Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Sendirian Dalam Pikiran

Postingan ini dalam rangka melanjutkan series overthinking. Sebenernya blog ini penuh postingan overthinking alasannya ya emang anaknya jikalau mikir suka hingga diresapi gitu hingga gundah sendiri HAHA. Tapi gres kepikiran ngasih label gres "overthinking" di blog akhir-akhir ini jadi ya udalah. Yang penting kan menatap masa depan ya bukan terpaku pada masa lalu. *naon


Semua gara-gara postingan pembahasan liburan. Karena sesudah posting itu, saya dan JG jadi mikir "wah liburan ternyata bukan untuk kita ya, keluar uangnya banyak banget". Gitu.

Saya jadi sibuk sama pikiran-pikiran di otak yang bilang:

"Wah susah ya jadi aku, liburan aja mikir"
"Kalau jadi si A (seorang crazy rich asian) lezat deh liburan nggak perlu mikir"
"Enak banget jadi si B ya dapat liburan terus-terusan padahal ia nggak kerja"

TERUS SAYA NGIKIK SEKETIKA. Beneran ketawa sendiri di ojek hahaha.

Karena ya saya mikir gitu kan di dalam pikiran saya SENDIRI kan. Keyword: sendiri. Orang lain nggak dapat denger pikiran itu. Orang lain nggak dapat tahu pikiran dan perasaan saya. Bahkan kini ketika saya ungkapin pake goresan pena aja, pikiran saya ketika itu tetep nggak dapat 100% tertuangkan dalam kata-kata.

Baru sadar banget dan meresapi jikalau semua orang JUGA punya ajaran dan perasaan yang SAMA SEKALI nggak dapat didengar orang lain. Dengan demikian, semua orang balasannya sama aja mau ia kaya atau miskin. Sama-sama sendirian dalam pikiran.

Kaprikornus pikiran "enak ya jadi si A" itu nggak penting sama sekali. Karena ketika kita beneran jadi si A, kita nggak dapat lagi mencicipi "enak" itu alasannya ya kita kan memang si A yang nggak pernah mikir "enak deh jadi saya bukan jadi dia". Orang yang bikin kita iri sama hidupnya itu juga nggak dapat dengerin pikiran kita yang bilang "hidupnya enak".

Pake pola deh:

Misal. Saya beli rumah pake KPR di Bandung pinggiran. Saya membatin "coba saya jadi si A, saya dapat beli rumah cash, di Singapur pula" 


KEMUDIAN ANGGAP SAYA ADALAH SI A. Apakah saya akan jadi mikir: "YEAY LEBIH ENAK JADI A KAN BENER, BELI RUMAH DI SINGAPUR AJA BISA CASH NGGAK PERLU KPR DI PINGGIRAN BANDUNG"


Nggak gitu kan? Ketika saya sebetulnya ialah si A, saya udah nggak dapat lagi mikir "lebih lezat jadi saya dibanding dia" alasannya ya kita sendirian dalam pikiran, nggak punya pembanding lagi. Kita nggak dapat mencicipi juga perasaan "lebih enak" itu.

Intinya "ingin jadi orang lain" itu sebuah pikiran yang sangat sia-sia. Karena ketika jadi orang lain pun kita TETEP NGGAK AKAN PERNAH BISA mencicipi pikiran orang yang lebih atau kurang beruntung daripada kita.

Semua orang punya hal yang dipikirin dan nggak dapat diungkap saking susahnya mengungkapkan pikiran. Atau jikalau mau generalisir, semua PASTI juga punya duduk masalah yang lagi ia pikirin tanpa orang lain tahu persis duduk masalah itu.

(WAH GILA INI NULISNYA KOK SUSAH YA SAMPAI NGULANG-NGULANG GINI. BENERAN SAYA NGGAK BISA JELASINNYA. SEMOGA OMONGAN SAYA MASUK AKAL. Kemarin saya jelasin ke JG dan ia ngerti sih tapi jikalau nulis kok susah huhu)

via GIPHY

*


Ya saya yakin sih konsep “selalu sendirian dalam pikiran” ini niscaya bukan hal baru. Terlalu banyak orang di dunia ini untuk menemukan sesuatu yang sama sekali baru.

Tapi buat saya. paham konsep ini sangat eye-opening. Sekarang saya bahagia bermain-main dengan pikiran dan setiap terbersit konsep ini, saya tersenyum sendiri.

Siapapun saya, seberuntung apapun hidup saya, pikiran akan selalu sendirian. Tidak ada yang pernah benar-benar dapat menemani, memahami, atau menjelaskan apa yang ada di pikiran saya. Bahkan saya sendiri tidak akan pernah dapat memahaminya 100%.

Saya jadi sering mikir soal ini sesudah pertama kalinya seumur hidup, dibius untuk ke dokter gigi (bisa dibaca liputannya di sini). Biusnya sedang, jadi otak saya jalan-jalan mikirin segala macem tapi saya nggak ngerasain tubuh saya.

Sebagai perbandingan, jikalau bius (sedasi) lokal kaya cabut gigi itu biusnya ringan. Otak kalian sadar, kalian sadar kalian punya tangan dan kaki yang dapat digerakkan, cuma bab tertentu nggak berasa kan meski digunting atau diapain pun. Kalau bius total, kalian nggak ngerasain SEMUANYA, nggak ngerasa punya tubuh, nggak ngerasa punya otak, nggak mikir apa-apa.

Nah jikalau sedasi sedang itu, yang saya rasain ialah otak kita jalan, pikiran kita jalan, tapi nggak berasa punya anggota tubuh. Kebayang nggak? Kita sendirian (di dalam pikiran), bebas mau mikirin apa aja, tapi gelap alasannya nggak punya mata. Sibuk, sibuk berpikir tapi nggak dapat bergerak, bahkan nggak kepikiran untuk bergerak alasannya ya rasanya nggak punya tubuh itu sesuatu yang normal aja.

Beda sama mimpi. Kalau mimpi kan kita kaya kita dunia positif aja alasannya kita tetap punya tubuh. Tapi ini nggak. Saat disedasi itu saya terjebak di pikiran saya sendiri, sendirian dengan sesuatu yang bentuknya tidak terdefinisikan. Atau saya terlalu malas untuk mendefinisikan saking abstraknya. And having a constant thought about something without feeling your body was truly hell. 


Saya memikirkan banyak hal sepanjang disedasi itu. Tentang hidup, wacana mati, wacana meninggalkan dan ditinggalkan, wacana sekolah Bebe, wacana JG, banyak sekali. Dan “uniknya” ya, sesudah saya sadar, saya tahu persis yang saya pikirkan TAPI juga sadar jikalau ajaran saya ngablu. Ngaco gitu lho.

Mikir sih mikir tapi bukan mikir jernih. Lebih kaya gila. Saya hingga mikir waw ini lho hidup sebenarnya. Hidup yang kemarin-kemarin punya badan, punya suami, punya anak itu kayanya mimpi doang deh. Kalau kata orang, persis orang yang make magic mushroom dan dapet bad trip. Halusinasi tapi yang saya halusinasikan itu hal positif (bukan horor atau zombie wtf) dan saya ingat hingga kini apa pikiran-pikiran saya ketika itu.

Sekitar 2 jam disedasi dan sibuk dengan pikiran sendiri, malah bikin saya jadi semakin menghargai ajaran saya sendiri. Bukannya malah jadi takut, kini saya menikmati setiap momen saya berpikir sendirian.

Karena ternyata tubuh menciptakan pikiran terdistraksi. Ketika kita fokus sama pikiran tanpa mikirin badan, rasanya hening sekali. I feel enough and content.

Soalnya saya nggak masuk banget malah di level muak saking diri sendiri aja sering nulis soal ini sama nasihat:

"Makanya banyak bersyukur"

"Jangan bandingin hidup sama hidup orang lain terus"

"Hidup tuh sekali-sekali jangan lihat ke atas terus"


via GIPHY

Enek lho disuruh bersyukur terus kaya kalian tau aja level bersyukur saya. Tapi begitu ngerti konsep insan nggak dapat ngerasain pikiran orang lain gres saya merasa cukup. Dan nggak enek lagi.

KOK BISA YA. AUK AMAT BINGUNG.

Beruntung saya paham konsep ini sebelum ke Bali alasannya balasannya di sana saya bener-bener nggak peduli untuk foto demi Instagram. Saya perhatikan hal-hal kecil menyerupai banyak sekali bunga, noda di batu, bentuk tangga, banyak sekali ukiran, dan saya foto sekenanya saja. Nggak memperhatikan estetika, fotonya lurus apa nggak, apalagi pilih foto untuk diunggah. Saya memperhatikan hal-hal kecil dan memotretnya untuk mengingat apa saja hal kecil yang saya lihat waktu itu. Hal kecil yang bikin saya tergelitik.

Dan ini nggak perlu me time hingga jauh ke Bali segala. Di ojek atau di taksi online, jangan buka HP, liat ke jendela dan mulailah berpikir. Mulailah menikmati pemandangan hingga detail terkecil, jangan lupa selipkan pikiran jikalau hanya kita yang dapat berpikir menyerupai ini. Tidak akan ada orang lain lagi yang bisa. Punya pikiran dan dapat sendirian itu sebuah privilege.

Tak perlu pikirkan orang lain sepatunya lebih mahal, tak perlu pikirkan orang lain liburannya sering amat, tak perlu pikirkan orang lain kok mobilnya bagus-bagus. Fokus pada hal-hal kecil yang kita lihat. Kegiatan ini lebih erat disebut dengan ngelamun lol.

*panjang-panjang berusaha mendefinisikan tapi ujungnya cuma pengen nyuruh ngelamun*

Tapi saya nggak suka dibilang ngelamun alasannya istilahnya itu underrated seolah sebuah pekerjaan yang amat sangat nggak penting. Jadinya daripada unfaedah ngelamun, selama ini kita jadi menyibukkan diri Insta Story atau scroll timeline Twitter. Padahal hidup udah sedemikian sibuk, ternyata yang saya butuhkan kini hanyalah tidak melaksanakan apapun. Doing nothing and let my mind wander.

Ini kayanya level selanjutnya dari "not giving a f*ck" atau mari kita bilang sebagai "absolutely not giving a f*ck". Karena sesungguhnya saya ini orangnya udah cukup nggak pedulian. Nggak baper sama komentar orang, nggak peduli sama banyak hal, jarang banget sakit hati sama omongan orang. Tapi ya masih ada sisi "kok ia dapat gitu ya kok saya nggak bisa" PASTI ADALAH. Manusiawi kan.

*

Bagaimana soal bertukar pikiran?

Selama ini saya pikir saya sering bertukar pikiran. Saya bertukar pikiran dengan JG wacana banyak sekali hal, saya menuangkan pikiran lewat blog. Tapi sesudah beberapa ketika menikmati kesendirian dalam pikiran, saya jadi ngeh jikalau selama ini yang kita lakukan ialah BERUSAHA menuangkan pikiran lewat kata-kata.

Kadang tersampaikan. Sering juga tidak. Seharusnya selalu jujur tapi kadang tak sengaja sulit terungkap semua. Yang terperinci tidak sama persis. Hal-hal yang kita pikirkan belum tentu 100% tertuang dalam kata atau tulisan.

Pun ketika kita bilang “dia yang paling ngerti saya banget” atau “nyambung banget ngobrolnya sama dia” itu artinya ia yang paling ngerti hasil pikiran ini bekerja lewat kata.

AH UDALAH. MAKIN DITULIS MAKIN PUSING. LAGIAN KEPANJANGAN.

Antara pusing nulisnya dan mulai masuk pemikiran: apa gue absurd ya? Hahahaha.

-ast-


Posting Komentar