Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri beda-prinsip. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri beda-prinsip. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Karena Menikah Bukan #Lifegoals

Tidak menikah dan bercerai yaitu pilihan. Jangan menghakimi orang yang tidak menikah, juga orang yang menentukan berpisah dengan suami atau istrinya. Karena menikah bukanlah #lifegoals.


Saat remaja, yang ada di bayangan saya soal konsep menikah hanya seputar pesta pernikahan. Ingin menikah di hutan, ingin wedding dress selutut menyerupai yang digunakan Han Ji Eun di serial Full House, ingin pake Dr Martens untuk menikah. Tidak pernah khawatir soal kehidupan ijab kabul itu sendiri.

Beranjak kuliah dan dewasa, saya mulai bertanya-tanya apakah menikah sama dengan senang selamanya? Bagaimana kalau saya ingin sendirian sementara harus satu rumah terus dengan suami?


Itu twit saya tahun 2010. Itu yaitu titik di mana saya mulai sadar kalau menikah harus dengan orang sempurna atau lebih baik tidak menikah sama sekali! Saya mulai sadar kalau tidak menikah dan bercerai yaitu pilihan. Saya berguru tidak menghakimi orang yang tidak menikah dan juga tidak memandang sebelah mata orang yang menentukan berpisah dengan suami atau istrinya.

Menikah, tidak menikah, tetap menikah, dan berhenti menikah itu sebenar-benarnya pilihan.

Dan sebalnya, urusan menikah ini lebih rempong untuk perempuan. Masih banyak wanita yang ditanya kapan nikah padahal usia gres 20 tahun. Umur 25 jadi deadline menikah, laki-laki masih mending, deadlinenya biasanya di umur 30. Pertanyaan "kapan nikah?" jadi pertanyaan wajib untuk semua orang, padahal siapa bilang semua orang HARUS dan MAU menikah?

Kamu menentukan untuk menikah sekarang, kau menentukan untuk menikah nanti. Kamu menentukan untuk menikah dengan dia, kau menentukan untuk tidak menikah dengan ia dan menunggu laki-laki yang kau anggap lebih baik. Kamu kesudahannya menentukan untuk tidak menikah. Semua ihwal pilihan.

Maka saya agak kecewa dengan goresan pena yang mengutip buku Henry Manampiring (dikenal sebagai @newsplatter di Twitter) berjudul Tips Dapat Jodoh dari Henry Manampiring untuk Perempuan Pintar yang Sulit Dapat Pasangan.

Perempuan yang dimaksud di artikel itu yaitu para wanita alfa atau alpha female, wanita yang secara natural biasanya bakir dan berjiwa pemimpin.

Artikelnya panjang, saya tidak tahu apakah bukunya memang berisi kalimat-kalimat di bawah ini atau ini penafsiran dari penulis artikel. Mind you, goresan pena saya ini juga akan panjang.

Artikelnya kurang lebih berisi bahwa alpha female biasanya terlalu berpengaruh dan kurang peka sehingga sulit menikah. Masalahnya ada kalimat-kalimat yang menyiratkan seolah tujuan hidup semua orang yaitu menikah, seolah kalau kau wanita bakir dan tidak menikah maka kau harus berubah! (kalimat dari artikel orisinil saya tulis miring).

Ketika kau berhasil menawarkan sisi aktual dari kerja kerasmu, percayalah bahwa lelaki niscaya akan tertarik.

Perempuan bakir dan mahir katanya sering 'ditakuti' oleh laki-laki sehingga sulit mendapat pasangan.

Dan meminta para wanita ini untuk “menurunkan” kriteria laki-laki idaman supaya cepat sanggup pasangan. Juga ihwal laki-laki yang terintimidasi alasannya kelebihan-kelebihan yang dimiliki sang alpha female. Aku kok sedih. Kenapa semua dilakukan demi laki-laki? T______T

Jangan terlalu pemilih. Sebagai wanita yang hebat, masuk akal bila kau mempunyai kriteria yang tinggi. Tapi, bukan berarti kau berkeras untuk mendapat sang alpha male semoga kau dan ia tampak serasi.

Kalimat ini serupa pembenaran atas kalimat orang “makanya jadi wanita jangan pinter-pinter amat nanti susah sanggup laki”. Hih!

Seperti yang jutaan orang lainnya juga mengamini, menikah sama sekali bukan prestasi. Kalian hanya kebetulan bertemu satu orang yang bersedia saling merecoki satu sama lain seumur hidup, menyamakan prinsip hidup, dan tinggal bersama. Makara alasannya kau menikah bukan berarti kau lebih superior dari orang yang belum menikah.

(Baca: Jangan Dulu Menikah Kalau ...)

Karena banyak loh yang pengen buru-buru lulus kuliah biar sanggup nikah, like hellow? Lulus kuliah biar sanggup punya ilmu yang berkhasiat buat orang lain aja gimana?

Percaya nggak sih, menikah itu cuma persoalan timing. Kalau hidup kau standar begini nih ya, kau pacaran dari SMA, kemudian putus. Kamu pacaran ketika kuliah kemudian putus juga. Kamu pacaran ketika kerja kemudian putus dengan alasan “belum siap nikah” atau ia menduakan sama bosnya, endebrei endebrei.

Kemudian kau punya pacar lagi di umur deadline menikah. Keluarga kau yang sebelumnya tidak peduli jadi mulai peduli ia kerja di mana, gajinya berapa, latar belakang keluarganya bagaimana. Kamu jadi pribadi merasa ia “the right one” padahal cuma alasannya “oh kini waktunya gue nikah deh, sepakat deh nikah sama dia”.

LAH IYA KAN PACARANNYA SAMA DIA.

Bisa juga kau jadi merasa “oh kini waktunya gue nikah ya, tapi duh nggak deh nikah sama dia, putus deh”. Diputusin alasannya kau merasa sudah waktunya kau menikah dan kau nggak mau buang-buang waktu sama dia. See, it’s all about timing!

Kembali ke urusan alpha female yang bikin takut laki-laki.

Saya tidak sepakat dengan artikel itu yang bilang cari jodoh lebih susah untuk wanita kuat. Bok, cari jodoh mah emang susah. Nggak peduli itu wanita karakternya apa.

Alpha female ini biasanya masih kuliah (lagi), punya bisnis yang sedang berkembang atau sedang di puncak karier ketika usia menikah maka mereka menunda menikah alasannya sedang semangat sekolah atau semangat bekerja. Apa itu salah? Ya nggaklah, itu kan pilihan.

Mereka ini banyak kok, saya ulang ya BANYAK yang kesudahannya menikah di usia 30 sekian. Sekolah sudah selesai, karier sudah mantap. Makara nggak valid sama sekali kalau bilang alpha female susah menikah.

Banyak juga yang menikah sambil tetap kuliah dan berkarier. Banyak wanita yang saya kenal menentukan menikah sambil kuliah dan berkarier alasannya kenapa tidak? Orang-orang ini yang sanggup kerja di siang hari, kuliah ketika weekend, SAMBIL HAMIL. Sering kan denger wanita mahir menyerupai ini?

Tapi memang banyak juga yang menentukan tidak menikah DULU alasannya ingin fokus di hal lain. Banyak juga yang menentukan TIDAK menikah alasannya memang tidak mau seumur hidup harus berdiskusi dengan orang lain soal pilihan-pilihan hidup.

Makanya saya geleng-geleng kepala dengan artikel itu alasannya kenapa ada kesimpulan kalau para alpha female ini harus menawarkan sisi aktual dari kerja keras AGAR LELAKI TERTARIK? Kenapa juga harus menurunkan kriteria laki-laki idaman SUPAYA CEPAT MENIKAH? Kenapa semua jadi dilakukan demi laki-laki?

Kalau kau alpha female dan ingin menikah, saya sepakat dengan bab memperluas bulat pertemanan dan introspeksi diri. Karena mau kau alpha female atau bukan, memperluas networking dan memperbaiki diri mah nggak ada salahnya. Walaupun juga, kau bukan sedang cari jodoh.

Iya betul, alasannya alpha female sulit menikah hanyalah stereotype. Ketika wanita bakir sulit menikah maka orang usil akan berkomentar “kepinteran sih makanya susah nikah”. Tapi ketika ini wanita nggak pinter-pinter amat, kariernya nggak bagus-bagus amat belum menikah juga, komentarnya ganti “makanya jangan pilih-pilih amat lah, jadinya susah nikah kan”.

Dan komentar menyerupai ini kan terjadi pada semua orang, cuma modelnya saja yang berubah. Kalau menikah pun nanti akan dikejar “ayo cepet punya anak keburu bau tanah loh” udah punya anak satu disuruh punya anak kedua. Udah punya anak kedua masih direcoki “dih anaknya dititipin pembantu kok nggak malu”. Udalah.

Perempuan, menikah atau tidak menikah. Sedang menikah atau sudah selesai menikah, tidak ada bedanya. Mereka tetap sanggup bekerja dan berkarya, tetap sanggup menciptakan bangga. Yang beda hanya judgment dari masyarakat.

Lagipula, MENIKAH ITU MEMANG HARUS PILIH-PILIH, pemirsa. Menikah dengan orang yang tidak sempurna hanya akan bikin kau stress, percayalah.

(Baca: 30 Hal yang Harus Didiskusikan Sebelum Menikah)

Menikah bukan #lifegoals. Daripada menurunkan kriteria hanya demi status menikah, cintai diri kau sendiri, buat dirimu bahagia, ikut komunitas hal-hal yang kau sukai, keliling dunia, cek bucket list, bungee jumping di Macau tower, diving di bahari terdalam, jadi volunteer orangutan, ciptakan hal baru, kuliah di kampus terbaik di dunia, bekerja lah di perusahaan terbaik dunia.

Jangan mengubah diri dan menjauhkan harapan demi laki-laki. Kalau kau berubah demi laki-laki dan menikahinya, belum tentu kau lebih bahagia. Karena laki-laki yang cocok buat kau yaitu laki-laki supportive yang tidak minder apalagi membatasi. :)

Satu hal lagi, jangan gampang terpengaruh omongan orang lain.

"Turns out, real life is a little bit more complicated than a slogan on a bumper sticker. Real life is messy. We all have limitations. We all make mistakes. Which means―hey, glass half full!―we all have a lot in common. And the more we try to understand one another, the more exceptional each of us will be." -- Judy Hopps, Zootopia Police Department. 
-ast-

PS: untuk pembaca baru. Ya, saya menikah dengan satu anak. :)

Detail ►

#Sassythursday: Menikah Dalam Satu Kata


Begini, menikah sama sekali bukan hal sederhana. Apalagi harus merangkumnya dalam satu kata.

Tapi bagi saya ada satu kata. Kata ini sungguh selalu menciptakan saya tersenyum dan kadang menarik napas berat. Ya, menikah itu bukan hal yang ringan. Meskipun juga tidak berat.

Baca Menikah dalam Satu Kata berdasarkan Nahla

Saat masih anak-anak, menikah sesederhana punya keluarga. Menikah yaitu tiba ke pesta ijab kabul om dan tante kemudian tak usang mereka punya anak yang jadi sobat bermain kita. Hai para sepupu!

Beranjak remaja, definisi menikah mulai jadi sedikit rumit. Baru kenal dengan jatuh cinta, menikah yaitu hidup berkeluarga dengan orang yang kita pilih. Mulai juga menyadari kalau ada yang berhenti menikah alasannya yaitu banyak hal. Ayahnya jahat kabur dari rumah, ibunya tega sekali mau bercerai padahal tidak bekerja, kasihan anak-anak. Ya, kasihan anak-anak. Anak-anak itu, teman-teman kita dulu.

Dulu. Sekarang tentu tidak, saya tidak pernah mau judge orang menikah, belum menikah, tidak menikah, atau berhenti menikah. Belum punya anak atau tidak mau punya anak. Siapa yang jahat siapa yang salah.

Semua orang punya pilihan sendiri tapi ketika pilihanmu menikah, tak sanggup dihindari ada sebagian hidup yang berubah. Sebagian menjadi lebih kasar alasannya yaitu membangun keluarga butuh semangat luar biasa. Sebagian menjadi lebih malas alasannya yaitu untuk apa lebih semangat kalau leyeh-leyeh pun bahagia? Kalau tanpa bergerak dari kasur pun sarapan sudah siap sedia? *MAKASIH LOH SUAMIKU* lol

(Baca: Menikah Bukan #lifegoals)

Makara di usia saya yang ke-28, sudah tiga tahun menikah, apa satu kata yang sanggup merepresentasikan pernikahan?

KOMPROMI. COMPROMISE. COMPROMETTRE.

Yang terakhir bahasa Prancis. Just because. Google translate kok tenang aja. Artinya sama kok.

*skip*

kom.pro.mi
[n] persetujuan dng jalan tenang atau saling mengurangi tuntutan (tt persengketaan dsb): kedua kelompok yg berselisih itu diusahakan berdamai dng jalan -- source 

Ya apalagi untuk alpha female menyerupai saya, konsep ijab kabul yang sungguh patriarki itu really, super hard. Oke menikah BISA tidak patriarki tapi para suami naturalnya ingin jadi memimpin. Mungkin alasannya yaitu semenjak kecil dibesarkan dengan pria harus berpengaruh (oh well wanita JUGA), pria harus sanggup mengambil keputusan (IYA DAN PEREMPUAN JUGA). Laki-laki harus begini harus begitu yang padahal harus sanggup dilakukan semua manusia. Tidak peduli pria atau perempuan.

Padahal saya sudah menikah dengan JG yang well, cukup feminis untuk ukuran suami Indonesia. Kami tidak menggunakan konsep kiprah istri atau kiprah suami alasannya yaitu menyerupai yang JG bilang sendiri, ia mencari istri bukan mencari pembantu.

Jangan tersinggung dulu, kalau kalian istri-istri yang sukarela melayani suami sih ya ahli lah. Dan suami kalian harus appreciate itu, dengan beliin tas gres tiap bulan contohnya 😂 Ya atau beliin apalah yang kalian suka.

Konteks "pembantu" di sini yaitu suami-suami yang mau enaknya aja. Misal istrinya kerja, istrinya juga yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, diizinkan pake pembantu tapi istrinya yang disuruh bayar honor alasannya yaitu pekerjaan rumah kan pekerjaan istri! Udah gitu anak mulai usia sekolah istrinya juga yang harus antar jemput. Suami-suami keterlaluan menyerupai ini loh yang kami maksud dengan "hanya ingin dilayani".

Tapi tetap saja, sudah menikah dengan orang yang saya pilih sendiri pun tetap ada hal-hal yang menciptakan saya merenung dan berpikir "kenapa menikah sesulit ini? kenapa dulu gue pengen banget nikah sih?" 😂

Apalagi saya bekerja. Alpha female senang bekerja dan menikah itu nggak sanggup diwakilkan dengan kata selain kata kompromi. Paling sederhana, saya dan JG sama-sama harus lembur. Siapa yang harus jemput Bebe? Saya.

Sungguh saya masih ingin kerja juga! Tapi ya, saya menyerah dengan suka rela dan pulang lebih cepat untuk menjemput Bebe. Kalian sanggup bilang "iyalah lo ibunya!" Lha JG juga bapaknya, apa bedanya?

Dan banyak hal lainnya. Yang masuk akal bahwasanya alasannya yaitu kami dibesarkan dengan cara berbeda, melewati dua puluh sekian tahun dengan cara berbeda, sebelum balasannya bertemu dan tetapkan membuatkan pengalaman bersama. Meski 90% kami melihat duduk masalah dengan cara sama, ada 10% nya yang benar-benar berbeda dan itu sedih.

T________T

Saya dan JG jarang sekali berbeda pendapat. Jaraaaanggg sekali. Kebanyakan dialog kami "iya ya? iya juga, iya sih, iya emang ya" makanya kalau tiba-tiba ada yang beda atau nggak oke tapi prinsipil itu ujungnya hampir niscaya berantem. Kalau nggak prinsipil paling lewat doang kan "nggak ya? berdasarkan kau nggak? okay"

Tapi kalau prinsipil. Sedih.

T________T

Saya berguru untuk membisu dan menerima. Saya berguru untuk tidak membahas hal-hal kurang penting. Saya berguru untuk menyadari sepenuhnya bahwa diri saya bukan lagi milik saya sendiri. Bahwa tidak semua hal sanggup 100% menyerupai yang saya mau. Pun membesarkan Bebe. Bahwa semua harus berawal dengan diskusi.

And trust me adek-adek yang belum menikah, it's harder than you think.

Awal-awal menikah saya masih berprinsip berpengaruh kalau semua duduk masalah ya harus dibicarakan. Lebih baik bertengkar tapi semua unek-unek keluar daripada membisu dan kesal.

Sekarang tidak. Sekarang saya sanggup membisu dan tidak kesal lama-lama. Sungguh pencapaian luar biasa. Karena berantem itu capek luar biasa. Belum lagi mengatur emosi supaya tetap di tone bicara normal dikala bicara dengan Bebe. Wow susah. Maka saya menentukan untuk tidak bertengkar.

Saya menentukan menunggu beberapa hari dan kemudian bilang baik-baik. Itu pun lebih baik via chat. Chat sanggup dibaca berulang, chat sanggup dibaca pelan-pelan. Chat penyelamat hidupku lol. Semoga yang bikin WhatsApp masuk nirwana ya.

Lagi jarang banget sebenernya berantem alasannya yaitu hal besar. Paling sering dan paling kesal itu berantem cuma alasannya yaitu capek. Capek itu sumber amarah luar biasa ya. Padahal cuma ngomong apa gitu yang sebenernya sanggup diketawain, tapi alasannya yaitu lagi capek jadinya tersinggung. Jadinya berantem. Aduh.

Hal-hal besar sih nggak akan saya ceritakan di sini ya, hal kecil aja deh. Misal, JG selalu dengerin lagu kapanpun ia mau, sambil masak atau sambil basuh piring. Saya nggak suka dengerin lagu. Saya dengerin lagu kadang doang kalau lagi kerja alasannya yaitu saya nggak konsen! Apalagi kalau di rumah JG setel lagu, Bebe nonton film. Udah gitu dua-duanya ngajak ngobrol. Bisa dipause dulu nggak sih? Nggak suka banget ngobrol teriak alasannya yaitu suaranya ketutup sama lagu dan film.

Tiga tahun berlalu dan ya udah, nggak sanggup dipause ternyata gaes jadi ya daripada berantem maka saya membisu dan mendapatkan semua playlist dia. Ini hal terkecil dari kompromi alasannya yaitu kalau mau diberantemin sanggup banget. Tapi ah udalah, diem aja. Masa gitu doang berantem? Menjaga emosi itu menjaga kesehatan jiwa banget jadi saya sebisa mungkin nggak emosi sama hal-hal kecil.

Paling susah kalau lagi mens. Huhuhu. Saya benci kalah sama hormon tapi nangis ajalah supaya kalau lagi mens mah. Daripada berantem lebih baik nangis. Itu prinsip hidup HAHAHAHA.

(Baca: Tips Mengurangi Berantem dengan Suami)

Maka menikahlah sesudah melalui proses panjang wawancara! Jangan menikah tanpa kalian tahu bagaimana contoh pikirnya terhadap hal prinsipil. Karena jikalau tidak, kalian akan menghabiskan sisa hidup dengan berusaha mendapatkan perbedaan pendapat. Itu melelahkan dan bikin stres!

Nggak heran banyak istri-istri yang mengeluhkan suaminya di socmed. Kasian, sudah tidak tahu lagi mau dongeng pada siapa jadi bikin status supaya unek-unek sanggup keluar. Sini peluk, huhu.

Banyak juga group Facebook yang berbasis curhat untuk para perempuan. Saya pernah join beberapa hanya alasannya yaitu ingin tahu. Isinya ya gitu, curhat istri-istri suami saya begini suami saya begitu. Kemudian saya left group alasannya yaitu ngapain deh ah.

T________T

Saya percaya menikah dengan orang yang tepat itu less stressful jadi sabar aja yang belum nikah alasannya yaitu merasa belum nemu orangnya. Jangan menikah terburu-buru.

Dan hanya sesudah menikah saya gres sadar bahwa tidak ada ijab kabul yang sempurna. Kalau ada pasangan yang tampak perfect, maka percayalah itu hanya TAMPAK saja. 😂

Apalagi kalau kami dipuji oleh pasangan belum menikah "wah kalian seru banget ya nikah" IYA SERU BANGEEETT. HAHAHAHAHAH. Pasti berujung dengan JG menasihati "udalah jangan nikah buru-buru, pikir-pikir lagi aja" lol sialan.

Kalian tidak mau menikah? Good for you! Nggak apa-apa banget. Nikmati hidup tanpa harus berkompromi. Saya sendiri hingga kini galau kenapa saya mau nikah hahahahahha.

*

Demikian ngalor ngidul hari ini. Dan menyerupai biasa saya mau ikut nanya, apa satu kata yang paling mewakilkan ijab kabul berdasarkan kalian?

Bahagia? OH COME ON, jangan jawaban lame kaya gitu ya. Karena kalau nggak senang pikirkan ulang pernikahannya. Cinta? Yaiyalah kalau nggak cinta saya udah kabur ke ujung dunia sis. Ayo kata yang lain yaaa.

Jawab di kolom komentar atau bikin blogpost dan tag saya ya! :)

-ast-

Detail ►

#Sassythursday: Bukber & Reuni


Hai hai!

Gimana puasanyaaa? Laper nggak? Hahahaha. Pertanyaan macam apa itu. Pertanyaan yang lebih tepat, sudah buka puasa bersama berapa kali?

Baca punya Nahla:

Saya gres dua kali buka puasa bareng di luar rumah. Pertama sama Adit-nya Gesi hahaha. Gesinya nggak diajak, ini khusus orang Jakarta lolol. Kedua sama sepupu saya, tapi sepupu sayanya nggak puasa, pas sayanya nggak puasa jadi ya makan bareng aja itungannya hahaha. Sisanya aku buka puasa bersama juga, bersama JG di rumah hahahahaha.

Kenapa ya makin bau tanah makin males buka puasa di luar?

Orang-orang sih katanya bulan puasanya belum, jadwal bukbernya udah penuh. Wow, aku aja yang ansos kali ya alias nggak punya temen hahaha. Katanya bukber ajang silaturahmi oh well, siapa yang mau aku silaturahmi kan ya, orangnya males berteman begini hahaha.

Ya ada sih bukber sama temen kantor, itu pun masih ahad depan. Bukber keluarga besar? KYAAAA NGGAK PUNYA KELUARGA LOL. Nggak punya keluarga di Jakarta maksudnya. Keluarga di Jakarta ya itu, adik sepupu (yang sudah ketemu) dan adik aku (yang kerja terus jadi susah diajak ketemu).

Padahal dulu waktu belum berkeluarga gini mah wehhh rajin banget aku bukber sama temen-temen. Sampai diprotes alasannya kok banyakan buka puasa di luar sih daripada di rumah?

Dulu kayanya hepi-hepi aja ya ngantri daerah makan yang mana penuhnya ampuunnn. Hepi-hepi aja alasannya fokus aku masih temen-temen kali ya. Sekarang mikirin ngantri daerah makan sama Bebe mah haahhh males duluan. Mendingan nggak punya temen dibanding repot harus bukber sana sini lol.

Juga aku harus mikirin gimana jemput Bebe, siapa yang jemput, jam berapa harus pergi dari kantor. AAKKK RIBET.

Dan satu lagi: bukber reuni.

KENAPA DEH REUNI HARUS BULAN PUASA? Kenapa harus diformatkan dalam bentuk buka bareng?

Pertama, bulan berkat ini macetnya ampunnn. Saya aja tiap hari jadi pake motor alasannya jika pake kendaraan beroda empat pulang kantor mungkin nyampe rumah pas sahur zzz. Macet banget nget nget. Kan jadi males keluar rumah ya.

Kedua, aku emang bukan tipe anak yang semangat reuni HAHAHAHAHA. Maaf ya teman-temanku huhu.

Kalau ketemu sama temen deket doang masih maulaahh. Tapi jika harus dateng ke reuni banyakan gitu satu angkatan Sekolah Menengah Pertama atau satu angkatan Sekolah Menengan Atas wehhh mikir dua kali.

Karena kadang ngerasa dunianya udah beda. Saya nggak tau harus ngobrol apa atau basa-basi apa (and you called yourself an extrovert huh). Worst dan yang paling bikin aku males banget dateng reuni adalah, aku lupa nama-nama temen kecuali yang dekat banget. Bahkan wajah aja aku dapat lupa loh.

Itu suka bikin kejadian nggak enak! Karena orangnya suka "hayooo lupa ya?" ngeliat wajah aku yang galau tapi senyum maksa. Iya lupa huhu. Kalau lupa artinya mungkin kalian nggak terlalu penting buat hidup saya, dulu dan sekarang. Sombong ya saya. Hiks.

Yah itulah. Apaan sih ini ngalor ngidul banget tulisannya. Intinya keluarga yakni nomor 1, jadikan itu prinsip hidup gengs. lol.

Selamat puasa!

-ast-


Detail ►

Beda Prinsip


Dulu ya waktu masih punya TV di rumah dan suka nonton infotainment, satu hal yang selalu bikin saya mengernyit ialah alasan perceraian para artis yang bisa dirangkum dalam dua kata: BEDA PRINSIP.

Dulu saya selalu menganggap alasan beda prinsip itu sebagai alasan yang mengada-ada dan kurang real. Lagian masa alasannya ialah beda prinsip aja hingga harus cerai sih ih, yang beda agama aja banyak yang pernikahannya langgeng. Padahal apa yang lebih berprinsip dibanding agama coba?

Kemudian saya tumbuh cukup umur dan saat tetapkan menikah, prinsip yang dulu saya anggap sesuatu yang unreal itu ternyata penting banget!

Prinsip atau value lebih yummy jikalau sama memang, kecuali kalian orang yang sangat tenggang rasa, tepo seliro, bisa bertahan dan saling menghargai satu sama lain seumur hidup.

(Baca: 30+ Hal yang Harus Ditanyakan Sebelum Menikah)

Kalau kalian kaya saya yang sebisa mungkin menghindari konflik, nggak sabaran, ingin selalu punya teman untuk diskusi, maka ya mending dari awal nikahin orang yang menghargai values yang sama.

Apa aja values itu? Ya tentukan sendiri. Tentukan apa yang penting buat kalian dan diskusikan dengan pasangan kalian.

Contoh yang sepertinya sederhana padahal tidak sederhana sama sekali: istri boleh kerja nggak sehabis nikah?

Itu kedengerannya kaya persoalan simpel: “suami larang istri boleh aja dong alasannya ialah itu hak suami”.

Alesannya bisa macem-macem ada yang beralasan “Karena sayang, jadi supaya aja suami capek kerja keras cari uang (seolah istri di rumah nggak capek ngurus rumah)” ada yang bilang “istri urus anak aja supaya rumah diurus pembantu”. Banyak.

Padahal nggak sesimpel itu. Urusan melarang bekerja ini ada di area gender equality dan ini cakupan yang sangat luas plus sensitif.

(Baca: Mengurangi Pertengkaran Rumah Tangga)

Makara daripada tanya calon suami dengan “kamu bolehin saya kerja nggak sehabis nikah?” tanya dulu soal “gimana berdasarkan kau soal gender equality?”

Karena balasan dari pertanyaan kedua akan menawarkan akan ibarat apa beliau memperlakukan kalian sehabis nikah. Kalau ditanya pertanyaan pertama terus jawabannya “boleh kok” terus kalian percaya padahal sehabis nikah kesudahannya beliau melarang alasannya ialah “dulu saya bolehin alasannya ialah honor saya kecil, kini honor saya cukup jadi ga usah kerja lagi”.

Coba jikalau tanyanya soal gender equality. Bisa ketaker banget loh beliau pria ibarat apa. Bisa pribadi ketauan apakah beliau menganggap wanita bisa setara secara akademis dan karier atau beliau menganggap wanita sebagai pengurus rumah tangga.

Satu hal, jikalau ternyata balasan beliau ialah wanita harus membisu di rumah dan kalian 100% sepakat dengan itu ya go ahead. Maka prinsip kalian udah sama.

Tapi jikalau kalian percaya wanita dan pria harus setara ya jangan dilanjutin. Mending nggak usah jadi nikah percayalah padakuuu .

Kalau kalian menikah nanti kalian sedih. Nanti kalian nggak akan lagi hidup sepenuhnya alasannya ialah selalu ada penyesalan “padahal sebenernya saya pengen xxx”. Hidup dalam penyesalan itu nggak yummy gengs.

(Baca: How are We Gonna Raise Our Kids?)

Dan jikalau udah nikah, persoalan yang kayanya remeh juga bisa jadi besar alasannya ialah ya namanya prinsip ya, susah diubah. Hal yang kayanya nggak mungkin bikin berantem aja bisa banget jadi materi perpecahan.

Kalau saya sendiri memang gres sama JG yang ngerasa klik banget. Soulmate akuhhhh uwuwuwuw gemas. Hahaha.

Selama nikah, gres satu kali berantem alasannya ialah beda prinsip. Masalahnya yaitu … Bebe masuk playgroup tahun ini apa tahun depan? HAHAHAHAHA. Tampak remeh tapi bikin mayan tegang juga sih alasannya ialah sama-sama ngotot (saya lebih ngotot sih 😂).

Abis JG keukeuh amat tahun ini sementara saya ngerasa Bebe masih kecil laahh, belum butuh sekolah. Tapi JG ingin Bebe sekolah supaya cepet bisa bahasa Inggris. Ambisius banget! Makara kesudahannya sehabis merenung usang bersama-sama, diambil jalan tengah yaitu Bebe mencar ilmu bahasa Inggris di rumah lol.

Tapi ya so far so good lah, we share the same values. Dari urusan agama, politik, gender, komitmen, kejujuran, dan banyak lah. Tapi saya mikirnya kami bisa ibarat ini alasannya ialah kami banyak berdiskusi sih sebelum nikah. Ya maklum orangnya nggak bisa nggak ngomong ya hahahaha.

(Baca: Suami yang Nyebelin)

Satu hal, sehabis saya nikah gini gres saya sadar bahwa cerai itu tidak apa-apa! Dalam artian saya tidak akan judge orang bercerai alasannya ialah saya nggak ada di posisi mereka.

Karena insan bisa berubah, insan bisa TIDAK berubah, insan bisa jadi sangat menyebalkan sekaligus menyenangkan, dan sebagainya. Makara cerai alasannya ialah beda prinsip itu sangat bisa terjadi, bukan cuma mengada-ada. Jangan suka judge orang cerai alasannya ialah kita nggak tau ada persoalan sebesar apa di baliknya.

Makara buat kalian yang belum nikah, ayo samakan visi misi, prinsip, value, apapun itu namanya dengan calon suami/istri. Buat kalian yang udah nikah dan ngerasa beda prinsip, banyak-banyak sabar ya. Huhu. Abis gimana dong.

Udah ah kepanjangan, kupusing.

Selamat weekend!

-ast-

Detail ►

Rumitnya Menikah

Saya tidak bicara dari sudut pandang agama ya. Kalau mau dilihat dengan sudut pandang agama apapun silakan, tapi mungkin tidak akan sesuai. :)


Di usia saya sekarang, lingkungan pertemanan saya rata-rata sudah menikah dengan dua anak. Usianya memang sudah masuk untuk punya dua anak. Usia ideal bagi society, belum tentu ideal bagi diri sendiri sebab toh pada kenyataannya jumlah anak tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan rumah tangga.

Ada yang terus menerus bertengkar sebab suami menduakan berkali-kali tapi tetap hamil lagi, made up sex that only made the baby but not the family. Bayinya jadi tapi kekerabatan suami istri tetap berantakan. Anak kedua pula. Istrinya nggak kerja pun.

Ada pula yang memaksa menikah padahal tidak satu prinsip dengan calon suami, dengan alasan berharap suami sanggup membawa ke kehidupan yang lebih baik. Tapi ternyata tidak. Bagaimana sanggup kalau definisi "hidup lebih baik"-nya pun berbeda? Hidup bersama orang yang tidak satu value itu melelahkan. Mau bercerai kok ya suami terlalu sempurna? Punya alasan apa?

Ada yang suaminya mendadak mengubah janji sesudah menikah. Bayangan menikah menyenangkan jadi sebaliknya. Me time jalan-jalan dengan sahabat sesudah semingguan mengurus dua anak tidak diberi izin. Padahal sebelum menikah sudah ditanya bolehkah ini dan itu, jawabannya selalu boleh.

Bahkan hal "sesederhana" melarang istri bekerja saja sanggup jadi urusan panjang kalau istrinya memang tipe yang senang bekerja dan tidak sanggup hanya membisu di rumah. Belum lagi urusan mertua, urusan sekolah anak, urusan suami yang tidak mau bantu pekerjaan rumah tangga, suami yang tidak mau dititipi anak, dan buanyak lagi.

(Baca: Beda Prinsip Lebih Baik Tidak Makara Nikah Loh!)

Kalau mendengar cerita-cerita ketidakbahagiaan dalam janji nikah saya selalu merasa bersalah sebab masih suka ngeluh hahaha. Meski satu prinsip pada segala hal, ya kami juga punya duduk perkara kecil yang padahal sanggup diabaikan. Padahal dibandingkan duduk perkara orang lain sih duh remeh banget. Untuk hal-hal lain yang besar dan melelahkan, so far kami selalu satu suara.

Menghadapi Bebe, maka kami vs Bebe, menghadapi mertua dan keluarga saya maka kami vs mertua dan keluarga. Itu yang menciptakan kehidupan janji nikah saya rasanya tidak serumit orang-orang. Orang-orang yang seumuran saya loh ya, yang gres menikah 5 tahunan.

Karena banyak ya ternyata yang suami selalu membela ibunya dibanding istri. Pokoknya istri harus nurut ibu aja mau ibunya logis apa nggak. "Kamu nurut lah sama ibu aku!" Wow wow. Kenapa nggak kita diskusikan dulu berdua kemudian ambil keputusan BERDUA dan jelaskan ke mertua hasil keputusan BERDUA itu? Kan kau nikahnya sama saya bukan sama ibu kamu?

T________T

Padahal mertua nyuruhnya itu punya anak lagi meski anak pertama masih kecil, semoga capek sekalian katanya. Istri nurut ajalaahhh. Duh sakit kepala mikirinnya. Punya anak ya, mau kini mau nanti ya sama-sama capek. Kan terserah yang mau ngelahirin dong kapan mau beranak lagi. Kalau suami dan ibunya berkomplot nyuruh punya anak sementara yang hamil masih keberatan masa dipaksa? Emang wanita hidup cuma buat jadi medium beranak doang?

T________T

DAN INI TRUE STORY. Semua pola di atas tadi dongeng beneran. Dari orang yang nikah gres 3-5 tahun! Nikah gres 3-5 tahun aja repotnya udah kaya gini wow. Kalau kata Nahla, bayangkan harus hidup kaya gitu 50 tahun lagi.

Karena sering denger curhat model menyerupai ini, maka kini kalau ada orang bilang duh pengen buru-buru nikah, saya dan JG niscaya kompak bilang "Yakinnn? Duh pikir-pikir dulu lah". Dan kami serius soal itu. Kami tidak mau kalian jadi orang berikutnya yang curhat sebab "nikah kok gini amat ya". Hiks.

Pusing ya? Iya nikah itu pusing banget, complicated.

Dan ya, orang-orang menikah ini selalu bicara janji nikah seolah menikah ialah sesuatu yang paling menyenangkan di dunia! Well, no, except you find the perfect one.

Katanya "nikah aja nggak apa-apa, iya sih pusing, tapi enaknya juga banyak" YA ITU KAN ELO. Saya sih nggak berani menyarankan orang menikah hanya sebab janji nikah saya baik-baik saja. Ya saya baik-baik aja, orang lain? Kan belum tentu.

(Baca: Selingkuh dan Pelakor)

Banyak yang baik-baik saja tapi banyak juga yang berusaha terlihat baik-baik saja. Banyak yang tampak mesra di social media padahal menangis setiap malam. Banyak yang di luar sama-sama terus, di rumah mah ya masing-masing aja kaya nggak kenal. BANYAK. Banyak yang menikah socially bukan personally.

Karena semenjak awal, banyak yang pernikahannya itu soal "social acceptance". Ya dalam tanda kutip. Menikah sebab tertekan lingkungan, menikah sebab memang merasa sudah usianya harus menikah, menikah sebab keluarga meminta menikah, menikah sebab ya mau ngapain lagi bro, semua temen udah nikah. Ya nggak tau, ngapain kek, keliling dunia mungkin?

Makanya memilih tujuan menikah itu penting dibicarakan semenjak awal. Oiya kita mau nikah, apa tujuannya?

Misal tujuan menikahnya ialah "melanjutkan keturunan" maka sesudah menikah sasaran berikutnya ialah punya anak dong? Terus ternyata nggak dikasih anak. Jadinya logis kan kalau salah satu minta cerai sebab nggak sanggup punya anak? Atau misal kalau istrinya yang ternyata punya duduk perkara kesehatan, jadi logis dong kalau suami minta poligami? Ya sebab memang tujuan awalnya kan melanjutkan keturunan.

Saran saya sih cari yang tujuannya hidup bersama selamanya deh. Nonton film Test Pack sama calon pasangan, tanya pendapatnya kalau itu terjadi sama kalian. Bukan promosi, tapi film itu ngasih citra banget pasangan yang ideal berdasarkan saya. Menurut saya loh yaaa. :)

Tapi hening dulu, ada kok pasangan yang bener-bener bahagia. Kategori ini pun masih terbagi dua. Hahaha.

Pertama, yang satu prinsip hidup karenanya santai sama segala sesuatu. Perfect match made in heaven. Berantem cuma urusan siapa yang mandi duluan lol. Satu visi misi, nggak saling menuntut suami harusnya gini, istri harusnya gitu!

Kedua, salah satu sebenernya sebel tapi ya udah terima ajalah daripada pusing. Telen aja udah, eh sori, tulus aja udah. Namanya juga nikah ya kan, harus saling ikhlas, harus toleran namanya juga dua kepala jadi satu. :)

(Baca: Mengurangi Intrik Rumah Tangga)

Masalahnya, tulus itu nggak gampang. Nggak semua orang punya stok tulus luber-luber. Ada yang di depan suami dan keluarga tepat banget sebagai istri dan ibu. Tapi di social media ya ampuuunnn, 180 derajat. Terlihat sekali beliau butuh sahabat untuk bicara, butuh sahabat untuk berdiskusi. Nyamber sana-sini, komen sana-sini. Kan kasian jadinya.

Atau yang lebih sanggup menahan diri biasanya hanya curhat pada sahabat. Keluhan-keluhan yang tidak pernah terbayang sebab di luaran sana mereka ialah pasangan tepat yang bikin iri semua orang. Sahabat-sahabatnya ini yang jadi ikut duka huhu kasihan tapi nggak sanggup bantu banyak juga. :(

Inti dari semua ini adalah. Pikir yang banyak sebelum nikah! Tanya pertanyaan-pertanyaan ini ke calon pasangan! Dan wanita harus mandiri, tidak mandiri, tidak mau punya penghasilan tidak apa-apa tapi siapkan storage untuk tulus yang banyak yaaa. :)

Kalau sesudah ini kalian jadi ragu menikah, manis dong. Keraguan akan jadi kehati-hatian, dan menikah ialah keputusan yang harus diambil dengan hati-hati. Percayalah bahwa dengan ragu dan hati-hati, kalian akan menemukan seseorang yang sanggup membuatkan prinsip hidup selamanya. Menjalani hidup tanpa jadi orang lain, tanpa harus selalu bersembunyi di balik kata ikhlas.

Karena sesungguhnya, keikhlasan tidak dibutuhkan lagi di sebuah kekerabatan yang membuatkan prinsip hidup yang sama. Your life would be so much easier. Toleransi niscaya ada, tapi sungguh di hal-hal yang sangat kecil hingga tidak pantas disematkan sebagai sebuah keikhlasan. :)

Untuk kalian yang belum menikah, merasa menikah terlambat, tidak menikah, atau sudah berhenti menikah, hal apapun wacana janji nikah tidak mengurangi sedikit pun dari harga kalian di dunia ini. You're all worth it.

Selamat hari Senin! Baca goresan pena wacana janji nikah lainnya di sini ya! Tentang Nikah

-ast-

Untuk kesayangan aku, @jago_gerlong. Terima kasih untuk jadi kau yang menyerupai aku. Untuk diskusi duduk perkara yang tidak pernah panjang, untuk pertengkaran yang tidak pernah bermalam, untuk jadi tanggapan atas semua kebimbangan. I love you 💛 (TOLONG INI DISCREENCAP DAN BELIIN AKU IPHONE 7 DONG! HAHAHA)

Detail ►

Pacaran Bertahun-Tahun, Nikah Atau Putus?

PUTUS! HAHAHAHA.

(ini typo harusnya kart bukan ksrt tapi kumalas edit lagi jadi anggap aja majalah, kalau udah terbit ga dapat diralat HAHAHA)

Iya jadi saya beberapa kali denger orang curhat atau bahkan komen di blog ini dengan pernyataan “aku udah pacaran x tahun, tapi masih nggak yakin mau nggak ya nikah sama dia?”

Ya putus lah kan udah terang tuh nggak yakin. Ini berdasarkan abang ini loh ya, yang pernah pacaran “cuma” 5 tahun terus putus. Hahahaha. Saya kalau pacaran emang lama-lama banget deh dari dulu, sama JG malah paling sebentar.

Alkisah zaman kuliah, saya gres putus sama pacar waktu Sekolah Menengan Atas padahal pacarannya udah 5 tahun. Sebagai anak yang disenggol aja curhat, ceritalah saya sama dosen. Dosen ini perempuan, umurnya 30 something lah waktu itu. Pinter, S2 (yaiya kan dosen ah), dan lezat diajak ngobrol. Beliau bilang apa?

“Tenang aja cha, saya juga pacaran dari Sekolah Menengan Atas 11 tahun putus kok. Nikah malah sama temen S2,” katanya kalem.

Wow wow sebuah pencerahan!

Kenapa pencerahan, alasannya yaitu dari dosen, dari dongeng saya sendiri, dari dongeng orang-orang, semua dapat ditarik benang merah yang sama. Apakah itu?

(Baca: Rumitnya Menikah)

Gini, pacaran usang itu ada dua macem:

🙋 Yang bertahan pacaran alasannya yaitu memang saling dukung dan berkembang sama-sama. Dari tahun ke tahun tetep punya selera yang sama, tetep dapat diskusi banyak hal, tetep ngerasa bahwa oiya she/he’s the one untuk dongeng segalanya. Nggak terbebani dengan apapun.

🙆 Yang bertahan pacaran alasannya yaitu terbiasa. Ya maklum kan bertahun-tahun ketemu orang yang sama, semua keluarga udah kenal, sama temen udah diajak nongkrong bareng alasannya yaitu udah kenal usang juga, hingga kawasan makan favorit aja udah ngerti kalau kita couple banget. Yang ini nih yang suka bikin blur, emang beneran cocok apa alasannya yaitu kebiasaan aja sih apa-apa sama dia?

Kalau kalian masuk tipe yang pertama dan nggak pernah punya dilema (misal salah satu pernah selingkuh), maka bolehlah dipertimbangkan untuk menikah. Tapi kalau pernah ada dilema yang bikin sakit hati banget sih jangan ya, nggak lezat kalau pas balasannya nikah kepikiran terus seumur hidup. Nanti malah jadi materi diungkit kalau berantem.

Nah tapi kalau kalian masuk tipe yang kedua, putus ajalah udah. Karena ketika pacaran bertahun-tahun, ada pasangan yang tanpa sadar tetap orang yang sama dikala pertama kali jadian.

JRENG!

Misal saya pacaran pas Sekolah Menengan Atas putus pas kuliah, hingga udah kuliah pun berantemnya tetep berantem ala anak Sekolah Menengan Atas gitu. Nggak jadi remaja sama-sama. Mirip-mirip kaya kalau kita ketemu geng SMA, becandanya itu tetep becanda Sekolah Menengan Atas banget kan, nggak jadi becanda orang umur 30 tahun? Iya nggak?

Itu pun yang terjadi pada dosen saya, pacaran 11 tahun dari SMA, dilema yang muncul dan diberantemin itu masih sama dengan dilema waktu SMA. Padahal ceweknya udah S2 kan. Akhirnya ya nikah sama temen S2 alasannya yaitu secara referensi pikir mereka jadinya setara.

(Baca: Alasan Cerai: Beda Prinsip)

Iya urusan referensi pikir juga jadi dilema buat yang pacaran lama. Dalam 5 tahun misal cowoknya ya santai aja hidup nggak ambisius, sementara ceweknya udah dapet beasiswa kuliah ke luar, volunteer ini itu, balasannya si cewek hingga pada titik “ih kok nggak nyambung lagi ya ngomong sama kamu” TAPI DALAM HATI NIH BIASANYA NGOMONGNYA.

Karena udah pacaran usang banget jadinya kaya nggak mungkin gitu putus cuma alasannya yaitu nggak nyambung doang. Lah kan bertahun-tahun nyambung aja? Jadinya dragging pacaran terus dan ketika masuk usia nikah muncul kebimbangan “nikah nggak ya sama dia?”

JANGAAANNNN. Hahahaha.

Atau ada juga dilema yang kayanya nggak kerasa besar pas pacaran tapi dapat jadi besar banget kalau nikah. Contoh: calon mertua. Pas pacaran mah kayanya baik-baik aja nih si tante meskipun ya kadang banya mulut dikit sih segala dikomen tapi masbodoh lah kan jarang ketemu juga. Atau keluarganya banyak yang gengges nih, suka nyindirin fisik, tapi nggak apa-apa lah kan ketemu paling setahun sekali pas lebaran doang.

Hei hei hei tidak ibarat itu anak muda.

Si tante nanti akan jadi mama dan punya mama mertua tidak banya mulut itu yaitu kunci kebahagiaan utama. Dan keluarga yang gengges itu akan nomer satu paling heboh bahkan di urusan nama anak lah, ASI kita kurang lah, anak kita kekurusan atau kegendutan lah, rese. Demi ketenangan hidup mending pikir ulang deh. Karena nikah itu nggak selamanya urusan pribadi, sebagian besar yaitu urusan keluarga.

(Baca dulu ini makanya: Menikah untuk Siapa?)

Ini saya denger dari orang juga sih tapi kalau punya pacar, ingatlah selalu pada 3 masalah: orangtua, agama, LDR. Kalau kalian cuma ngalamin 1 masalah, maka dapat lah dijalani dan dicari solusinya. Tapi kalau udah kena dua, itu gres berat.

Kaprikornus kalau hanya orangtua nggak oke 🠞 dapat lah dibujukin hingga oke asal kalian nggak LDR dan seagama.

Atau kalian LDR 🠞 bisa lah diusahakan asal seagama dan orangtua setuju.

Atau kalian beda agama 🠞 bisa lah diusahakan asal nggak LDR dan orangtua setuju, nggak dilema anaknya nikah beda agama.

Nangkep kan? Coba kini kalau dua.

Beda agama dan orangtua nggak oke 🠞 duh berat banget kan. Gimana nih solusinya? Pasti panjang urusan.

Beda agama dan LDR 🠞 cuy beda agama aja udah berat, ketambahan LDR pula. LDR itu murung banget beneran deh. #MantanPejuangLDR

LDR dan orangtua nggak oke 🠞 ribet kan ini, emang salah satu mau ngalah dengan pindah kota? Udah pindah kota, mati-matian cari kerjaan gres dan kawasan tinggal baru, terus tetep dilepeh calon mertua. Berat ya nggak?

Dan seterusnya. Combo antara beda agama, orangtua nggak setuju, dan LDR juga jadi faktor pemberat banget apakah sebaiknya hubungan kalian lanjut apa nggak. Kecuali kalian sangat kuat, gigih, dan rela memperjuangkan cinta. Ehem. Karena berat bukan berarti tidak mungkin.

Yak coba diteriakkan sekali lagi!

Karena berat bukan berarti tidak mungkin!
*noh di bold dan large*

Sebagai penutup, ai mau promo dulu lah postingan lain. Baca postingan ini “Menikah Bukan #lifegoals” dan postingan lain Tentang Nikah di sini. Buat kalian yang resah kok gue nggak nikah-nikah sih.

Mohon maaf jikalau pada balasannya postingan ini bikin kalian putus sama pacar yang udah dipacarin bertahun-tahun dan sebenernya pengen putus tapi nggak punya alasan ya. Daripada nikah sama orang yang salah?

Tetap semangat! :)

PS: Seru ya nulis soal ginian, jadi valid alasannya yaitu berdasar pengalaman dan saya udah nikah. Abis kalau nulis topik nikah suka diketawain yang udah nikah 10 tahun lebih gitu, dibilang "alah gres nikah segitu doang banyak komentar". Padahal temen-temen saya yang gres nikah 3-5 tahun aja udah banyak yang cerai loh. Karena nikah, usang atau sebentar tetep nggak "doang". ;)

-ast-

Detail ►

Memutuskan Menetap


Jadi ceritanya, saya dan JG lagi galau pengen pindah rumah. Galau pertama sebab insecure abis kemalingan, galau kedua ialah sekolah Bebe yang astaga jauhnyaaaa.

Sori ralat, macetnyaaaaa. Sampai rumah jam 8 mulu nih jadinya. Iya sih kami masih mengusung prinsip "biar macet asal sama-sama" tapi insecure banget beneran gara-gara rumah kecurian dua kali. Kaya ngerasa "oh mungkin ini udah saatnya kami pindah" gitu.

Karena jika secara jarak sih sebenernya nggak ngaruh amat ya, sama-sama searah dari kantor JG mau pulang. Cuma macetnya jadi combo banget soalnya jika daycare usang tuh bisa lewat jalan tikus gang-gang sempit yang jarang dilewati manusia. Kalau kini jalannya bener-bener jalan utama yang yaahhh, dilewati semua kendaraan beroda empat hhhh.

Kenapa atuh pilih sekolah di situ bukannya cari yang deket aja?

Duh ya gres sesudah urusan sekolah ini saya jadi ngerti bahwa jarak dan waktu bisa dikompromi tapi sekolah yang anggun tidak. Artinya (untuk sekarang) mending jauh tapi sekolahnya bagus, daripada deket tapi sayanya nggak sreg sama sekolahnya.

Kecuali memang nggak punya pilihan, misal kami nggak punya mobil, atau saya dan JG lembur terus gitu misalnya. Ini kan nggak, kami masih bisa anter jemput tanpa ganggu kerjaan, dan Bebe bisa tetep nyaman juga bobo atau main sama saya di mobil. Dan since beliau udah ikut rutinitas kami kerja semenjak umurnya 3 bulan, beliau kayanya hepi-hepi aja nggak capek gimana.

Karena pilihan sekolah yang mending itu nggak ada. Bukannya ada, tapi kami nggak mau kompromi. Emang nggak ada aja. Sekolah yang kini ini yang terdekat. Beratnya hidup di Jakarta lol.

(Baca: Memaknai Pilihan)

Dan urusan pindah rumah ini bikin saya mikir, untung ya ngontrak jadi bisa pindah kapan aja. Kalau rumah sendiri gimana?

Kalau di kampung halaman (in our case, Bandung) sih niscaya masih kebayang sebab tau persis areanya, lah di Jakarta? Buat kami yang orisinil Bandung, gimana cara tetapkan untuk menetap?

Karena nggak bisa beli rumah di Jakarta, gimana cara kami tetapkan akan tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, atau mana? Kenapa pilih itu? Kalau pindah ke Bogor misalnya, apa siap selamanya jadi orang Bogor?

AAKKK NGGAK SANGGUP MIKIRINNYA.

Kaya kalian dateng ke satu area yang nggak pernah kalian datengin sebelumnya, terus tiba-tiba harus tinggal di sana, dengan neighborhood yang sama sekali asing, nggak tau harus jajan pempek di mana, nggak tau harus ke supermarket yang mana.

DAN INGAT KOMITMEN KPR (MISAL) 15 TAHUN DI SANA. Yang artinya lo harus tinggal di sana terus-terusan hingga anak lo SMA. OMG SEREM NGGAK SIH. Kaya orang absurd dipaksa pembiasaan gitu.

Stres abis mikirinnya hahahahaha. Kalau nggak betah gimana? Kalau tetangganya rese gimana? Kalau ternyata nggak betah sebab alesan apapun gimana? Dibetah-betahin aja kan rumah sendiri, jika rumah sendiri kerasanya beda kok, kata orang gitu.

Tapi tetep euy, belum punya nyali. Bahkan untuk sekadar, survey yuk ke tempat A cari-cari tau harga rumah. Itu aja nggak berani. Nggak berani sebab galau A itu tempat YANG MANA? Apakah kita akan membangun rumah di sana dan jadi orang sana sehingga di masa depan Bebe akan pulang bawa istri dan anaknya ke rumah kami di kota itu?

Karena di otak itu jika mudik ya ke Bandung.

Makanya hingga sekarang, saya dan JG belum tetapkan akan menetap di mana persisnya. Well untungnya sih udah punya rumah di Bandung ya jadi nggak diresein orang dengan "beli rumah kali jangan main terus". Ya ini udah, cicilannya tinggal 7 tahun lagi, udah setengah lewat.

Untuk kini kami kaya go with the flow gitu. Apalagi sesudah konmari-an ya, barang jadi sedikit banget jadi jika pindah pun rasanya nggak akan stres-stres amat sama packing.

(Baca: Beres-beres Rumah ala Konmari)

Saya juga mikir apa sebab kami tinggalnya di Jakarta ya jadi takut nggak betah dan bawaannya curigaan banget. Kalau misal tiba-tiba harus permanen tinggal di negara yang proper segala-galanya sih MUNGKIN bakal dibetah-betahin aja toh dapet "sesuatu" juga dengan ngebetah-betahin diri.

"Sesuatu" as in jalanan rapi, penduduk yang educated, jadi nggak serobot antrian atau buang sampah sembarangan, ya yang nggak bikin lo sakit kepala lah. Tapi kan ini Jakarta dan kota satelitnya, di mana semua jenis insan ada. Dari yang nggak berpendidikan, ke yang pendidikannya tinggi banget hingga yang pendidikannya tinggi banget tapi kaya nggak ada otaknya gitu juga lengkap.

Don't get me wrong, saya happy kok tinggal di Jakarta. Karena nggak tau mau kerja apa di kota lain hahahahaha. Tapi ya itu, sebetah-betahnya tetep nggak berani bilang "oke sebab gue seumur hidup akan kerja di Jakarta, maka gue akan beli rumah di Depok! Ayo kita survey rumah di Depok!" gitu misalnya. Nggak berani bangeeettt hahahaha.

Kenapa ya? Mungkin sebab deep down inside kami cinta Bandung. Kalau pun harus meneguhkan hati selamanya akan tinggal di mana, ya di Bandung lah.

Dan mungkin juga sebab Bandung lebih nyaman dibanding Jakarta ya. Maksudnya jika kampung halaman kalian di kampung banget atau nggak nyaman ditinggali kan ya niscaya lebih pilih Jakarta lah. Kalau Bandung kan kota besar juga, nggak jauh-jauh amat dari Jakarta, kerjaan juga niscaya ada bagi kalian yang mau berusaha lol.

Makara ya, apa alasan kalian tetapkan menetap di kota gres yang bukan Jakarta dan bukan kampung halaman? Share dong, siapa tau saya terinspirasi!

MAKASIHHHH!

-ast-

Detail ►

Rekomendasi Daerah Kursus Online


Siapa yang udah pernah ikut kursus online? Menuju 2018 yang lebih gemilang, gimana bila mulai tahun ini kita sisihkan uang sedikit untuk berguru sesuatu yang baru?

Nah alasannya yaitu dateng ke kawasan kursus mah rasanya tidak mungkin ya bagi kita ibu-ibu yang udah struggle banget ngurus kerjaan dan rumah, jadi kursus online aja yuk!

Dari tahun kemudian JG udah ngomong terus berkali-kali dengan banyak sekali topik "eh kau mau berguru xxx nggak?" tanggapan saya selalu nggak ah males hahahaha.

Kenapa beliau nawarin? Karena beliau punya kanal gratis ke salah satu penyedia kursus online. Tar saya ceritain lengkap di bawah ya. Intinya kini saya mau nge-list di mana aja kau bisa ikut kursus online?

Maunya kursus online gratis? Ya ada, di YouTube juga banyak, tapi ya bila niat berguru coba nabung dulu supaya ikut kelas yang bayar. Kalau udah ikut kelas bayar biasanya lebih semangat alasannya yaitu ada prinsip ogah rugi di baliknya yakaannn.

Di mana aja?

Lynda


Ini yang JG tawar-tawarin terus ke saya alasannya yaitu beliau dapet kanal gratis dari kantornya. Makara kantor JG kolaborasi sama Facebook dan LinkedIn terus ..... nggak tau deh lupa hahaha. Intinya alasannya yaitu Lynda ini punya LinkedIn, karyawan kantornya JG jadi bisa kanal gratis.

Lynda bagi 5 kategori course-nya jadi software development, web development, design, business, dan photography. Mau coba dulu boleh, free trial 30 hari, bila mau bayar yang basic itu USD 19.99 dan yang Premium USD 29.99. Bedanya yang premium bisa didownload jadi belajarnya nggak perlu streaming.

Tapi streaming juga nggak seberapa kok. Asal kalian memakai waktu dan kuota yang biasanya digunakan untuk YouTube-an jadi ambil kelas hahahaha.

Udemy



Nah bila kalian liat di Instagram, saya kemarin ambil course gambar di Udemy ini. Simply alasannya yaitu ya ampon nongol mulu iklan diskonnya tiap buka YouTube. Diskon hingga tanggal 11 Januari, all course US$ 10.99 atau Rp 150ribuan!

Dikasih diskon ya termakan lah jadi ambil 2 course deh, satu gambar satu fotografi. Iya, selain gambar saya lagi pengen naik level banget soal foto.

Udemy ini kursus online terbesar di dunia dengan 55ribu courses ajaib nggak sih. Gila banget alasannya yaitu harus pinter-pinter cari course yang "bener". Cari yang student-nya udah puluhan atau ratusan ribu dan reviewnya bagus. Iya kaya belanja aja gitu alasannya yaitu ini marketplace, semua orang bisa naro course di sini jadi harus pilih-pilih yang lecturer-nya memang bener.

Dia sistemnya bayar per course jadi nggak perlu langganan. Banyak yang satu course harganya US$ 200 gitu kan stres aja bila nggak diskon. Tapi sebenernya bila les offline sih ya susah juga ya nyari yang waktunya fleksibel dan harga segitu. Makara saat diskon, manfaatkan!

Karena meski diskon, tetep dapet lifetime access kok jadi selamanya bisa diakses. Good deal banget sih buat saya mah!

Coursera



Nah beda sama Udemy, bila Coursera ini curated banget. Course-nya lebih sedikit tapi semua instrukturnya itu dari universitas ngetop dunia. Setelah lulus, Coursera juga nerbitin akta jadi bisa nambah portfolio buat yang mau cari kerja.

Bisa hingga S2 online loh di sini! Tapi cuma beberapa jurusan aja dari University of Illinois. Dan ya seleksi dulu juga sama kaya S2 biasa. Bayarnya juga mayan bisa buat beli rumah hahahaha. Yaeyalah S2 di Amerika nurut ngana aja masa mau 150ribu ya kan.

Saya nggak pernah coba tapi katanya ada yang free cuma ya gitulah topiknya nggak se-wow yang bayar. Kalau bayar itu dari US$ 29 hingga US$ 79. Udah dapet akta dan selesai grade.

Pendidikan memang hanya untuk mereka yang mampu. *sigh*

Skillshare



Sebelum pake Udemy, saya berguru gambar cat air dari Skillshare ini. Taunya alasannya yaitu banyak YouTubers niche gambar yang punya course di sini. Makara di YouTube mereka cuma semacam teaser doang, banyaknya malah di sini. Endorse sih ya kayanya soalnya banyak banget YouTubers gambar yang pake.

Skillshare ini juga course-nya banyak cuma nggak terlalu serius. Top course-nya itu malah soal handlettering sama design. Nggak kaya course lain yang topnya itu niscaya soal coding-codingan atau IT stuffs gitu ahahahaha.

Dulu sih sebulan pertama free, kini 3 bulan pertama eksklusif bayar tapi sebulan cuma US$ 0.99 alias Rp 15ribu. MAYAN BANGETTTTT. Berikutnya bila mau lanjut juga nggak terlalu mahal, sebulan cuma US$ 12 udah dapet semua course.

IndonesiaX



Nah bila ini lokal dan semua gratis yeaayyyy! Saya kemarin coba daftar terus ngiiingggg gundah mau ambil yang mana ya? HAHAHA.

Terus masih meraba-raba juga alasannya yaitu pas coba ambil satu course kok ya udah ketinggalan dan nggak bisa kanal kelas sebelumnya. Makara kayanya ada jadwalnya gitu deh.

Coba ulik sendiri lah hahaha. Kan udah dikasihtau gratis lol. Yang ngisinya ngetop-ngetop loh, ada Wishnutama NETTV, Rhenald Kasali, dan praktisi-praktisi lain.

Layak dicek untuk mengisi waktu luang daripada scroll-scroll IG terus kurang faedah ya nggak?

*

Nah simpulannya, Lynda ada free trial tuh bisa dicoba banget. Makara sebenernya niat belajarnya dulu, bila udah keukeuh mau kursus online gratis ya tinggal ambil trial di Lynda, efektifkan berguru dalam sebulan, terus ambil di Skillshare. Atau bila lebih niat, bikin email gres terus trial lagi hahaha.

Tapi duka nggak sih kaya gitu. Modal atuhlah dikit, niatlah menabung untuk berguru ok! Masa anak terus disuruh berguru tapi kitanya nggak. Nanti ketinggalan loh nggak satu pace lagi sama anak. Jangan hingga lah ya!

Dan course ginian kan sebenernya nggak perlu terus-terusan. Dalam sebulan aja udah bisa berguru banyak hal kok. Apalagi bila udah terang mau berguru apa, berguru foto, berguru gambar, atau bahkan digital marketing untuk ngembangin online shop. Ada kok semua.

Dan mereka (kecuali IndonesiaX cmiiw) ada appsnya juga jadi bisa berguru sambil di jalan atau lagi nunggu sesuatu. Jangan biarkan ruang dan waktu membatasimu. *AYE*

Makara mau berguru hal gres apa 2018 ini?

-ast-

Detail ►

Nonton Bioskop Dan Anak Kedua

muka gue tiap ada yang nanya anak kedua *sigh*

Tadi pagi saya nge-Tweet ihwal belum nonton film “Dilan” padahal ngikutin dari bukunya belum ada dan Pidi Baiq nulis di blog chapter per chapter. Beberapa orang eksklusif bilang “ayooo nonton”. Mereka nggak tau ya, buat saya dan JG, nonton bioskop itu nggak semudah jalan ke mall, beli tiket bioskop kemudian nonton. :(

KARENA SI BEBE HARUS DITARO DI MANA GAES? Kami tuh jikalau mau nonton harus cuti. Nggak berlebihan alasannya ialah si Bebe cuma bisa di daycare kan di hari kerja. Yang berlebihan itu bela-belain cuti demi nonton. Makanya kami nggak cuti, jadi aja nggak nonton bioskop.

Padahal saya suka nonton banget. Suka banget hingga dulu ayah pusing dan bilang “kenapa sih nonton terus?” Ya alasannya ialah saya suka sekali. Zaman kuliah saya nonton SEMUA film yang ada di bioskop nggak peduli itu horor lokal atau thriller absurd. Film lokal dari yang cantik hingga yang meh saya nonton semua. Bukan sekali dua kali nonton film yang di bioskop cuma bertiga atau berlima, saking orang nggak peduli itu film apa, saya tetep nonton.

Pertama alasannya ialah tiket nonton di Jatinangor Town Square itu murah meriah. Deket kampus pula jadi nggak punya alasan untuk nggak nonton. Pacar selalu ada, sahabat selalu setia (HALAH), pada dasarnya ya nonton itu udah jadi rutinitas aja hingga beberapa film nonton berkali-kali di bioskop.

Lanjut pindah ke Jakarta juga saya masih banget nonton. Apalagi kantor dulu deket Pejaten Village. Hamil gede pun udah 36 ahad saya masih loh ke bioskop. Nonton Wolverine di Senayan City. Duduk sambil sila dan tarik nafas berkali-kali alasannya ialah udah pengap dan nervous banget takut brojol di bioskop kan nggak lucu ya.

Setelah Bebe lahir, kami stop ke bioskop. Cuma nonton beberapa kali itu pun di Bandung alasannya ialah bisa titip Bebe ke ibu saya. Plus nonton Moana dan Coco alasannya ialah itu film belum dewasa jadi Bebe yang nonton.

Kami bukan tipe orang yang bawa bayi ke dalem studio. Iya sih jikalau nangis bisa keluar dulu, tapi repot aja dan kami terlalu males repot hahahaha. Bebe bukan bayi kalem, jauh dari kalem. Daripada ke bioskop terus stres, nonton malah sepotong-sepotong, kami lebih senang di rumah. Nggak perlu mandi, usel-uselan nonton YouTube aja. Atau sewa film usang di iTunes.

Makara nggak ngeluh stres juga sih alasannya ialah kehilangan hobi nonton bioskop. Karena nggak nonton juga ternyata nggak apa-apa hahaha.

Yang paling utama, kami juga nggak punya siapapun di Jakarta untuk dititipi Bebe. Dan sebenernya inti goresan pena ini ialah soal anak kedua. Nonton cuma sebagai background doang lol.

Kenapa saya udah ada di level “marah” jikalau ada orang nanya anak kedua? Karena darling, buat kami berdua, anak itu bukan cuma problem “anak lahir dengan rezekinya masing-masing”.

via GIPHY

Oke kita breakdown satu-satu. Uang nih ya yang paling real alasannya ialah topiknya rezeki. Di Jakarta, biaya daycare satu anak aja 4-5jutaan. Sampai sini mau ketawa dulu nggak? Nggak perlu ketawa dong ya kan katanya anak ada rezekinya masing-masing. Tar juga niscaya bisa lah bayar daycare segitu jikalau anaknya udah lahir mah.

Ya lagian kenapa harus pake daycare segala sih? Pake mbak aja kali di rumah kan lebih murah!

Ngerti banget niscaya lebih murah. Tapi kami berdua nggak bisa nanggung risiko mbak drama mudik mendadak terus nanti Bebe gimana? Saya harus cuti? Kalau nggak dapet mbak hingga 2 ahad gitu gimana? Harus cuti 2 minggu?

We opted for daycare for our peace of mind. Nggak drama mbak mendadak pulkam, nggak takut anak ngapain aja berdua mbak, dan yakin anak dididik sesuai prinsip di rumah. Even better.

Dan jikalau Bebe bayi pake mbak tapi nggak ada yang supervisi atau cuma pake cctv kok ya saya serem sendiri. Ibu saya dan mamah mertua keduanya ibu rumah tangga sih jadi kami nggak terbiasa dengan konsep dijaga mbak di rumah. Terlalu menakutkan. :(

(Baca: Penyesalan dalam Hidup)

Kami nggak punya privilege “titip dulu di rumah ibu/ibu mertua hingga dapet mbak baru” loh. Nggak punya sama sekali. Kalian yang bisa titip terus ngedate berdua suami itu harus bersyukur banget! Meskipun saya dan JG juga nggak gremetan pengen ngedate berdua sih. Kami terlalu terbiasa bertiga. Nggak bertiga jikalau di kantor doang. Pergi pulang bareng, ke mana pun bareng.

Kami ke mana-mana bertiga literally. Saya di dapur semua ikut diem di dapur, saya di kamar semua ikut diem di kamar. Kami se-clingy itu satu sama lain HAHAHAHA. Abring-abringan wae jikalau kata orang Sunda mah.

Selain uang dan urusan mbak, yang paling signifikan ialah kami tidak punya waktu. Waktu luang kami sedikit sekali. Setiap hari packed banget. Sampai-sampai alasannya ialah gambar, saya jadi nggak ada waktu baca buku. Pilihannya ya mau baca buku, gambar, nonton YouTube, lipetin baju, atau beberes rumah? Nggak bisa semuanya sekaligus. Makanya kini nggak bisa ngikutin series apapun alasannya ialah ya nggak ada waktunya.

(Baca: Mengurus Rumah Tanpa Nanny dan ART. Bisa? NGGAK!)

Saya juga udah nggak mau ngorbanin waktu tidur. Begadang demi nonton, terus besok di kantor ngantuk cranky pengen cepet pulang. Di rumah jadi pengen eksklusif tidur dong, kapan main sama Bebenya? Dan jikalau si Bebe punya adik? Waktu yang udah sangat sempit ini harus dibagi sama satu orang lagi?

Selama ini saya dan JG bisa sabar, hampir nggak pernah hardik Bebe, apalagi jewer cubit apapun itu alasannya ialah kami fokus pada Bebe. Bebe selalu dapet full 100% perhatian yang nggak terbagi. Kebayang banget sih jikalau anak kedua masih bayi lagi rewel kolik terus si Bebe malah iseng numpahin beras ke lantai gitu, niscaya murka lah kita. Kalau sekarang? Ya nggak murka kenapa harus murka coba, jongkok aja bertiga di dapur mungutin beras satu-satu.

We’re in our comfort zone indeed. Untuk urusan anak, kami beda sama urusan belanja. Lebih baik nyesel alasannya ialah punya satu dibanding nyesel alasannya ialah punya lebih dari satu. Kami tidak mau ada yang merasa dikorbankan. Karena untuk adil itu susah sekali kan? Apalagi buat saya yang nggak percaya prioritas.

(Baca lah Priority is Bullshit)

Kami juga tidak mau pindah ke Bandung demi akrab orangtua semoga bisa titip anak atau saya keluar kerja semoga bisa urus anak. Mungkin maternal instinct saya kurang berpengaruh jadi ya, saya bukan tipe yang jikalau liat orang hamil itu kepengen, liat orang punya bayi kepengen.

Nggak usah dianggap gila ya, orang kan beda-beda. Buat saya malah gila orang bayinya gres 3 bulan terus bilang kepengen hamil lagi hahaha. Makara ya bukannya takabur, tapi memang nggak siap aja entah hingga kapan. Belum pernah sekalipun tercetus "pengen deh punya anak lagi".

Konsep mendidik anak terus menerus itu kayanya emang bukan buat saya deh. Punya satu, mati-matian berguru parenting terus drained. Habis tenaga. Kalau hingga ada apa-apa sama Bebe ya udah mungkin memang begitu seharusnya, jikalau hingga 10 tahun lagi pengen punya anak dan nggak dikasih, ya udah mungkin memang begitu seharusnya.

Ada yang bilang “nanti tuanya sepi loh jikalau anak satu”. Yah, nenek saya anaknya 5 juga tetep di rumah tinggal sendirian hingga meninggal. Ibu saya anak 3 juga ini yang dua udah pisah kota.

Lagian judgment kaya gitu nggak adil, saya punya anak satu aja udah seneng banget kok. Yang nggak punya anak terus padahal udah perjuangan mati-matian gimana? Masa mau disindirin tuanya nanti kesepian? Masa mau disindirin "ayolah punya aja rezeki mah niscaya ada". NGGAK KAANNN? Faedahnya apa sih nanya-nanya orang kapan nambah anak?

Untungnya JG juga sama. Gini-ginian emang harus setuju banget sama suami ya. Suka kasian sama yang istrinya nggak mau punya anak terus suaminya keukeuh. Karena ngurusnya kan berdua, ya harus setuju di awal berdua dulu dong huhu.

Makara ya demikian, simpulannya untuk nonton bioskop aja kami nggak sanggup, apalagi anak kedua? :)

-ast-

Detail ►

Anak Yang Ingat Rumah


Beberapa waktu kemudian saya ngobrol sama temen wacana “ingin anak kita kaya gimana jika ia udah remaja?” Trigger recehnya: gosipan selebgram. Trigger tidak recehnya: anak kecil yang ngefans sama selebgram kurang prestasi, cuma alasannya yaitu kaya atau bagus doang.

Banyak kan yang khawatir “aduh khawatir deh sama belum dewasa kita nanti, ngefans itu harusnya sama yang pinter dong, yang kuliah bener. Ngefans sama Maudy Ayunda gitu atau Iqbaal, jangan kaya si selebgram A atau B yang kuliahnya nggak jelas!”

Ngomongin ini saya mikir banget loh. Mikirin nanti jika udah gede apakah saya khawatir jika Bebe ngefans sama selebgram yang katanya kurang prestasi?

Mmmm, nggak terlalu sih ya TAPI itu mungkin alasannya yaitu Bebe laki-laki. Ibu-ibu dengan anak wanita biasanya lebih khawatir alasannya yaitu “ya ampun followers 1juta kok bajunya seksi, tar ditiru fansnya gimana!” gitu kan.

*berpelukan erat-erat*

Yang khawatirkan cuma satu. Saya takut Bebe nggak inget pulang. HUHUHUHU. *posesif*

Soalnya anak zaman kini pada pinter-pinter banget cari uang kan ya. Gimana jika nanti ia udah banyak banget uangnya, bisa beli apartemen atau rumah sendiri, beli Mercy putih dua pintu sendiri … kemudian jadi jarang pulang ke rumah padahal umurnya gres 18 tahun.

via GIPHY

Kalau kuliah atau kerja di luar kota sih masuk akal ya jarang pulang. Yang saya takutin itu adalah, Bebe nggak mau serumah sama kami alasannya yaitu berjauhan lebih tenang daripada berdekatan. Dia nggak nyaman di rumah alasannya yaitu misal beda prinsip hidup sama saya dan JG jadi daripada serumah tapi berantem terus, mending keluar rumah aja.

SEDIH NGGAK SIH HUHU.

Saya jadi inget juga kisah Davina anak Mona Ratuliu yang udah kepikiran mau kabur dari rumah waktu umurnya 5 tahun. Dari situ Mona kesannya serius mencar ilmu parenting alasannya yaitu Davina udah beberes baju ke tas dan bawa uang Rp2ribu. Maka dari itu semenjak kini saya mikirin banget gimana caranya agar terus sepikiran sama Bebe agar di masa depan Bebe selalu ingat rumah. SUSAH YA PASTI.

Tapi minimal kan niatnya dulu. Bahwa saya dan JG akan selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang Bebe. Sesederhana sekarang, kami selalu menahan diri untuk tidak menjudge Bebe “nggak jelas” hanya alasannya yaitu ia melaksanakan hal-hal yang “aneh” untuk ukuran orang dewasa. Kami jaraaaannggg sekali melarang kecuali jika bahaya.

Misal, main cat air terus catnya dicelup-celup pake telapak tangan dan malah ditemplok-templokin ke lantai bukannya di kertas. Atau naro mobil-mobilan di freezer, pipis di celana alasannya yaitu males ke kamar mandi, naik meja belajar, pup sambil kepalanya ditutup bejana kecil kemudian nyanyi, lempar-lempar baju sebelum dipake, dan banyak lagi. Dimarahin? Nggak.

Emang nggak terang berdasarkan kita sih tapi berdasarkan Bebe itu jelas-jelas aja. Kecuali dilakukan di daerah umum atau jadi melanggar norma kesopanan ya. Jelaslah dibilangin jika itu tidak sopan. Ngerti kok. Jangan suka ngeremehin anak kecil nggak ngerti loh. MEREKA NGERTI.

Cuma kadang memang belum tau dan nggak perlu diremehkan dengan “alah belum ngerti” atau malah dicap nakal. Mereka bisa tau, bisa ngerti, jika dijelaskan dengan bahasa belum dewasa dan dijelaskan alasannya kenapa.

Anggap aja latihan toleransi sama Bebe ya kan? Biar kita sebagai orangtua terbiasa pake contoh pikir anak untuk melihat alasan berbuat sesuatu, dan bukan contoh pikir kita yang (sok) dewasa. Bayangin jika ia remaja nanti di tahun sekian, kita tetep ngeyel sama contoh pikir kita. Udalah niscaya berantem huhu. Nanti ia nggak inget pulang gimana alasannya yaitu berantem terus sama kita. Ah sedih.

Demikianlah. Semoga kita selalu dikuatkan ya buibu dengan segala kekhawatiran pada anak. Aamiin. YANG KENCENG! AAMIIN!

-ast-

PS: Postingan yang dipengaruhi hormon mellow alasannya yaitu sedang mens HAHAHAHA

Detail ►

#Sassythursday: Cinta Beda Agama


MAAF GENGS TELAT KARENA LUPA HARI INI KAMIS. HUH.

Nahla ngajakin #SassyThursday terus gue yang ayolah ya udah alasannya lagi nggak punya topik buat blog juga sih. Topiknya Nahla juga yang propose (aura beliau mau curhat sih kayanya hahahaha) tapi ya ayo alasannya why not ok.

Baca punya Nahla di sini:

Gue jadi baca punya Nahla duluan kan dan ya udah pernah diceritain sih itu semua TAPI kebetulan gue nggak punya mantan beda agama hahahaha. Apakah sengaja? Ya nggak juga sih alasannya emang nggak ketemu aja sama yang klik dan beda agama. Untungnya.

Untungnya loh, alasannya ya Tuhan gue paling kasian banget sih sama yang pacaran beda agama dan nggak disetujui keluarga. CATET YA: beda agama DAN nggak disetujui keluarga.

Yaiyalah, kalau keluarga baiklah kan nggak masalah. Ingat 3 hal yang pernah saya bahas di sini Pacaran Bertahun-tahun, Nikah atau Putus?

Tiga problem yang jadi penghalang sebuah relationship:

Orangtua, agama, LDR. Kalau kalian cuma ngalamin 1 masalah, maka dapat lah dijalani dan dicari solusinya. Tapi kalau udah kena dua, itu gres berat.

Makara kalau hanya orangtua nggak baiklah 🠞 dapat lah dibujukin hingga baiklah asal kalian nggak LDR dan seagama.

Atau kalian LDR 🠞 dapat lah diusahakan asal seagama dan orangtua setuju.

Atau kalian beda agama 🠞 dapat lah diusahakan asal nggak LDR dan orangtua setuju, nggak problem anaknya nikah beda agama.

via GIPHY

Makara meski beda agama, harusnya kalian akan baik-baik aja selama tidak LDR dan orangtua setuju. Kenyataannya sebaliknya banget tapi kan. Orangtua kebanyakan nggak setuju. Karena agama dianggap hal paling prinsipil. Yang mana gue setujuuuuu banget ... bab prinsipnya.

Pernah gue tulis juga di sini: Cerai Karena Beda Prinsip? Karena berdasarkan gue bisa loh menghargai values yang sama meskipun beda agama. Beda agama belum tentu beda prinsip, sama agama bukan berarti juga sama prinsip. Terlalu luas cakupannya yaaa.

Makara emang biasanya faktor eksternal banget nih yang mensugesti pasangan beda agama. Selain orangtua, juga negara.

Karena negara kita ini kan memaksa semua orang punya agama ya, kadang ada temen-temen yang sebenernya mah nggak beragama tapi terpaksa punya agama alasannya KTP dan keluarga. Lha hasilnya malah susah nikah alasannya nggak disetujui keluarga. Kan kasian.

Padahal dari kedua belah pihak YANG MAU NIKAHNYA nggak peduli agama gitu kan tapi ya gimana lagi kan itu mah risiko dari tinggal negara yang mengharuskan warganya punya agama. Pun risiko dari punya keluarga yang berprinsip nikah harus seagama.

(Baca: Selingkuh)

Kalau nggak beragama ya udah pindah agama basa-basi aja?

Yang penting dapat nikah kan? Ya ini opsi paling ok BUAT NEGARA. Tapi tidak buat orangtua loh. Pindah agama basa-basi tapi nanti ditagih mertua suruh ikut ibadah sesuai agama gres gimana? Lha agama dari lahir juga nggak pernah didalami, ini tiba-tiba disuruh ibadah agama gres hanya alasannya pernikahan. Ribet juga yaaa.

Makara ya, jatuh cinta tidak dapat dihindarkan, patah hati juga tidak dapat disiapkan. Makara pada dasarnya gimana takdir, beruntunglah untuk yang nggak pernah jatuh cinta sama beda agama, dan bersabarlah untuk kalian yang lagi pacaran beda agama dan nggak direstui keluarga. :(

Satu hal, jangan suka judge orang pacaran beda agama!

1. Kalian nggak tau apa itu orang punya agama beneran atau demi KTP doang?
2. Kalau mereka nikah juga kalian paling ngasih 100ribu elah ke amplopnya jadi jangan ikut ributlah berisik ok!

PS: Selain agama, suku aja masih banyak yang nikah harus sesuku kan. Makara yaaa, jikalau layak diperjuangkan maka perjuangkan. :)

See you on the next #SassyThursday yang entah kapan kalau sempet lagi ya!

-ast-

Detail ►

Belajar Kalem


Sebelum kalian-kalian di dunia kasatmata protes “WOY, LO KALEM SEBELAH MANA DEH?!” mari saya luruskan dulu bahwa postingan ini hanya berlaku untuk kekaleman dalam menghadapi masalah, bukan kekaleman dalam berghibah di meja makan siang. NGERTI, BEBS? NGERTI DONG YA!

Kalau judes, itu perpanjangan dari saya yang suka to the point. Nggak suka basa-basi. Bagi orang yang suka basa-basi dan nggak enakan ya jadinya judes. Padahal saya cenderung santai loh dalam menghadapi sesuatu.

Boleh dicek di semua akun socmed, saya bukan tipe orang yang reaktif. Bukan tipe orang yang lagi rame perkara apa, pribadi ikutan bikin status juga. Bukan tipe yang praktis nge-reply orang defensif juga. Yaaa, diem-diem ajalah, kecuali emang diajakin Nahla bikin #SassyThursday ya. Saya sih hari-hari mah banyakan juga share video lucu atau menyentuh hati gitu. *halah

Tapi patut kalian garis bawahi, kalau saya BISA santai sekarang-sekarang doang sesudah nikah. HAHAHAHAHAHAHA. Dulu mah saya annoying lah super.

Sedikit dari drama saya waktu pacaran sanggup dibaca di postingan ini: Mengurangi Intrik Rumah Tangga

Pokoknya saya drama banget lah waktu pacaran. Sebisa mungkin menggunakan prinsip kalau sanggup ngerepotin beliau kenapa nggak? HAHAHAHA.

Prinsip itu tidak disengaja sih, maksudnya nggak niat ngerepotin. Emang manja aja, anaknya suka dimanjain. Rese ya. Rese banget level kalau pengen makan sesuatu YA ANTER KE RUMAH DONG SEKARANG JUGA.

Kalau nggak dibeliin ngambek bodo amat.

via GIPHY

Mungkin sebab di rumah anak pertama, udah punya adik dari umur 3 tahun, jadi selalu jadi yang berpengaruh dan sanggup diandalkan ya. Kaprikornus kalau punya pacar, saya memindahkan beban andalan itu ke pacar. Kurang lebih begitu.

Maka dari itu, mengingat masa muda yang sungguh sesuai dengan definisi cewek-cewek nyebelin, saya merasa BERHAK nulis tips berguru kalem. HAHAHAHAHAHA.

Jadi gimana caranya sis?

Pacaran sama orang yang sama nyebelinnya lol. Karena JG itu nyebelin banget, saya mau rese gimana juga beliau nggak peduli hahahaha. Bukan tipe yang mau-mau aja disuruh nganterin makanan malem-malem atau mau-mau aja diminta jangan futsal dan pergi sama saya.

NGGAK PERNAH MAU HIHHHH. Dia mah bodo amat saya marah-marah telepon nggak diangkat juga yang penting sanggup main PS sehari semalem. Emang rese dia, sama resenya sama saya. XD

Sama resenya, sama emosiannya, sama nggak mau kalahnya, sama keras kepalanya. Pokoknya kalau berantem itu kaya ngaca sama diri sendiri deh. Mau debat juga ngga bakal ada yang menang sebab energi ngototnya sama banyak. Maklum ultah cuma beda 2 hari ya, sama-sama Libra (kalau cocok aja ngomongin zodiak lol).

Ya udah pada dasarnya selama pacaran itu seringgggg banget berantem dan saya nggak peduli lho. Berantem ya berantem aja emang kenapa. Nggak pengen putus soalnya sayaaanggg banget hahahaha. Dan berantem nggak pernah lebih dari sehari sebab kangen lol. Kalian tau kan tipe-tipe pacaran yang seru banget dan nyambung di segala lini tapi juga exhausting banget kalau berantem. Mirip-miriplah sama kata orang, "jangan hepi banget nanti murung banget". Nah kurleb begitulah.

(Baca: Pertemanan Orang Dewasa)

Pas udah nikah TERNYATA saya lama-lama males juga berantem. Padahal terhitung jarang lho, nggak sebulan sekali amat ngotot-ngototan. Tapi tetep aja males. Kalau sanggup nggak ngomel kenapa harus ngomel sih? Lagian pas udah nikah kalau berantem besok paginya niscaya baikan sebab kami LUPA sama emosinya lol. Kaprikornus udah nggak pernah pergi kerja dalam kondisi berantem gitu. Tidur menyembuhkan hahahahaha.

Sekalinya berantem jadinya sebel banget sebab kok kita berantem sih? Kalau berantem gini kenapa nikah sih?

Kaprikornus masuk tahun kedua nikah saya bertekad untuk nggak berantem lagi SAMA SEKALI, sebab berantem itu capek dan nggak sanggup kabur gitu sebel. Bete juga mau gimana. Mau dongeng ke orang lain juga nggak mungkin kan sebab nggak suka umbar masalah. Mau posting di socmed ya nggaklah saya kan punya personal branding yang harus dijaga HAHAHA.

via GIPHY

Akhirnya saya berguru meredam emosi.

IYA, SAYA LHO. SAYA YANG RESE INI LOL.

SUSAHNYA YA TUHAN.

Ada masa-masa di mana JG ngomongnya udah naik dan saya tersinggung tapi saya BERUSAHA diem. Itu hingga nahan gigi gemeretekan gitu loh mau marahnya.

Tapi saya diem.

Karena untuk apa. Akhirnya saya hingga pada simpulan di postingan yang sebelumnya itu. Nggak boleh naikin bunyi kalau:

1. nggak penting dan nggak berfaedah
2. NGGAK MENGUBAH KEADAAN
3. sekiranya menyakitkan

Contoh:

Mobil mogok, JG panik sebab udah telat mau pergi kerja. Ngomongnya udah naik banget “aduh kenapa sih ini nggak nyala-nyala!”

Opsi tanggapan saya dua:

a. “MANA AKU TAU KOK NANYA AKU SIH?!”

b. “Ya udah biarlah, pesen Grab aja dulu kini gres tar malem panggil montir”

Opsi tanggapan beliau berikutnya bila saya jawab a: “YA KAMU KENAPA IKUTAN MARAH SIH, BANTUIN JUGA NGGAK BLABLABLABLA NGOMEL” *berakhir saya panas juga dan hasilnya berantem kemudian manyun*

bila saya jawab b, ada kemungkinan beliau masih panas juga dan saya akan tetep BERUSAHA kalem. Atau ya beliau juga nggak jadi marah.

Itu saya coba terus menerus sebab JG awalnya NGGAK SADAR kalau saya nggak lawan beliau lagi. Kaprikornus beliau masih praktis naikin suara. Lama-lama terbiasa loh. Terbiasa untuk nggak panas dan senggol bacok.

Lama-lama yaaa kaya nggak pengen ikutan murka lagi dan diem aja. JG nya juga lama-lama nggak praktis murka loh. Inget, kekaleman itu menular!

Kaprikornus ya udah kini kalau pengen marah, yang diinget pertama yaitu “marah/ngomel nggak ya? untuk apa ya marah/ngomel? ah nggak usah deh” gitu. Atau kalau lagi bete juga atau lagi capek, ya udah diem aja nggak usah nanggepin marahnya orang lain. Yang penting diri sendiri dulu jangan marah-marah.

via GIPHY

Apalagi buat kalian yang suaminya kalem. Apa nggak resah sendiri kita murka padahal dianya diem? Kenapa harus ngomel kalau yang diomelin aja kalem?

Kecuali kalau suami kalian KDRT ya, seek help! Kalau sekadar beda pendapat atau emosi gara-gara kunci ilang, macet, mogok, telat jemput sekolah, lupa bawa tas anak ke sekolah, gitu-gitu sih nggak usah lah dibikin berantem. Kalemmmm aja.

Meskipun nggak marah, kalau sebel jangan dipendam juga. Ya harus bilanglah agar beliau tau. Bilangnya lewat chat aja jangan ngomong pribadi hahahaha. Yang penting tersampaikan. Demi kehidupan yang less drama.

Sama anak juga kami berdua begitu lho. Bebe numpahin air, mecahin gelas, jatoh, apapun ya nggak perlu dimarahin lah. Rata-rata yang beliau lakukan out of curiosity kok. Masa iya sengaja numpahin air agar saya sebel, geer amat. Numpahin air agar tau rasanya main air di lantai kan? :))))

Sama hal-hal di luar kuasa kita juga. Kaya macet atau antrian panjang gitu, kenapa harus murka kalau emang antriannya panjang? Kalau dipotong antrian gres saya murka DAN TEGUR.

Terus apa kekaleman ini selalu berhasil? NGGAKLAH. Apalagi kalau lagi PMS ya wihiiiii sanggup panjang lebar saya chat ngomel-ngomel kalau beliau nyolot. Nggak apa-apalah sebulan sekali ya, asal nggak ngotot-ngototan lagi di dunia nyata. Itu cukup.

Kaprikornus yuk berguru santai yuk. Susah tapi niscaya sanggup kok. Kerasa banget bedanya kehidupan santai dan kehidupan kalian sebelumnya.

Ayoooo ambil kaca, siapa yang masih suka ngomel-ngomel padahal tau nggak terperinci juntrungannyaaaa? :D

-ast-

Detail ►

Menikah Beda Kasta Dan Urusan Mertua

Dari postingan yang kemarin yang ihwal sekolah dan kelas sosial, aneka macam yang DM saya jika dulu mencicipi hal serupa. Gimana rasanya selalu minder di sekolah alasannya yakni temen-temennya jauh lebih kaya. Kaprikornus kasusnya beda kelas sosial di lingkungan sekitar kan ya.



Nah tapi terus ada yang DM beda sendiri. Pertanyaannya: gimana jika nikah sama orang yang kelas sosialnya beda? NAH DARI DULU NIH PENGEN NULIS INI.



Karena selama ini saya selalu menekankan kesamaan PRINSIP sebelum menikah. Dan prinsip itu dapat didiskusikan serta disepakati. Makanya salah satu postinan saya yang terpopuler yakni 30 pertanyaan yang harus ditanyakan sebelum menikah. Tapi seinget saya, saya belum pernah bahas sedikit pun urusan beda kasta dalam urusan keuangan dan kemungkinan keribetannya urusannya sama mertua di kemudian hari.

Sebagai background, jika dari sisi keluarga, keluarga saya dan JG nggak ada di kelas yang sama. Dulu keluarga JG tinggal di gang, hidupnya susah alasannya yakni bapaknya dulu cuma tenaga honorer dan belum jadi PNS, nggak punya kendaraan beroda empat apalagi liburan, bapaknya kerja keras agar 4 anaknya dapat sekolah dan harus kuliah. Keadaan mulai membaiknya kapan coba? Setelah JG kerja. :))))

Kaprikornus beliau kerja awalnya ya untuk keluarga banget. Beli kendaraan beroda empat agar kakaknya yang lagi hamil dapat lebih nyaman jika pergi-pergian, beli rumah agar mamanya dapat tinggal di kawasan yang lebih tenang. Makin idola banget nggak nih sama JG? XD

Untungnya bapaknya masih kerja banget untuk sekolah adik-adiknya jadi ya kami nggak perlu biayain adik-adik serta keluarga JG. Keadaan keluarganya juga udah jauh lebih baik daripada dulu. Nah sesudah kaya gini gres saya ketemu sama dia. Kaprikornus ketemunya emang beliau keliatannya udah "selevel" sama saya dan keluarga.

Nggak kok keluarga saya nggak kaya raya hahahahaha. Tapi emang saya nggak pernah hidup susah. Nggak pernah tau rasanya kurang uang untuk beli sesuatu atau kurang ongkos. Nggak punya kendaraan beroda empat sendiri dan naik angkot banget kok ke sekolah dari SD hingga kuliah. Mungkin alasannya yakni anak pertama ya, adik-adik saya sih mencicipi kondisi keluarga yang jauh lebih baik. Adik-adik saya dianterjemput supir jika les, saya sih dianterjemput ayah dulu soalnya belum punya supir pas saya kecil mah.

Anyway dari situ aja kalian dapat liat ya perbedaan itu bekerjsama dapat aja ada tapi kesudahannya nggak ada alasannya yakni apa? Karena saya sendiri dari dulu takut pacaran sama orang kaya hahahahahahaha.

Dulu ada temen saya yang kaya banget. Tipe yang tiba-tiba mobilnya gres alasannya yakni yang usang diambil paksa sama bapaknya. Diambil paksa alasannya yakni dinilai sudah terlalu tua. Padahal kendaraan beroda empat usang umurnya gres 2 tahun hahahaha.

Dia nggak naksir saya tapi itu semakin mengukuhkan bahwa saya nggak akan mau nikah sama anak orang kaya. Karena like duh, yang paling sederhana aja saya harus menggunakan baju apa ketika ketemu keluarganya? Hidup sudah penuh duduk masalah tak perlulah ditambah-tambah lol.

Intinya ya selalu berprinsip: find someone in your own league. Menikahlah dengan yang selevel dalam hal apapun termasuk ekonomi. Karena jika nggak begitu repot ngejarnya. Kalian selamanya akan jadi "si miskin" dalam keluarga dan akan banyak hal yang nggak kalian mengerti.

Belum lagi hidup kalian mau nggak mau niscaya akan ditanggung oleh salah satu pihak. Rumah dan seisinya dibeliin mertua, kendaraan beroda empat dibeliin mertua, HP dibeliin mertua, dana pendidikan anak ditabungin sama mertua, belanja bulanan dibelanjain mertua, supir dan nanny digaji mertua, uang kalian utuh banget makanya dapat liburan ke mana-mana. Tapi yang terjadi berikutnya biasanya adalah, keputusan rumah tangga kalian juga niscaya jadi ada campur tangan mertua.

Disuruh punya anak lagi nggak dapat nolak alasannya yakni "loh anak pertama aja kami yang biayai kan?" meski tidak tercetus tapi mungkin tersirat. Mertua minta apa niscaya nggak dapat nolak. Selalu ada urusan balas akal kan?

DAN INI BISA SAJA TIDAK TERJADI LOH YA. Saya nggak mau generalisir juga. Pasti ada mertua kaya raya tepat di luar sana yang nggak mau ikut campur urusan rumah tangga anaknya padahal ikut biayain semua. Cuma kebetulan nggak ada temen saya yang begitu hahahaha.

Temen-temen saya yang mertuanya lebih kaya niscaya ikut campur. Karena mereka menganggap dengan ngasih uang dan ikut campur sebagai bentuk sayang. Ikut campur nggak selamanya salah, tapi sekalinya salah (masa insan nggak pernah salah?) gimana mau ngeluh atau komplain sih orang selama ini hidup kalian dicukupi kan?

Sebenernya hal ini nggak akan terlalu repot jika kalian tipe nrimo. Oh kata suami gini, sepakat nurut. Oh kata mertua gini, sepakat nurut. Tapi jika tipenya kaya saya yang selalu punya pandangan sendiri dan nggak mau diganggu gugat orang lain? Ya repot. Makanya hingga kini nggak deh berusaha minta uang atau pemberian apapun dari orangtua dan mertua. Termasuk pemberian jagain Bebe alasannya yakni ya, kami hidup dengan cara ingin hidup dengan kami sendiri apapun itu.

Kaprikornus ya, menikahlah dengan yang sekasta jika kalian ingin hidup tenang. Menikahlah kemudian cari uang sendiri jika kalian ingin ijab kabul yang benar-benar diputuskan berdua tanpa campur tangan pihak lain.

Oiya, saya juga jadi inget beberapa waktu kemudian share soal KPR di Instagram Story. BANYAK BANGET BANGET BANGET yang gundah soal KPR alasannya yakni DP-nya dibayarin mertua. Mau dijual bilangnya bingung, mau diterusin kok ya nggak betah dan pengen pindah, dan lain sebagainya. Intinya jadi serba gundah alasannya yakni semenjak awal keputusannya tidak hanya berdua.

Kalau kalian tidak duduk masalah dengan hal-hal ibarat ini dan memang bertujuan pengen hidup yummy meski tidak punya suara, go ahead lah cari pacar kaya. Tapi jika kalian ibarat saya yang ingin ngatur hidup sendiri, mending cara pacar selevel dan kerjalah sendiri. Definisi hidup senang kan beda-beda ya buat semua orang. Ada yang lebih suka banyak uang meski sebenernya gretekin gigi tiap ada urusan keluarga, ada yang lebih suka damai-damai aja meski mau liburan aja nunggu anak masuk SD dulu lol.

Demikian. Semoga mencerahkan bagi kalian-kalian yang masih gundah soal pernikahan. Next saya mau bahas gimana mensiasati gaya hidup yang beda bagi suami istri. Istri boros suami ekonomis atau sebaliknya. NANTI YAAA.

Selamat weekend!

-ast-

Detail ►