Menjaga Perasaan (Siapa?)
Akhir-akhir ini beberapa orang di sekitar saya mengeluhkan kenapa kita hidup untuk menyenangkan orang lain. To please the society, to meet everyone's expectations.
Saya sendiri yang sebelumnya mengeluhkan hal yang sama, mulai capek dan alhasil mempertanyakan sebaliknya. Memangnya tidak boleh jika hidup untuk menyenangkan orang lain?
Contoh paling sederhana, dulu waktu awal pacaran sama JG untuk pertama kalinya saya tidak boleh pakai baju yang terbuka. Celana pendek, rok pendek, baju-baju kutung semua tidak boleh dipakai.
Aneh sih alasannya yaitu ia anaknya liberal banget, tapi melarang-larang saya menyerupai itu. Padahal ayah ibunya ia juga nggak problem sama sekali. Makara terang melarang saya bukan alasannya yaitu takut orangtuanya marah, punya pacar kok bajunya seksi. Posesif sama liberal memang nggak akur kayanya.
Padahal saya dulu lagi seneng-senengnya pake rok pendek dan Dr Martens. Tapi apa kemudian saya merasa fake dan menjadi orang lain alasannya yaitu tidak boleh mengekspresikan diri dengan baju yang saya suka? Nggak juga sih.
Ya namanya juga menjaga perasaan orang yang kita sayang. Gitu kan?
Sekarang banyak orang yang jika hidup dengan menjaga perasaan orang lain pribadi merasa fake, pribadi merasa hidup kok penuh kepalsuan. Seolah memang kita hidup hanya untuk diri kita sendiri, padahal sebenernya nggak sepenuhnya gitu juga.
Kita kan nggak hidup sendirian. Beli sayur di pasar aja ngomongnya sopan dan nggak nawar alasannya yaitu kasihan. Waitress di restoran nganterin masakan telat aja nggak kita marahin pribadi padahal pengen banget, alasannya yaitu mikirin perasaan si waitress, gimana jika ia dipecat? Gimana jika ia ternyata single mom yang harus biayain anaknya?
Apa kita jadi fake alasannya yaitu menjaga perasaan si waitress?
(Baca: Masuk Akal itu Akalnya Siapa?)
Terus orang-orang yang suka mengumbar kata kasar, yang ngomong selalu to the point jadi mengagungkan "yang penting gue nggak fake". Ya lo nggak fake alasannya yaitu mungkin nggak ada perasaan orang terdekat lo yang perlu dijaga.
Saya gres menyadari ini, gres mencicipi sendiri. Karena saya merasa jika di blog saya selalu jujur. Saya hampir nggak pernah nulis alasannya yaitu nggak lezat sama orang lain. Saya tulis apa yang mau saya tulis meskipun itu menciptakan saya dimaki-maki. Saya nggak peduli.
Tapi ternyata saya nggak peduli alasannya yaitu orang yang maki-maki yaitu orang yang tidak penting buat hidup saya. Kenapa saya harus menjaga perasaan orang yang tidak penting buat hidup saya? Mbak sayur di pasar masih lebih penting alasannya yaitu jika nggak beli sayur nanti nggak masak nanti nggak makan dong.
Beda lagi saat urusannya keluarga. Saya selalu berusaha tidak melaksanakan sesuatu yang menciptakan ayah dan ibu saya kecewa. Apa saya fake? Mungkin iya, tapi tidak menciptakan orangtua khawatir dan kecewa JUGA menciptakan saya bahagia. Karena jika saya melaksanakan hal yang saya suka tapi menciptakan orangtua kecewa, apa saya akan sebahagia ini? Belum tentu kan.
Kalau kini saya nggak pernah umbar berantem sama JG apa saya jadi fake gitu? Nggak kan? Sebaliknya, nggak pernah umbar foto mesra sama JG apa saya jadi fake juga gitu? Nggak kan?
Kalau nggak umbar berantem:
"Cih fake abis, mana ada pasangan nggak berantem"
Kalau nggak umbar foto bahagia:
"Cih fake abis, katanya senang tapi selfie sendiri terus nggak pernah ajak suaminya"
"Kita hanya menentukan apa yang ingin kita bagikan pada orang lain dan mana yang ingin kita simpan sendiri."
Online dan offline. Maya dan nyata.
Karena saat kita berhenti menjaga perasaan orang lain, kita harus siap hidup tanpa lagi melibatkan perasaan kita sendiri. Kalau masih ingin perasaannya dijaga orang lain, maka harus siap pula menjaga perasaan orang lain.
Mungkin kini yang harus dilakukan bukan lagi mengeluhkan kenapa kita berpura-pura, tetapi jalani hidup apa adanya. Karena justru keluhan-keluhan itu yang mungkin menciptakan kita tidak bahagia.
Jadi, buat kau yang merasa tidak senang alasannya yaitu hidup penuh dengan kepalsuan, tidak ada yang menjamin hidup kau lebih senang kok jika kau lepas dari kepalsuan itu. Apalagi jika kepalsuannya melibatkan orang-orang yang kau sayang.
-ast-
Ini postingan emosional dalam perjuangan menciptakan positif hal-hal yang sedang negatif. Lebih lelah negatif atau lelah berusaha positif?
Posting Komentar