Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri tentang-akal. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri tentang-akal. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Untuk Kalian, Ibu-Ibu Yang Gres Saja Melahirkan Anak Pertama


Ini untuk kalian yang ketika ini mungkin masih berada di bidan atau rumah sakit. Dengan luka di vagina yang menciptakan khawatir untuk ke kamar kecil apalagi untuk buang air besar. Atau dengan luka di perut yang berdenyut. Sama saja. Tidak apa. :)

Lihat ke sebelah kalian, ada insan kecil tidak berdaya. Tubuhnya ringkih, jari-jarinya tak lebih panjang dari satu ruas jari kita. Ia menggunakan baju yang kita belikan berlusin-lusin. Setumpuk baju kecil yang dicuci dan disetrika dengan senang hati.

Si bayi kemudian terbangun. Matanya belum bisa membuka sepenuhnya. Pandangannya masih blur, mencoba memahami dunia.

Pelan-pelan saja, anakku sayang. Dunia akan menunggu. Menunggu kau cukup waktu untuk mengerti kejamnya sindiran teman-teman ibu dan teman-teman nenekmu perihal segala tetek bengek pengasuhanmu.

*

(Baca: Dear, Working Mom)

Cobaan pertama sebagai ibu dimulai. Air susu yang diperlukan banjir mengalir usai melahirkan belum juga keluar. Baru hari pertama dan perawat yang tidak erat malah memaksa memberi susu formula. Ibu dan mertua juga memperlihatkan membelikannya. Orang-orang ini, nenek bagi si bayi malah ikut panik sebab omongan perawat yang tidak masuk akal.

Ya tidak masuk akal, kalian sudah tahu benar bahwa lambung bayi hanya seukuran kelereng dan ia bisa bertahan hidup tiga hari tanpa makan apapun. Tapi tolong, bisakah seseorang menjelaskan ini pada suster? Pada ibu? Pada mertua?

Stres, air mata mulai menetes. Kepercayaan diri yang sudah susah payah dibangun bahwa kalian niscaya bisa menyusui mulai runtuh. Kalian mulai menangis dan murka pada suami. Marah pada ibu dan mertua yang terlalu gampang dipengaruhi dan tak percaya anak sendiri.

Sabar ya, kalian. Sungguh tidak ada lagi kata yang sempurna selain sabar. Sabar, ini hanya akan jadi satu dari jutaan cobaan kesabaran. Dari banyak sekali perselisihan hanya sebab kalian mempertahankan pendapat perihal anak kalian

Saya bisa bilang begitu sebab saya pernah ada di sana. Makara kalian tenang saja, bila butuh teman, ada saya di sini.

Saya yang menyusui anak saya di hari kedua sebab hari pertama saya terlalu lelah melahirkan dan transfusi darah. Juga sebab di hari pertama gula darah anak saya terlalu rendah sehingga ia butuh supply 2 ml susu formula. Diteteskan ke mulutnya dengan pipet. Tidak apa-apa.

Tidak apa sebab mungkin tanpa itu anak saya entah bagaimana sebab ia lahir dalam kondisi lemas. Tapi 2 ml yang menyelamatkan anak saya itu jadi 2 ml susu formula pertama dan terakhir dalam hidupnya.

Berikutnya saya terus menyusui. Saya menyusui dengan puting pecah. Setiap ia menangis saya akan katupkan verbal rapat-rapat, menyiapkan diri untuk rasa sakit. Rasa sakit yang kemudian menjadi terbiasa, menjadi kebal, sebab toh tak kunjung sembuh.

Sampai verbal kecil itu melekat pada puting, dan rasa perih itu mulai menjalar. Tak peduli seberapa berpengaruh areola dijejalkan, hanya puting yang berusaha ia isap, maklum si bayi masih belajar. Pun dengan saya yang sebenarnya sudah khatam teori perlekatan. Tetap saja, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mengepalkan tangan kuat-kuat, berdoa supaya saya diberi kekuatan untuk tetap bisa keras kepala.

(Baca: Catatan 6 Bulan Ng-ASI)

Saya juga menyusui dengan kondisi bayi kolik, perutnya sakit sebab kembung. Sialnya, ia kolik sebab terlalu usang menyusu, menyusu sebab menangis, menangis sebab kolik, mbulet, pusing. Dan saya hanya bisa menangis. Menangis bersama bayi saya yang menangis.

Saya tidak lagi tahu hari apalagi tanggal. Yang saya tahu saya harus terbangun satu jam sekali. Tanpa tahu lagi mana siang mana malam. Saya hanya menyusui satu jam dan tidur satu jam. Makan pun disuapi. Mandi pun bila sempat, itu pun terburu-buru.

Karena di antara kecipak air mandi selalu terbayang bunyi tangis bayi, tangis bayi yang hampir selalu hanya bayangan. Makara mandi pun tak pernah tenang. Ah, masa-masa itu. Masa-masa di mana ASI bisa menyembur hanya sebab saya senang bisa mandi. :')

Lelah sekali. Tapi saya yang beruntung punya support system yang luar biasa sehingga saya bisa menyusui sambil bekerja dengan lancar. Sampai tiga tahun kemudian. Iya, saya menyusui anak saya hingga ahad lalu, hingga usianya 2 tahun 10 bulan.

Makara untuk kalian ibu-ibu yang gres melahirkan anak pertama, saya ingin bilang bahwa menyusui itu tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Jangan bayangkan iklan televisi dengan ibu dandan elok rambut rapi, menyusui bayi yang tidur dengan damai. Tidak seindah foto-foto aesthetic di Instagram. :)

Tidak. Menyusui itu sulit dan harus melewati proses belajar. Menyusui itu proses perkenalan antara bayi dan ibu. Ya meski ia sudah menemani kita 9 bulan, bukan berarti kalian saling mengenal. Kenali ia lewat sentuhan, lewat pelukan, lewat dialog yang mungkin akan terus ia kenang.

(Baca: 13 Hal yang Hanya Bisa Dimengerti Ibu Menyusui)

Untuk kalian yang menyusui dengan puting yang datar atau malah masuk ke dalam, percayalah kalian niscaya bisa! Ayo ke konselor laktasi, ayo ke coba dengan masukan seluruh areola ke dalam verbal bayi, ayo kalian niscaya bisa!

Kalian tidak sendirian, banyak sekali ibu-ibu lain yang juga berputing datar namun kesannya sukses menyusui. Bahkan banyak ibu yang tidak pernah hamil, mengadopsi anak dan juga sukses menyusui. Usahakan sebaik mungkin, sekeras kepala mungkin, sekeras motivasi kalian akan bayangan susu formula yang uangnya bisa dibelikan lipstik atau skin care. :)))))

Tetap tidak bisa atau ASI tetap entah ke mana? Sudah tidak apa-apa. Manusia hanya bisa berusaha mencari jalan, kesannya tetap Tuhan yang menentukan. Seperti yang sudah saya pernah bilang, ASI itu rezeki. Yang gampang maka bersyukurlah, yang kesulitan maka percayalah Tuhan akan beri rezeki dalam bentuk lain.

Sekali lagi, bila kalian butuh teman, saya di sini. Juga teman-teman saya. Kami akan jadi pemandu sorak bagi kalian semua! SEMANGAT SEMUANYAAAA! *kibas pompom*

Share ke sahabat kalian yang gres melahirkan! :)

(Baca postingan Tentang ASI/Manajemen ASIP untuk ibu bekerja ya! KLIK!)

Jangan lupa follow saya di Instagram ya @annisast!

Detail ►

Kepercayaan Diri Dan Remah-Remah Dunia


Yang kenal baik sama saya niscaya tau persis kalau saya orangnya pede banget sedunia. Jarang banget ngerasa rendah diri. JARANG loh ya catet, bukannya nggak pernah.

Kalau di circle blogger, dulu saya suka sebel sama yang bilang "da saya mah apa atuh cuma remah-remah blablabla" alias merendahkan diri dan nunjukkin ketidakpercayaan dirinya. Dulu saya sebel alasannya yakni come on kalau terus menganggap diri remah, kapan mau majunya? Kapan bisa jadi main course-nya? -_____-

Atau ada tipe orang yang lebih baik sesat di jalan alasannya yakni aib bertanya. WHY? Itu selalu saya pertanyakan. Kenapa mesti aib sih? Kenapa nggak punya doktrin diri untuk sekadar nanya sesuatu yang kita nggak tau jawabannya?

Tapi kemudian saya juga ternyata bisa ada di posisi mereka. Ada di posisi di mana saya "kok gue gini doang sih? Kok orang bisa kaya gitu sih?" Dan momen itu bukan momen penyemangat melainkan momen "ah sh*t lah gue nggak bakal bisa kaya dia".

Dan itu menyebalkan.

T_______T

Ini diperparah alasannya yakni saya orangnya kompetitif banget. Misal saya bisa kesel kagum kalau liat orang seumuran saya yang kerja di New York Times. Ya padahal emang orang Amerika, lahir hingga kuliah di Amerika, ya masuk akal atuh kan kerja di New York Times masa mau kerja di media lokal Indonesia ya nggak?

Dan alhasil saya sadar kalau duduk kasus merasa remah ini yakni duduk kasus inferiority. Di masalah saya, semakin sering bertemu atau berinteraksi dengan orang yang saya anggap hebat, maka saya merasa semakin inferior. Dan saya sadar ini tidak baik
Inferiority complex: an unrealistic feeling of general inadequacy caused by actual or supposed inferiority in one sphere, sometimes marked by aggressive behavior in compensation.

Inferiority menyerupai ini mengakibatkan perasaan "if only" alias "coba kalau". Coba kalau ngotot dulu kuliah di Amerika, mungkin kini udah jadi editor di New York Times. "Coba kalau" semacam ini bikin stres dan nggak menuntaskan masalah!

Karena anutan berikutnya yakni "ya nggak bisa kuliah di Amerika juga sih orang kurang pinter begini". Kemudian jadi merutuki diri kok kurang pinter sih, apa saya kurang berguru pas sekolah, perasaan udah berguru terus tapi kok nggak mampu sih kuliah di Amerika. Blablabla. Padahal ngomel itu nggak mengubah hidup.

Sebenernya kalau lagi waras sih saya sadar benar kenapa harus "coba kalau" toh kini hidup saya juga nggak susah. Setelah itu saya mau tidak mau harus compare dengan orang lain yang kehidupannya di bawah saya. Dari situ biasanya saya merasa lebih baik alasannya yakni masih banyak orang yang secara level pendidikan setara dengan saya, tapi kehidupannya nggak menyerupai kehidupan saya.

👉  Baca juga: Kecantikan dan Perempuan Kedua

Juga yang harus diingat dan saya pikirin banget: kalau terus menerus mengejar standar orang lain, kapan puasnya?

Si A keren banget sih kerja di Google --> apakah jikalau saya kerja di Google saya akan puas? Atau tetap merasa inferior dengan orang-orang yang kerja di Apple?

Si B kok bisa sih nulis di Huffington Post! --> apakah jikalau goresan pena saya dimuat di Huffington Post, saya akan berhenti merasa inferior pada si B?

Belum tentu kan! Inferiority hanya menciptakan kita ingin jadi orang lain!

Which is fine sih ya di level tertentu, terutama di level bikin semangat melaksanakan segala sesuatu. Tapi kalau udah bikin sedih, bikin murung, bikin kepikiran, mungkin saatnya cari pinjaman profesional atau minimal cari orang yang bisa diajak bicara dan mengembalikan doktrin diri.

Perlu diteliti juga apakah "if only" nya masuk akal? Yang udah gawat itu yang begini "coba kalau dulu nikahnya sama anaknya si A, niscaya bisa maternity photoshoot tiap ahad pake fotografer profesional" atau "coba kalau tinggian dikit udah jadi model niscaya ah elah". Itu "if only" yang nggak bisa diterima! Hentikan kini juga! Jangan terus dipikirin!

Caranya mungkin bisa dengan cari tahu kita jago di bidang apa terus pelajari hal itu hingga jago banget dan bikin kita bangga. Kalau udah gembira sama diri sendiri, niscaya inferioritynya berkurang deh. Pasti lebih percaya diri dan nggak lagi menganggap diri sendiri sebagai remahan di dunia.

Tapi ini cuma berlaku untuk orang-orang ambisius ya. Kan banyak juga tuh orang yang lempeng-lempeng aja, nggak ngerasa inferior dan juga nggak ngerasa harus melaksanakan sesuatu yang lebih hahaha. Nggak apa-apa, santai, yang penting bahagia. Kalian tetap bukan remah kok. 😂

Dan kecuali kalau urusannya uang. Karena kalau udah urusan uang mah udah di luar kehendak banget lah. Masa mau inferior sama keluarga Trump alasannya yakni mereka lebih kaya. Urusan uang dari turunan keluarga mah lekatnya sama syukur aja, bukan yang lain. :)

👉 Baca: Tentang Berpikir Positif)

Nah kalau saya kan suka ngerasa inferior sama orang pintar, kalau JG selalu merasa inferior dengan orang yang gajinya lebih gede. Inferior alasannya yakni merasa kurang skill hahahaha. Nggak sekali dua kali nelepon saya siang-siang cuma mau bilang.

"Sayang si A gajinya xx puluh juta masa. Kok saya gini-gini aja ya?"

Jawabannya bisa dua:

1. Udah rezekinya 💅

2. Kita nggak tahu kerja keras beliau kaya apa. Jujur apa nggak ya urusan dia, tapi pada dasarnya kita nggak tau effort apa yang beliau keluarin demi kerjaan dengan honor gede. Kalau ternyata zero effort? Kembali ke poin nomor satu lol. 🙌

Dan saya juga jadi terbiasa melihat "alasan" di balik sesuatu. Misal temen-temen yang liburan terus ternyata keluarganya kaya, yang nggak kaya ternyata hidupnya ekonomis banget. Atau temen-temen yang gajinya gede ternyata kerjanya stand by 24 jam. Yang mana kalau kita lakukan mah nggak mungkin alasannya yakni males banget astaga hahaha

Atau harus ekonomis seirit apapun, tak bisa juga kan. Makara ya, kuncinya (kayanya) jalani hidup dengan gembira. Lakukan hal-hal yang bikin bahagia. Sadari bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari kapasitas otak atau jumlah uang di tabungan.

And one thing: stop the 'if only'! *ngomong sama diri sendiri*

Ngerasa inferior atau punya teman yang punya duduk kasus inferior? Share dan tag temennya ya! XD

-ast-

Detail ►

Bebe 4 Tahun

Waw, Bebe udah 4 tahun ya. Detik-detik menjelang uang tabungan SD keambil ini. Deg-degan hahaha.


Duluuuu, dulu waktu Bebe gres lahir hingga beliau 2 tahun, saya selalu rutin nulis perkembangan beliau setiap bulan. Bisa dibaca di tag ini: Tentang Bebe.

Tapi kemudian nyerah sebab yaaa, makin pengen keep kisah Bebe untuk diri sendiri *posesif*. Juga sebab males jika ditanya-tanya “oh udah dapat A ya, anakku sih udah B” atau sebaliknya “oh kok udah dapat ya, anakku kok belum ya?” Kaprikornus trigger untuk banding-bandingin ya malessss.

Ok kenapa gres kini nulis Bebe 4 tahun padahal ultahnya udah bulan lalu?

Karena gres mau rayain ultah di sekolah hari Kamis ahad ini HAHAHAHA. Pas hari H ultah sih saya kasih surprise tiup lilin di rumah. Kaprikornus pas JG dan Bebe masuk rumah, udah ada masakan ringan bagus ultah gitu. Bebe seneeeengggg banget. Tapi ternyata beliau masih ngarep ultah di sekolah.


Berulang-ulang bilang:

“Aku mau tiup lilin di sekolah”

“Aku tuh mau bagi-bagi masakan ringan bagus loh ke temen-temen”

KAN KUKASIAN YAAA.

Ya udah hasilnya diputuskan hari Kamis ini mau ultah di sekolah. Loh, jika nggak rencana kok udah bikin souvenir?

Souvenir ini akan jadi kisah terpisah. Sekarang mau kisah punya anak 4 tahun yang rasa-rasa punya anak 14 tahun.

Iyaaa, dramatis banget. Di 3 tahun emang sih udah mulai berasa kaya teenager (ya makanya dikasih nama the threenager phase) tapi di 4 tahun ini beneran kaya punya ABG.

Misal saya dan JG lagi ngobrol berdua di sambil makan malem. Dia ngeliatin kami berdua makan terus tiba-tiba lari ke kamar dan tengkurep di kasur. Pas ditanya jawabannya “aku ga ada temennya”. NGGAK ADA TEMENNYA NGOBROL A.K.A. DICUEKIN.

T________T

Suatu hari beliau juga pernah bilang "ibu nggak sayang lagi sama aku" cuma sebab tidak boleh sesuatu yang sangat nggak penting hingga saya aja lupa. HUHU. Penting dan tidak penting memang punya makna yang beda banget antara saya dan Bebe.

Terus apa-apa ngototan banget, semua ya harus sesuai sama apa yang beliau mau. Negosiasi terus-terusan, ngobrol terus-terusan, sebab ya komunikasi yaitu kunci utama yakhaannn.

Apa jadi makin mandiri? In a way, yes. Udah dapat makan sendiri, pipis sendiri, cebok sendiri, pake baju sendiri, sebisa mungkin sendiri. Tapi jika lagi ngantuk atau masih ngantuk, ya semua maunya sama ibu. Mau mandi pagi aja harus digendong ke kamar mandinya ya Tuhan cardio-ku setiap pagi banget deh.

Bebe juga udah ngerti konsep keluarga! Alhamdulillah hasilnya udah tau definisi kakek nenek dan nini aki. Soalnya sebelumnya saya mati-matian gitu ngejelasin jika nenek itu ibunya appa. Dia gundah banget dan mukanya mikir. Dia mikir sebab bagi Bebe, ibu yaitu saya seorang dan ibu-ibu lain di daycare. Gimana dapat nenek yaitu ibunya appa padahal appa udah gede?

Dia malah sempet mikirrrr banget sebab saya save nomor hp ibu saya dengan nama "IBU". Bebe gundah kenapa setiap video call itu mau video call nini kok yang ditelepon I-BE-U IBU?

Pusing nggak sih jelasinnya. Dia selalu mikir bahwa yang namanya ibu itu anaknya niscaya kecil. Kaprikornus beliau belum ngerti konsep anak dapat jadi bakir balig cukup akal dan punya anak lagi. Belum ngerti jika semua orang bakir balig cukup akal juga ya punya ibu. Tapi sekarang, sesudah bermeter-meter klarifikasi perihal konsep anak orangtua, Bebe udah ngerti. Kaprikornus suatu hari beliau tiba-tiba bilang:

“Nenek itu mamahnya appa kan ya? Kakeknya itu papahnya appa?”

HUAAAA IBU TERHARU.

-_________-

Dari konsep anak dan orangtua ini juga beliau makin tertarik sama urusan bayi di dalam perut dan GIMANA cara keluarnya. Bukan gimana cara dapat ada di dalem sih, belum nyampe sana jadi masih simpel jelasinnya. Gimana saya kasihtaunya? Ya liatin aja videonya lol.

Saya follow doula Angela Gallo (CARI SENDIRI) dan beliau suka posting video melahirkan yang natural gitu, home birth video. While I personally prefer giving birth at the hospital, home birth video lebih “aman” buat bawah umur sebab biasanya nih kan ibu-ibu kalem gentle birth gitu bukan ibu-ibu panikan jerit-jerit kaya gue lol. Kaprikornus ya ngeden sekali brojol kepala, ngeden dua kali, keluar deh semua bayinya.

Ini belahan dari sex education lho!

Si Bebe kini baunya juga udah buka busuk bayiiii. Sebel. Masuk usia 4 tahun, busuk keringetnya udah nggak yummy banget. Nggak ada lagi momen nyiumin busuk keringet yang adiktif itu. Bau mulutnya juga udah bakir balig cukup akal banget. Nggak ada lagi bau-bau susu bayi.

Apalagi ya? Dari segi bahasa, beliau masih ngambek jika harus ngomong bahasa Inggris. Padahal beliau ngerti lho, satu kalimat saya full bahasa Inggris beliau paham banget dan mau jawab pake bahasa Indonesia. Gimana ya agar mau jawab pake bahasa Inggris juga uhuhuhuh susah banget jadi orangtua. *KELUH*

Udah sih kayanya itu aja. Bingung juga mau bahas apa lagi. Selamat 4 tahun jadi ibu untuk diriku sendiri!

-ast-

Detail ►

Sendirian Dalam Pikiran

Postingan ini dalam rangka melanjutkan series overthinking. Sebenernya blog ini penuh postingan overthinking alasannya ya emang anaknya jikalau mikir suka hingga diresapi gitu hingga gundah sendiri HAHA. Tapi gres kepikiran ngasih label gres "overthinking" di blog akhir-akhir ini jadi ya udalah. Yang penting kan menatap masa depan ya bukan terpaku pada masa lalu. *naon


Semua gara-gara postingan pembahasan liburan. Karena sesudah posting itu, saya dan JG jadi mikir "wah liburan ternyata bukan untuk kita ya, keluar uangnya banyak banget". Gitu.

Saya jadi sibuk sama pikiran-pikiran di otak yang bilang:

"Wah susah ya jadi aku, liburan aja mikir"
"Kalau jadi si A (seorang crazy rich asian) lezat deh liburan nggak perlu mikir"
"Enak banget jadi si B ya dapat liburan terus-terusan padahal ia nggak kerja"

TERUS SAYA NGIKIK SEKETIKA. Beneran ketawa sendiri di ojek hahaha.

Karena ya saya mikir gitu kan di dalam pikiran saya SENDIRI kan. Keyword: sendiri. Orang lain nggak dapat denger pikiran itu. Orang lain nggak dapat tahu pikiran dan perasaan saya. Bahkan kini ketika saya ungkapin pake goresan pena aja, pikiran saya ketika itu tetep nggak dapat 100% tertuangkan dalam kata-kata.

Baru sadar banget dan meresapi jikalau semua orang JUGA punya ajaran dan perasaan yang SAMA SEKALI nggak dapat didengar orang lain. Dengan demikian, semua orang balasannya sama aja mau ia kaya atau miskin. Sama-sama sendirian dalam pikiran.

Kaprikornus pikiran "enak ya jadi si A" itu nggak penting sama sekali. Karena ketika kita beneran jadi si A, kita nggak dapat lagi mencicipi "enak" itu alasannya ya kita kan memang si A yang nggak pernah mikir "enak deh jadi saya bukan jadi dia". Orang yang bikin kita iri sama hidupnya itu juga nggak dapat dengerin pikiran kita yang bilang "hidupnya enak".

Pake pola deh:

Misal. Saya beli rumah pake KPR di Bandung pinggiran. Saya membatin "coba saya jadi si A, saya dapat beli rumah cash, di Singapur pula" 


KEMUDIAN ANGGAP SAYA ADALAH SI A. Apakah saya akan jadi mikir: "YEAY LEBIH ENAK JADI A KAN BENER, BELI RUMAH DI SINGAPUR AJA BISA CASH NGGAK PERLU KPR DI PINGGIRAN BANDUNG"


Nggak gitu kan? Ketika saya sebetulnya ialah si A, saya udah nggak dapat lagi mikir "lebih lezat jadi saya dibanding dia" alasannya ya kita sendirian dalam pikiran, nggak punya pembanding lagi. Kita nggak dapat mencicipi juga perasaan "lebih enak" itu.

Intinya "ingin jadi orang lain" itu sebuah pikiran yang sangat sia-sia. Karena ketika jadi orang lain pun kita TETEP NGGAK AKAN PERNAH BISA mencicipi pikiran orang yang lebih atau kurang beruntung daripada kita.

Semua orang punya hal yang dipikirin dan nggak dapat diungkap saking susahnya mengungkapkan pikiran. Atau jikalau mau generalisir, semua PASTI juga punya duduk masalah yang lagi ia pikirin tanpa orang lain tahu persis duduk masalah itu.

(WAH GILA INI NULISNYA KOK SUSAH YA SAMPAI NGULANG-NGULANG GINI. BENERAN SAYA NGGAK BISA JELASINNYA. SEMOGA OMONGAN SAYA MASUK AKAL. Kemarin saya jelasin ke JG dan ia ngerti sih tapi jikalau nulis kok susah huhu)

via GIPHY

*


Ya saya yakin sih konsep “selalu sendirian dalam pikiran” ini niscaya bukan hal baru. Terlalu banyak orang di dunia ini untuk menemukan sesuatu yang sama sekali baru.

Tapi buat saya. paham konsep ini sangat eye-opening. Sekarang saya bahagia bermain-main dengan pikiran dan setiap terbersit konsep ini, saya tersenyum sendiri.

Siapapun saya, seberuntung apapun hidup saya, pikiran akan selalu sendirian. Tidak ada yang pernah benar-benar dapat menemani, memahami, atau menjelaskan apa yang ada di pikiran saya. Bahkan saya sendiri tidak akan pernah dapat memahaminya 100%.

Saya jadi sering mikir soal ini sesudah pertama kalinya seumur hidup, dibius untuk ke dokter gigi (bisa dibaca liputannya di sini). Biusnya sedang, jadi otak saya jalan-jalan mikirin segala macem tapi saya nggak ngerasain tubuh saya.

Sebagai perbandingan, jikalau bius (sedasi) lokal kaya cabut gigi itu biusnya ringan. Otak kalian sadar, kalian sadar kalian punya tangan dan kaki yang dapat digerakkan, cuma bab tertentu nggak berasa kan meski digunting atau diapain pun. Kalau bius total, kalian nggak ngerasain SEMUANYA, nggak ngerasa punya tubuh, nggak ngerasa punya otak, nggak mikir apa-apa.

Nah jikalau sedasi sedang itu, yang saya rasain ialah otak kita jalan, pikiran kita jalan, tapi nggak berasa punya anggota tubuh. Kebayang nggak? Kita sendirian (di dalam pikiran), bebas mau mikirin apa aja, tapi gelap alasannya nggak punya mata. Sibuk, sibuk berpikir tapi nggak dapat bergerak, bahkan nggak kepikiran untuk bergerak alasannya ya rasanya nggak punya tubuh itu sesuatu yang normal aja.

Beda sama mimpi. Kalau mimpi kan kita kaya kita dunia positif aja alasannya kita tetap punya tubuh. Tapi ini nggak. Saat disedasi itu saya terjebak di pikiran saya sendiri, sendirian dengan sesuatu yang bentuknya tidak terdefinisikan. Atau saya terlalu malas untuk mendefinisikan saking abstraknya. And having a constant thought about something without feeling your body was truly hell. 


Saya memikirkan banyak hal sepanjang disedasi itu. Tentang hidup, wacana mati, wacana meninggalkan dan ditinggalkan, wacana sekolah Bebe, wacana JG, banyak sekali. Dan “uniknya” ya, sesudah saya sadar, saya tahu persis yang saya pikirkan TAPI juga sadar jikalau ajaran saya ngablu. Ngaco gitu lho.

Mikir sih mikir tapi bukan mikir jernih. Lebih kaya gila. Saya hingga mikir waw ini lho hidup sebenarnya. Hidup yang kemarin-kemarin punya badan, punya suami, punya anak itu kayanya mimpi doang deh. Kalau kata orang, persis orang yang make magic mushroom dan dapet bad trip. Halusinasi tapi yang saya halusinasikan itu hal positif (bukan horor atau zombie wtf) dan saya ingat hingga kini apa pikiran-pikiran saya ketika itu.

Sekitar 2 jam disedasi dan sibuk dengan pikiran sendiri, malah bikin saya jadi semakin menghargai ajaran saya sendiri. Bukannya malah jadi takut, kini saya menikmati setiap momen saya berpikir sendirian.

Karena ternyata tubuh menciptakan pikiran terdistraksi. Ketika kita fokus sama pikiran tanpa mikirin badan, rasanya hening sekali. I feel enough and content.

Soalnya saya nggak masuk banget malah di level muak saking diri sendiri aja sering nulis soal ini sama nasihat:

"Makanya banyak bersyukur"

"Jangan bandingin hidup sama hidup orang lain terus"

"Hidup tuh sekali-sekali jangan lihat ke atas terus"


via GIPHY

Enek lho disuruh bersyukur terus kaya kalian tau aja level bersyukur saya. Tapi begitu ngerti konsep insan nggak dapat ngerasain pikiran orang lain gres saya merasa cukup. Dan nggak enek lagi.

KOK BISA YA. AUK AMAT BINGUNG.

Beruntung saya paham konsep ini sebelum ke Bali alasannya balasannya di sana saya bener-bener nggak peduli untuk foto demi Instagram. Saya perhatikan hal-hal kecil menyerupai banyak sekali bunga, noda di batu, bentuk tangga, banyak sekali ukiran, dan saya foto sekenanya saja. Nggak memperhatikan estetika, fotonya lurus apa nggak, apalagi pilih foto untuk diunggah. Saya memperhatikan hal-hal kecil dan memotretnya untuk mengingat apa saja hal kecil yang saya lihat waktu itu. Hal kecil yang bikin saya tergelitik.

Dan ini nggak perlu me time hingga jauh ke Bali segala. Di ojek atau di taksi online, jangan buka HP, liat ke jendela dan mulailah berpikir. Mulailah menikmati pemandangan hingga detail terkecil, jangan lupa selipkan pikiran jikalau hanya kita yang dapat berpikir menyerupai ini. Tidak akan ada orang lain lagi yang bisa. Punya pikiran dan dapat sendirian itu sebuah privilege.

Tak perlu pikirkan orang lain sepatunya lebih mahal, tak perlu pikirkan orang lain liburannya sering amat, tak perlu pikirkan orang lain kok mobilnya bagus-bagus. Fokus pada hal-hal kecil yang kita lihat. Kegiatan ini lebih erat disebut dengan ngelamun lol.

*panjang-panjang berusaha mendefinisikan tapi ujungnya cuma pengen nyuruh ngelamun*

Tapi saya nggak suka dibilang ngelamun alasannya istilahnya itu underrated seolah sebuah pekerjaan yang amat sangat nggak penting. Jadinya daripada unfaedah ngelamun, selama ini kita jadi menyibukkan diri Insta Story atau scroll timeline Twitter. Padahal hidup udah sedemikian sibuk, ternyata yang saya butuhkan kini hanyalah tidak melaksanakan apapun. Doing nothing and let my mind wander.

Ini kayanya level selanjutnya dari "not giving a f*ck" atau mari kita bilang sebagai "absolutely not giving a f*ck". Karena sesungguhnya saya ini orangnya udah cukup nggak pedulian. Nggak baper sama komentar orang, nggak peduli sama banyak hal, jarang banget sakit hati sama omongan orang. Tapi ya masih ada sisi "kok ia dapat gitu ya kok saya nggak bisa" PASTI ADALAH. Manusiawi kan.

*

Bagaimana soal bertukar pikiran?

Selama ini saya pikir saya sering bertukar pikiran. Saya bertukar pikiran dengan JG wacana banyak sekali hal, saya menuangkan pikiran lewat blog. Tapi sesudah beberapa ketika menikmati kesendirian dalam pikiran, saya jadi ngeh jikalau selama ini yang kita lakukan ialah BERUSAHA menuangkan pikiran lewat kata-kata.

Kadang tersampaikan. Sering juga tidak. Seharusnya selalu jujur tapi kadang tak sengaja sulit terungkap semua. Yang terperinci tidak sama persis. Hal-hal yang kita pikirkan belum tentu 100% tertuang dalam kata atau tulisan.

Pun ketika kita bilang “dia yang paling ngerti saya banget” atau “nyambung banget ngobrolnya sama dia” itu artinya ia yang paling ngerti hasil pikiran ini bekerja lewat kata.

AH UDALAH. MAKIN DITULIS MAKIN PUSING. LAGIAN KEPANJANGAN.

Antara pusing nulisnya dan mulai masuk pemikiran: apa gue absurd ya? Hahahaha.

-ast-


Detail ►

The Scary, Scary Adulthood

Adulthood is so scary and I'm still scared af.

2018 jadi tahun kebangkitan semangat saya. Meski belum 100% ambisius kaya 4-5 tahun lalu, tapi minimal tahun ini punya semangat untuk sharing banyak hal lagi. Belum sih, belum level bangun tengah malem demi nulis blogpost yang schedule besok pagi hahahahaha. MENUJU KE SANA SEHARUSNYA. LOL


Mau dongeng jikalau dulu, saya yaitu anak pemalu. Pemalu banget hingga ke warung aja nggak berani alasannya harus ngomong sama ibu yang punya warung. Pokoknya ngobrol sama stranger itu naayyyy banget. Takut. Baru berani ke warung itu sekitar kelas 3-4 SD. Iya jadi sebelumnya nggak ngerti jajan juga. Pas SD, saya itu anak pendiam tapi selalu ranking 1. Sungguh idaman.

Sekolah Menengah Pertama saya nggak inget apa-apa. Maklum pelupa banget, pernah diceritain di sini lengkapnya soal saya yang sangat pelupa. Meski pelupa, saya inget saya udah AGAK pede dikit. Punya geng di sekolah, udah mulai boleh main ke mall (BIP LOL), tapi belum peduli sedikit pun sama penampilan atau fashion sama sekali.

Sekolah Menengan Atas sih wihhhh pede banget. Salah satu sumber pede yaitu alasannya ngerasa bagus HAHAHAHA. Dulu isu terkini rambut lurus direbonding gitu kan, sementara rambut saya udah lurus dari sananya. Haluussss. Kerjaannya di sekolah cuma nyisir sama ngaca (nggak heran ranking 20 muluuu).

Nggak tau deh jikalau di sekolah kalian, dulu di sekolah saya itu jikalau bawa beling ke sekolah = anak centil. Dan saya suka jadi anak centil. Zzzz. Harap diingat kita membicarakan tahun 2002 ya ini. I was only 15!

Kerjaan temen-temen? Nyisirin rambut saya. Duh suka banget deh rambutnya dimainin itu. ATTENTION WHORE ALERT HAHAHA. Anak SMA, punya HP, punya pacar, merasa bagus = saya sempurna.

Kuliah? MAKIN CENTHYL. Apalagi dulu merasa pandai dan golongan mahasiswa yang kecewa jikalau dapet nilai B hahaha. Semua harus A dong (ambisius semenjak dulu kala).

Dulu image anak jurnalistik itu nggak pernah mandi, baju asal-asalan alasannya sibuk ngerjain kiprah cenah. Oh annisast tydac begitu. Annisast ke kampus SELALU mandi serta bedakan meski tidur hanya 1 jam. Annisast ke kampus pakai baju yang matching dengan kitten heels atau flat shoes, bukan Converse menyerupai yang lain. Punyaaa Converse tapi sepatu hari-harinya itu flat shoes item dengan skinny jeans item juga.

Annisast tote bagnya selalu merah atau ungu pake studded atau fringe supaya statement ajah. Apa itu tas ransel? Apa itu tas polos? Kalung dipikirin, gelang banyak, cincinnya selalu gede supaya lucu dong. Hidup dihabiskan cuma mikirin kiprah kuliah dan mix and match baju serta aksesoris HAHAHA.

Kepercayaan diri itu terus terus terus naik hingga puncaknya di tahun 2011 kemudian semakin turun, terus malah nikah, semakin turun, terus punya anak, turuunnnn terus dan amblas di tahun 2017.

BYE KEPERCAYAAN DIRI DAN DIRIKU YANG PEDE KARENA MERASA CENTYHL SINCE 2002. T_______T

(Baca momen inferior yang ditulis kaya biasa aja padahal aslinya panik: Kepercayaan Diri dan Remah-remah Dunia)

Di ulang tahun saya yang ke-30 kemarin, mbak Hani (CEO FDN) nanya:

"Gimana ultah ke 30? Krisis PD nggak?"

Kaprikornus mikir banget sih. Karena krisis saya di usia 29 tahun bukannya 30 tahun. Saya pernah denger juga orang yang terjun bebas pedenya di umur 32. Tandanya mungkin krisis kaya gini normal banget untuk orang-orang di usia 28-32 tahunan gitu. Ya range-range umur itulah. TIDAK PEDE ITU WAJAR. SANGAT WAJAR.

Wajar alasannya di range usia itu kita DIPAKSA jadi orang dewasa. Nggak ada yang mempersiapkan diri tiba-tiba puff! semua jadi ada di bahu kita. Tiba-tiba semua jadi bicara tanggung jawab dan masa depan, nggak ada lagi waktu untuk ngomongin statement necklace mana yang lucu untuk outfit yang mana. Frankly, nggak ada lagi statement necklace alasannya KOK MAHAL? Kan mending ditabung uangnya ... WELCOME TO ADULTHOOD, PEOPLE!

via GIPHY

Kemarin saya juga upload selfie di Instagram sesudah sekian usang nggak pernah upload. Disertai caption yang menjelaskan soal nggak pede hingga nggak mau selfie. Ternyata yang mencicipi hal yang sama itu banyak banget, 40 lebih komentar coba. Yang nggak mau selfie alasannya nggak suka (nggak benci lho cuma nggak suka aja) muka sendiri itu banyaaakkk banget. Rata-rata terjadi sesudah melahirkan.

Di saya, saya jadi nggak pede alasannya ngerasa muka saya jadi salah aja pake jilbab (SILAKAN INGATKAN SAJA TENTANG TUHAN NANTI KOMENNYA KU REPORT AS SPAM BODO AMAT). Tapi jikalau ditelusuri, saya pake jilbab emang sesudah punya anak. Kaprikornus MUNGKIN pake jilbab atau nggak pake jilbab bakal tetep nggak pede alasannya buktinya sebanyak itu ibu-ibu yang nggak pede sama muka sendiri sesudah melahirkan. Mau pake jilbab atau nggak, nggak ngaruh.

Mau makeup segimana pun, begitu selfie ya mukanya salah. Saya hingga eksklusif tenggang rasa banget sama orang yang bolak-balik operasi plastik hingga mukanya gila soalnya RELATABLE. Makeup tetep ngerasa jelek, oplas sekali masih tetep ngerasa jelek, oplas lagi masih ngerasa buruk rupa, oplas lagi masihhh aja ada yang kurang. Yang salah padahal bukan mukanya, tapi perasaannya. :(((

Kedua, saya nggak punya waktu untuk lebih peduli sama penampilan. NYETRIKA AJA NGGAK SEMPET, SIS. Capek dan malas. Kaprikornus ya udah outfit sehari-hari itu kaos atau sweater. Di satu sisi yummy banget sih nyaman, di sisi lain ngerasa gembel dan nggak layak. Padahal pake baju apa itu bawa mood seharian banget kan.

Jadinya dilema. Mau mikirin baju nggak sempet, mau nggak mikirin baju bikin nggak pede. PUSYING.

Oh gitu doang ribetnya jadi orang dewasa?

NGGAK. Itu gres urusan fisik.

Yang melelahkan lainnya yaitu urusan emosi. Apalagi sesudah punya anak ya. Saya selalu berusaha well-adjusted (klik untuk baca wacana ini) jadi ya memang cari momen untuk zen dulu sebelum ketemu Bebe supaya pas ketemu Bebe itu kondisinya nggak bete, nggak emosian, dan dalam kondisi prima untuk menanggapi semuanya.

Seidealis itu alasannya saya menganggap punya ibu yang menanggapi itu yaitu HAK Bebe. Saya nggak pernah nyuruh ia berhenti ngomong. Kalau saya butuh timeout maka saya titipkan ia pada JG (yang juga dilarang meminta Bebe untuk diam) sementara saya tidur duluan.

Capek sih tapi jalaninnya cenderung slow alasannya itu jadi komitmen. Tertuang di dalam nilai-nilai parenting yang kami sepakati bersama. Bisa teratur banget emosinya, selain nggak punya duduk kasus berarti dalam hidup, juga alasannya saya punya koridor dalam memahami anak. Bisa dibaca di sini: Memahami Anak (DIBACA YA!)

Kapan menenangkan dirinya? Saya cuma punya sekitar 30 menit ketika otw dari kantor ke rumah. Yaitu ketika di ojek. Di ojek itu saya ngosongin kepala, nggak mikirin kerjaan lagi, teken tombol switch dari mode karyawan ke mode ibu dan istri.

Nggak susah kok alasannya udah 4 tahun lebih melaksanakan itu. Yang susah jikalau lagi banyak masalah. Kerjaan lagi banyak, deadline lagi numpuk, plus lagi mens pula hormon berserakan (mulai nyalahin hormon), waktu di jalan itu tombol switch-nya semacam macet, hingga rumah saya belum sepenuhnya jadi ibu. Saya masih sibuk jadi diri saya sendiri. Ini nih yang bikin pengen teriak "WOY GINI-GINI AMAT SIH JADI ORANG DEWASA!"

Gimana ya, ngubah mood itu ada kalanya dapat dalam semenit, tapi ada masanya ya memang butuh tidur, butuh sendiri, butuh ngobrol dulu sama JG, butuh YouTube-an dulu, gres dapat jadi ibu lagi. Lah tapi kan nggak sempet, detik-detik menghadapi kemacetan menuju rumah itu saya DIPAKSA untuk atur mood, atur emosi, atur kondisi kejiwaan supaya hingga rumah dalam kondisi 100% baik-baik saja.

SUSAH BANGET, MALIH.

Tapi dapat kok. Buktinya selama ini dapat hahahaha. Cuma ya gitu ... RADA MONANGIS. Hahahaha. Ketawa aja kini alasannya nggak lagi inferior. Kalau lagi ada duduk kasus mah ya nangis beneran. T______T

Nangis itu boleh. Nangis itu bukan cuma buat anak kecil. Kalau anak kecil aja harus dianggap manusia, masa kita yang udah jadi insan bakir balig cukup akal jadi nggak boleh nangis? Ayolah jikalau duka nangis aja, jikalau stres teriak, jikalau butuh banget pause dalam hidup sementara lagi super sibuk hingga napas aja ngos-ngosan ... makan es krim mungkin?

Lakukan apapun yang dapat angkat mood untuk sedikit lebih baik. Ketawa yang kenceng, lompat-lompat, dance sesuka hati (sebaiknya di rumah aja ya), nyanyi yang keras (di rumah juga plis ya ya?), apapun yang dapat menciptakan hidup terasa lebih baik.

Lakukan hal yang bikin senang meski sedikit demi sedikit. Yang penting keangkat kan daripada nggak sama sekali?

Small progress is better than no progress. Small happiness is better than no happiness. *halah*

via GIPHY

Mumpung tahun baru, saya mau share satu kebiasaan baik yaitu bangun tidur LANGSUNG ngaca. Kebetulan kasur saya sebelahnya cermin di lemari jadi bangun tidur itu duduk, eksklusif ngaca dan senyum. Katakan pada diri sendiri "aku cukup, saya baik-baik aja".

Bangun tidur itu kondisinya kita belum cari-cari kesalahan alasannya belum ngong banget lol. Kalau siang-siang ngaca kan kayanya kok ya flek banyak, kok muka jelek, kok ini dan itu. Kalau bangun pagi itu beda aja sih rasanya. Apalagi malemnya skin care lengkap, niscaya kulit muka bagus dan ngacanya juga enak. Kalau udah siang mau nangis itu urusan siang-siang hahaha.

Susah? Bisa jadi susah banget loh alasannya pandangan negatif kita ke diri sendiri semacam "halah ngapain ngaca, senyum juga jelek". Iya ngerti, tapi jikalau kita nggak berusaha ngubah itu, selamanya pandangan negatif itu akan menempel sebagai evaluasi kita pada diri kita sendiri.

Kalau mau berubah itu kan diusahakan, kecuali jikalau nggak mau. Yaitu nggak apa-apa juga hahahaha. Be negative, people wouldn't bother, they would leave. Kita sering denger orang bilang "tinggalin lingkungan toxic, tinggalin orang toxic, blablabla" jadi jikalau kalian negatif terus YA KALIAN TOXIC-NYA DONG KALAU GITU. SO BYE.

Terus mungkin di antara kalian ada yang membatin "halah lebay amaatt" atau "aku juga pernah tapi nggak gitu-gitu amat kayanya". TANDANYA KALIAN BELUM PERNAH. Beneran deh, jikalau udah pernah ngerasain niscaya nggak akan komen begitu. :))))

*tulisan abis ini disarikan dari caption IG beberapa hari lalu*

Sering banget baca artikel wacana banyak tertawa dapat membantu memelihara kesehatan mental. Tapi saya meragukan. Contoh terdekatnya soalnya Gesi. Dia receh banget, simpel dibikin ketawa, dikasih list Tik Tok aja dapat ngakak usang banget, dan ia tetap depresi. She was on medication for a while, it’s NOT a self-diagnosis depression. ☹️

Semakin mengukuhkan bahwa selain hidup dan mati, tidak ada yang saklek di dunia ini ya? Life is something that very difficult to explain, so many questions left unanswered, too many things listed unsolved.

So if you wanna scream then scream, if you wanna cry, cry as loud as you can. If you wanna jump around and dance barefoot behind the rain (or in a crowded mall), do it! Don’t let society tells you what to do! Don’t let society define who you are. ❤️

Let’s scream, dance, jump, and laugh more next year and the million years after! Happy new year!

-ast-

Detail ►

Sex Education Untuk Balita

Kemarin saya buka question box di IG dan banyak yang request topik sex education untuk balita. Surprise alasannya yakni mikir “oh iya ya emang nggak pernah nulis soal ini di blog”.



Padahal banyak banget sih yang dapat diceritain. Terakhir saya bahas soal edukasi seks untuk balita itu gres sekadar mengajarkan perbedaan pria dan perempuan. Dan itu udah tahun 2016 lho, Bebe umurnya masih 2 tahun!

Postingannya dapat dibaca di sini: Mengajarkan Gender pada Balita

Sekarang, 2 tahun kemudian, pembicaraan soal seks kami udah makin advance sih kecuali satu yang Bebe belum tanya dan saya masih deg-degan jawabnya: Gimana caranya sperma ketemu sel telur?

Belum nyampe otak Bebe ke situ dan tiap di buku ada kalimat itu saya skip dulu. Kaprikornus hingga kini beliau masih mikir jikalau bayi itu puff! muncul begitu saja di perut. Saya BELUM ceritakan soal caranya alasannya yakni anak seumuran Bebe masih dongeng segala hal ke temen-temennya di sekolah tanpa filter kan.

BENER-BENER KARENA INI.

Triggernya alasannya yakni sempet ketemu dan ngobrol santai sama psikolog di sebuah event. Dia dongeng ada ibu-ibu di sekolah anaknya (udah kelas 6 SD) yang komplain alasannya yakni anaknya diceritain soal proses pembuahan sama temennya di sekolah. Anak itu ceritain gimana caranya sperma ketemu sel telur dan dapat jadi bayi, which niscaya dong ada kata-kata penis masuk ke vagina.

Si ibu merasa dongeng itu too much buat anaknya, doi panik, dan KOMPLAIN KE SEKOLAH. Terus yang salah alhasil ibu yang jelasin soal proses pembuahan ke anaknya. Iya jadi beliau yang salah, padahal anaknya udah kelas 6 SD juga. Emang masuk akal nggak sih jikalau kelas 6 SD udah mempertanyakan gimana dapat sel telur ketemu sama sperma. Lha si Bebe aja gres 4 tahun udah ingin tau banget soal bayi dalam perut. -______-

Saya sadar saya bener-bener sangat berpotensi jadi ibu si anak yang menceritakan proses pembuahan itu. Akhirnya saya rem dan hindari dulu bab itu mungkin hingga Bebe SD. Atau mungkin hingga beliau dapat “jaga rahasia”. Sampai beliau dapat dibilangin “tapi jangan dongeng ke temenmu ya, agar mereka diceritain ayah ibunya juga”. Sekarang terperinci belum bisa. Sekarang mah apa juga beliau ceritain ke temen sekolah kok.

Sekarang saya mau menjelaskan cara edukasi seks untuk Bebe di umur 4,5 tahun. Saya tahu cara ini mungkin terlalu ekstrem untuk sebagian dari kalian. Tapi saya nggak mau ambil risiko sih. Semakin gede, rencananya sih akan blak-blakan aja soal semuanya. Apapun yang beliau mau tanya, beliau boleh tanya dan saya akan jawab. Memang ini sungguh sebuah tekad.

Mungkin jikalau udah remaja beliau dapat jadi risih, mungkin malu, tapi harus kami duluan yang ngasih tahu beliau sebelum beliau tahu sendiri, tahu dari orang lain atau bahkan coba sendiri. Harus kami yang ngasih tahu beliau soal proses seks, risiko, nilai yang dianut, dan segalanya. Nggak dapat guru, nggak dapat orang lain.

Sudah siap belum ibu-ibuuuu?

(Dulu pernah juga nulis sekilas: Pendidikan Seks untuk Anak)

Rasa aib level 2

Kalau secara teori kan usia balita itu cuma memperkenalkan nama kelamin dengan nama bergotong-royong (penis dan vagina!) dan mengajarkan rasa aib aja. Itu tentu sudah.

Di level 1, rasa aib hanya diajarkan sekadar dihentikan telanjang di luar kamar dan kamar mandi. Ini dapat diajarin dari sebelum 2 tahun banget sih.

Kalau kini di level 2 (HALAH NGARANG LHO INI LEVELNYA) beliau udah otomatis aib sendiri. Bahkan saat sepupu-sepupunya hambar aja buka baju sebelum mandi di luar kamar mandi, Bebe tetep teguh pendirian. Dia cuma buka baju di kamar mandi, pakai handuk keluar kamar, dan hanya mau pakai baju di kamar.

Rasa aib ini emang harus dibiasain dari kecil banget sih. Mengasah wacana privasi dan private parts juga jadi lebih gampang.

Tentang private parts

Speaking of privacy and private parts … ini yang paling bikin deg-degan sih alasannya yakni banyak info pedofil. T_______T Saya brainwash banget jikalau yang boleh pegang penis dan pantat Bebe cuma ibu, appa, miss di sekolah, dan nini (kalau di Bandung mandi seringnya sama nini soalnya).

Ini diulang-ulang banget setiap kali inget. Saya juga tanamkan jikalau private parts itu bukan cuma penis dan pantat. Kalau tidak suka pipinya dicolek orang nggak dikenal juga beliau boleh marah.

Iyalah boleh marah. Aneh deh kenapa nyolek pipi anak kecil orang lain itu dianggap masuk akal ya?

Lha kita emang suka tiba-tiba pipinya dicolek strangers? Kan nggak! Kalau kita nggak suka ya jangan lakuin itu juga ke anak kecil alasannya yakni ya LO SIAPA JUGA COLEK-COLEK. IH.

Mandi bareng

Saya mandi bareng banget sama Bebe dari beliau bayi alasannya yakni seru aja. Selain itu efektif juga jikalau emang di rumah cuma berdua sama Bebe. Tapi masuk 3 tahun, saya stop mandi bareng.

Selama 3 tahun itu kami mencar ilmu banyak hal banget wacana anatomi tubuh. Tentang wanita tidak punya penis dan punyanya vagina. Laki-laki tidak punya payudara dan wanita punya.

Awalnya berhenti mandi bareng agar Bebe nggak liat nenen sih. Kasian kan abis weaning, masih harus liat nenen hahahaha. Lama-lama sekalian aja saya bilang alasannya yakni sudah besar jadi tidak mandi bareng ibu lagi. Kebetulan momennya pas dengan “kedewasaan” Bebe: weaning, masuk sekolah, berhenti screen time di weekdays, stop mandi bareng.

(Baca proses weaning Bebe: Menyapih Diri Sendiri)

Tapi sama JG sih masih banget hingga kini beliau mandi bareng. Lama-lama kebentuk sendiri juga soal ini. Di mall udah jarang mau ikut ibu ke toilet wanita jikalau nggak terpaksa. Dia protes “aku laki-laki, saya nggak mau ke kawasan perempuan”. Fine! *loh kok ngegas*

Jelaskan semuanya dengan JELAS dan BENAR

Dimulai dari awal banget yaitu penis dan vagina diakhiri dengan ... JANGAN NGELES!

Sama saya sih Bebe bahas apapun alasannya yakni saya nggak pernah awkward. JG tuh masih suka awkward hahahaha. Kalau beliau nanya ke JG dan JG jawabnya bingung, ya saya yang jawab aja sih. Bukannya TIDAK dijawab.

Intinya kami nggak mau bikin pembahasan soal kelamin yakni sesuatu yang tabu. Jelasin bayi lahir alasannya yakni baca buku soal bayi. Ya tunjukkin aja.

“Ini vagina saya kan ya (tunjuk vagina di luar celana). Rahimku di sini (tunjuk posisi rahim), kepala kau ada di bawah sini ya udah terus kau keluar deh dari vaginanya.”

Sesuai ekspektasi beliau nanya “tapi kepala bayi kan besar, vagina kan kecil?”

Saya kasih lihat aja video gentle birth atau water birth sambil dijelasin jikalau rahim dan vagina itu lentur dan kepala bayi belum keras kaya kepala kamu, bisa-bisa aja keluar dari vagina. Jelasin juga ada yang anaknya lahir lewat operasi juga, nggak semua anak keluar dari vagina.

Kenapa videonya harus water birth atau gentle birth, alasannya yakni ibu-ibu yang gentle birth kan kalem-kalem amat ya. Nggak jerit-jerit, jadi nggak mengerikan sama sekali.

Manusia itu mamalia

Ini proses menormalkan proses kelahiran sih. Child birth sering dianggap mengerikan alasannya yakni melibatkan darah kan. Bebe kebetulan udah tau mamalia dan jenis-jenis hewan, saya tinggal bilang aja insan itu mamalia. Manusia melahirkan dan menyusui menyerupai mamalia lainnya.

Kemudian weekend itu kami binge watching semua mamalia melahirkan. Sebut aja binatang apa, kami udah lihat hampir semua binatang mamalia melahirkan. Demi menormalkan proses kelahiran!

Sampai kini Bebe menganggap melahirkan itu hal normal aja. Nggak tabu, nggak malu-malu, nggak aneh. Tetep pake tambahan yang dapat melahirkan itu orang besar ya!

Beri batasan

Batasan ini gres saya kenalkan sehabis pembicaraan dengan psikolog itu. Langsung “dheg” gimana jikalau di sekolah Bebe dongeng soal bayi keluar dari vagina ke temennya dan ibu temennya freak out. HUAAA PANIK.

Sekarang Bebe diwanti-wanti hanya boleh bicara soal penis dan vagina di rumah dan di sekolah. Jangan teriak di mall gitu. Alasannya adalah, ngeliatin penis kan aib maka diteriakin juga malu. Ngeliatin penis ke ibu kan nggak malu, diomongin ke ibu juga nggak malu.

FYUH.

Kalau kalian yang justru panik atau risih liat vagina orang lain sih gimana yaaaa. Bingung juga. Balik lagi saya nggak liat itu secara seksual sih, murni edukasi aja. Saya sama sekali nggak terganggu liat ibu-ibu telanjang, topless, water birth dengan vagina divideoin.

Sama menyerupai saya nggak terganggu liat lumba-lumba atau panda melahirkan. Terserah lah jikalau abis ini malah salah fokus dan bilang: insan kok disamakan dengan binatang. TERSERAH. Bodo amat.

Saya sendiri ya nggak bakalan lah bikin video water birth fokus ke vagina kemudian di-upload gitu. Tapi saya nggak pernah memaksakan standar saya untuk orang lain. Malu dan tabu kan berdasarkan kita. Kalau berdasarkan orang lain nggak malu, nggak apa-apa banget. Malah banyak yang menganggap video semacam itu empowering woman. Woman can do anything!

Kalau kalian ngerasa ini terlalu ekstrem dan tetep nggak mau liatin proses lahiran alasannya yakni menawarkan kelamin orang lain, kayanya kalian harus tanya pemuka agama deh sebaiknya gimana jelasinnya. Kalau saya sih nggak mau pake kata-kata “nanti jikalau udah gede juga kau tau” alasannya yakni wow terlalu berisiko.

Prinsipnya jikalau beliau udah nggak penasaran, beliau nggak akan cari tahu sendiri diam-diam. Kalau soal seks yang dianggap tabu dari yang tertabu aja udah terbuka, semoga hal lain juga beliau mau selalu cerita.

Dan kami, orangtuanya harus jadi orang pertama yang beliau tanya untuk apapun. APAPUN. Bahwa ia akan selalu diterima di rumah, apapun kondisinya. Bahwa ia akan selalu anak kami, apapun alasannya. *mulai mellow* T_______T

Gitu sih. Kalian gimana ngajarin soal seks ke anak?

-ast-

Detail ►