-apa macet asal sama-sama. #prinsip

Toh dapat sambil makan malam juga sebab sudah pesan katering makan malam yang diantar ke kantor siangnya. Toh Bebe dapat sambil main juga sebab di teras daycare ada perosotan, ayunan, sepeda, dan bola. Toh dapat nonton YouTube juga jadi nggak bosan. Toh dapat sambil jajan cilor dan putu yang lewat depan daycare.

Kalau aku bisa, kalian juga niscaya bisa. Cari kantor yang remote office! Pindah industri! Pindah kerja! Gaji jadi lebih kecil? Why not jikalau jadi nggak stres dan jadi lebih bahagia. Coba dipikir lagi, siapa tau passionnya yakni berkebun atau beternak sapi? Bahkan buah-buahan dan daging aja banyak yang jual di Instagram loh.

Ih ngegampangin! Pindah kerja nggak segampang itu kali? Udah coba belum? Yakin nggak mau pindah kerja atau nggak mau ganti gaya hidup sebab kerjaan yang deket rumah gajinya lebih kecil? ;)

Apalagi jikalau masih single ya, wah pilihan itu BANYAAAKKK sekali. Kalau udah nikah dan punya anak, pilihannya lebih terbatas kan sebab jam kerja aja inginnya yang pasti. Tapi jikalau kita mau berusaha aku yakin selalu ada kok. Selalu adaaaa selama kita yakin dan percaya DAN TERBUKA pada hal baru. Rezeki kan nggak bergantung dari kantor ya nggak?

Mengeluh itu pilihan. Bahagia itu pilihan. Tinggal bagaimana kita memaknai pilihan itu. :)

Selamat hari Senin gengs! Macet banget loh hari ini! Hahahaha

-ast-

Detail ►

Hidup Yang Kita Pilih


Minggu kemudian saya nonton konser lagi sesudah 5 tahun lamanya. Lama juga ya 5 tahun nggak nonton konser hahaha. Sebenernya artisnya sempet ke sini sih 2 tahun lalu, tapi waktu itu kan saya punya bayi. Boro-boro nonton konser, nonton bioskop aja nggak kepikiran sama sekali. Makara waktu itu skip.

Sekarang alasannya Bebe udah gede, udah bisa ditinggal dengan manis (meski ibu ngakunya kerja lol), dan nggak nangis sama sekali. Akhirnya saya nonton. Sepanjang nonton rasanya campur aduk. Terakhir saya nonton 5 tahun yang kemudian itu juga saya udah nggak liputan sih, udah beli tiket sendiri. Tapi kemarin rasanya kaya “goyang” gitu sama pilihan hidup hahahaha.

Karena lagi nonton konser terus kepikiran Bebe besoknya sekolah hari pertama.

Sebebnya saya ada di tengah-tengah. Di satu sisi, saya punya teman-teman seumuran saya yang masih concert goers banget. Salah satu temen orang Singapur, udah nonton konser kemarin itu 6-7 kali. KONSER YANG SAMA LOH. Set listnya sama. Dari Singapur ia masih kejar hingga Bangkok, Hong Kong, beberapa kota di Australia, Indonesia, dan nanti Malaysia.

Ada juga satu orang lagi yang bahkan ngejarnya hingga ke Amerika! Orang-orang ini belinya juga selalu VIP, sewa bis kecil buat ikut ke bandara, dan nginep di hotel sekitar venue konser.

Saya juga pernah begitu. Meskipun ya nggak ke 6 negara juga ya. Dan jika kalian menduga itu semua alasannya kami kaya raya, nggak juga sih. NABUNG LAH! Pernah saya ceritain di sini: Mengubah Mimpi.

Poinnya adalah, ternyata sesudah puluhan konser dalam dua tahun, saya hingga pada titik yang dibilang orang “mau gini-gini aja nih hidup?” Kemudian saya merasa harus move on, menikah, punya anak, dan hidup saya berubah hanya dalam hitungan bulan.

Sekarang saya masih bisa nonton konser, jauh lebih bisa dan beberapa tahun lalu. Tapi kan mikirin Bebe masa ditinggal terus. Atau masa bela-belain Bebe di rumah aja sama mbak yang lebih murah supaya uang daycare bisa ditabung untuk nonton konser. Kan nggak begitu.

Padahal jika dipikir lagi, apa coba definisi “gini-gini aja hidup”? Gimana sih hidup yang “gini-gini aja” itu?

Apakah hidup kaya temen saya? Usia hampir 30, nggak menikah apalagi punya anak, nabung ya buat nonton konser di mana-mana. Atau temen saya yang lain, seumuran juga, nggak menikah apalagi punya anak, nabung ya buat traveling aja.

Apa lantas hidup mereka “gini-gini aja” hanya alasannya mereka memutuskan untuk tidak menikah dan punya anak?

Kenapa mereka suka direcokin orang dengan “mau hingga kapan main terus!”

Ya hingga nanti-nanti lah. Artisnya juga manggung hingga nanti-nanti kan. Tempat liburan yang dituju juga masih banyak yang belum kesampaian. Nggak apa-apa banget kan kaya gitu. Ya yang penting kan kerja dan menghasilkan uang untuk hidup dan bahagia. Apalagi coba.

Kalau saya, saya ternyata dengan sadar menentukan untuk menikah di usia ideal masyarakat Indonesia untuk wanita perkotaan, 25 tahun. Saya menentukan untuk punya anak, saya menentukan untuk cari uang dan tiba-tiba prioritas segalanya untuk anak.

Tapi alasannya saya melaksanakan ini, nggak berarti kalian semua juga harus melaksanakan ini. Karena kadang saya nyesel juga kenapa sih saya buru-buru settle down dengan nikah dan punya anak secepat itu hahahaha. Makanya kemarin pas seru-seruan nonton konser rada mikir, ini gitu hidup yang saya mau? Kan mending kerja buat diri sendiri seneng-seneng aja!

Kalau udah gitu kan balik lagi, ini pilihan saya dulu, tanggung jawab dong dengan pilihan itu. Satu hal, jika pun dulu saya nggak menentukan menikah, mungkin saya menyesal juga dengan pilihan tidak menikah. Kita nggak pernah tau dan kemungkinan penyesalan selalu ada, apapun jalan yang kita pilih.

It's not that I'm not happy, I AM. Cuma kan maklum jika kadang mikir "eh jika dulu gini gimana ya?" Biasalaahh. Wajar terjadi. HAHAHA.

(Baca: Memaknai Pilihan)

Kalian yang nggak mau menikah dan menentukan untuk menyenangkan diri sendiri seumur hidup tanpa harus membaginya dengan dana pendidikan juga jadinya nggak apa-apa banget! Nggak usah dengerin kata orang alasannya orang yang ngomong itu nggak bayarin tiket senang-senang kalian.

Dan jangan mau dibilang "gitu-gitu aja". Buktikan dengan kalian sendirian, kalian punya pengalaman yang jauh lebih banyak dan menyenangkan dibanding orang yang judge kalian dengan "gitu-gitu aja". Bikin bucket list dan selesaikan satu-satu.

Jangan takut dibilang “anak tuh bisa bikin hidup lebih semangat”. Iya bener banget kok statement itu. Tapi nggak berarti yang nggak punya anak hidupnya jadi nggak semangat kan. Semangat kan bisa dateng dari mana aja. Lagian apa kabar atuh orang yang udah bertahun-tahun perjuangan punya anak tapi nggak bisa? Apa hidupnya jadi kurang semangat?

Bos di kantornya JG ada yang masih muda udah jadi GM. Makara general manager di korporasi sebesar itu, perempuan, udah pernah tinggal di sekian negara. Nggak nikah dan nggak punya anak. Tapi dengan pencapaiannya, nggak mungkin dong beliau hidup tanpa semangat?

“Anak ngasih arti lain sama kehidupan”. Iya bener juga kok. Cuma ya jangan jadi judge orang-orang yang tidak mau menikah dan punya anak sebagai egois dan hidupnya tidak berarti. Semua orang mengartikan sendiri hidupnya. Nggak butuh orang lain untuk mengartikan hidup kita.

Cuma kadang berat di orangtua ya. Orangtua meski udah nggak bayarin apa-apa tapi suka teteeppp pengen anak-anaknya nikah. Karena seolah kiprah mereka tunai sudah saat bawah umur menikah. Sabar-sabarin aja hahaha.

(Baca: Menjaga Perasaan (Siapa?))

Asal satu hal, jika nyesel jangan ngerugiin orang lain!

Saya pernah denger dongeng suami yang tergila-gila main game lagi dan kesudahannya nelantarin anak istri. Padahal sebelum nikah udah nggak main game. Suatu hari beli komputer gres yang harganya puluhan juta dan mulai lah beliau main game lagi. Nggak perlu kerja memang alasannya anak orang kaya. Tapi anak dan istri nggak diperhatikan lagi.

Nah jika gitu tandanya udah merugikan orang lain dong. Jangan gitu-gitu amat lah gengs.

Hidup seimbang aja bisa kok. Misalnya saya, saya berencana nonton konser setahun sekali (kalau konsernya ada lol). Ada juga temen saya yang anaknya dua, punya “jatah” liburan sendirian (tanpa anak dan suami) sekali setahun. Fair lah. Menyeimbangkan kehidupan jadi ibu dan jadi diri sendiri itu penting dong. Masa kerja capek-capek semua full demi anak? Hahaha.

Judge saja saya silakan.

Makara ya, apa pilihan hidup kalian? Pernah nyesel nggak?

-ast-

Detail ►

Memutuskan Menetap


Jadi ceritanya, saya dan JG lagi galau pengen pindah rumah. Galau pertama sebab insecure abis kemalingan, galau kedua ialah sekolah Bebe yang astaga jauhnyaaaa.

Sori ralat, macetnyaaaaa. Sampai rumah jam 8 mulu nih jadinya. Iya sih kami masih mengusung prinsip "biar macet asal sama-sama" tapi insecure banget beneran gara-gara rumah kecurian dua kali. Kaya ngerasa "oh mungkin ini udah saatnya kami pindah" gitu.

Karena jika secara jarak sih sebenernya nggak ngaruh amat ya, sama-sama searah dari kantor JG mau pulang. Cuma macetnya jadi combo banget soalnya jika daycare usang tuh bisa lewat jalan tikus gang-gang sempit yang jarang dilewati manusia. Kalau kini jalannya bener-bener jalan utama yang yaahhh, dilewati semua kendaraan beroda empat hhhh.

Kenapa atuh pilih sekolah di situ bukannya cari yang deket aja?

Duh ya gres sesudah urusan sekolah ini saya jadi ngerti bahwa jarak dan waktu bisa dikompromi tapi sekolah yang anggun tidak. Artinya (untuk sekarang) mending jauh tapi sekolahnya bagus, daripada deket tapi sayanya nggak sreg sama sekolahnya.

Kecuali memang nggak punya pilihan, misal kami nggak punya mobil, atau saya dan JG lembur terus gitu misalnya. Ini kan nggak, kami masih bisa anter jemput tanpa ganggu kerjaan, dan Bebe bisa tetep nyaman juga bobo atau main sama saya di mobil. Dan since beliau udah ikut rutinitas kami kerja semenjak umurnya 3 bulan, beliau kayanya hepi-hepi aja nggak capek gimana.

Karena pilihan sekolah yang mending itu nggak ada. Bukannya ada, tapi kami nggak mau kompromi. Emang nggak ada aja. Sekolah yang kini ini yang terdekat. Beratnya hidup di Jakarta lol.

(Baca: Memaknai Pilihan)

Dan urusan pindah rumah ini bikin saya mikir, untung ya ngontrak jadi bisa pindah kapan aja. Kalau rumah sendiri gimana?

Kalau di kampung halaman (in our case, Bandung) sih niscaya masih kebayang sebab tau persis areanya, lah di Jakarta? Buat kami yang orisinil Bandung, gimana cara tetapkan untuk menetap?

Karena nggak bisa beli rumah di Jakarta, gimana cara kami tetapkan akan tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, atau mana? Kenapa pilih itu? Kalau pindah ke Bogor misalnya, apa siap selamanya jadi orang Bogor?

AAKKK NGGAK SANGGUP MIKIRINNYA.

Kaya kalian dateng ke satu area yang nggak pernah kalian datengin sebelumnya, terus tiba-tiba harus tinggal di sana, dengan neighborhood yang sama sekali asing, nggak tau harus jajan pempek di mana, nggak tau harus ke supermarket yang mana.

DAN INGAT KOMITMEN KPR (MISAL) 15 TAHUN DI SANA. Yang artinya lo harus tinggal di sana terus-terusan hingga anak lo SMA. OMG SEREM NGGAK SIH. Kaya orang absurd dipaksa pembiasaan gitu.

Stres abis mikirinnya hahahahaha. Kalau nggak betah gimana? Kalau tetangganya rese gimana? Kalau ternyata nggak betah sebab alesan apapun gimana? Dibetah-betahin aja kan rumah sendiri, jika rumah sendiri kerasanya beda kok, kata orang gitu.

Tapi tetep euy, belum punya nyali. Bahkan untuk sekadar, survey yuk ke tempat A cari-cari tau harga rumah. Itu aja nggak berani. Nggak berani sebab galau A itu tempat YANG MANA? Apakah kita akan membangun rumah di sana dan jadi orang sana sehingga di masa depan Bebe akan pulang bawa istri dan anaknya ke rumah kami di kota itu?

Karena di otak itu jika mudik ya ke Bandung.

Makanya hingga sekarang, saya dan JG belum tetapkan akan menetap di mana persisnya. Well untungnya sih udah punya rumah di Bandung ya jadi nggak diresein orang dengan "beli rumah kali jangan main terus". Ya ini udah, cicilannya tinggal 7 tahun lagi, udah setengah lewat.

Untuk kini kami kaya go with the flow gitu. Apalagi sesudah konmari-an ya, barang jadi sedikit banget jadi jika pindah pun rasanya nggak akan stres-stres amat sama packing.

(Baca: Beres-beres Rumah ala Konmari)

Saya juga mikir apa sebab kami tinggalnya di Jakarta ya jadi takut nggak betah dan bawaannya curigaan banget. Kalau misal tiba-tiba harus permanen tinggal di negara yang proper segala-galanya sih MUNGKIN bakal dibetah-betahin aja toh dapet "sesuatu" juga dengan ngebetah-betahin diri.

"Sesuatu" as in jalanan rapi, penduduk yang educated, jadi nggak serobot antrian atau buang sampah sembarangan, ya yang nggak bikin lo sakit kepala lah. Tapi kan ini Jakarta dan kota satelitnya, di mana semua jenis insan ada. Dari yang nggak berpendidikan, ke yang pendidikannya tinggi banget hingga yang pendidikannya tinggi banget tapi kaya nggak ada otaknya gitu juga lengkap.

Don't get me wrong, saya happy kok tinggal di Jakarta. Karena nggak tau mau kerja apa di kota lain hahahahaha. Tapi ya itu, sebetah-betahnya tetep nggak berani bilang "oke sebab gue seumur hidup akan kerja di Jakarta, maka gue akan beli rumah di Depok! Ayo kita survey rumah di Depok!" gitu misalnya. Nggak berani bangeeettt hahahaha.

Kenapa ya? Mungkin sebab deep down inside kami cinta Bandung. Kalau pun harus meneguhkan hati selamanya akan tinggal di mana, ya di Bandung lah.

Dan mungkin juga sebab Bandung lebih nyaman dibanding Jakarta ya. Maksudnya jika kampung halaman kalian di kampung banget atau nggak nyaman ditinggali kan ya niscaya lebih pilih Jakarta lah. Kalau Bandung kan kota besar juga, nggak jauh-jauh amat dari Jakarta, kerjaan juga niscaya ada bagi kalian yang mau berusaha lol.

Makara ya, apa alasan kalian tetapkan menetap di kota gres yang bukan Jakarta dan bukan kampung halaman? Share dong, siapa tau saya terinspirasi!

MAKASIHHHH!

-ast-

Detail ►