Kemarin saya Insta Story soal kesulitan menjadi ibu. Dari semua tanggapan yang masuk, 80% menjawab sulit menahan emosi. Karena anak banyak tingkah, banyak ulah, iseng dan lain sebagainya.
Sementara bagi saya, hal yang tersulit ketika jadi ibu yaitu ketika saya menyadari bila saya tidak sanggup lagi hanya fokus pada diri sendiri.
Sekarang dan selamanya, hidup saya akan terbagi dengan anak. THAT FACT HIT ME REAL HARD.
Mungkin lantaran nggak ada yang menyiapkan saya untuk punya anak. Saya sendiri nggak pernah menyiapkan diri untuk punya anak. Waktu kuliah sih centhyl banget pengen nikah muda lah segala rupa. Begitu kerja waw nikah aja mikir-mikir banget panjang lebar. Heran juga kenapa kecemplung sekalian dan punya anak hahahaha.
Eh terus kebetulan sini kan orangnya perfeksionis dan ambisius ya. Oke gundah kok sanggup punya anak, tapi sehabis punya ya lakukan segala hal untuk membesarkan anak. Hahaha. Se-nggak pede itu sama insting keibuan diri sendiri lantaran ya seumur hidup nggak punya imajinasi apa-apa ihwal jadi ibu.
Kemudian tiba problem berikutnya, problem sulit sebagai ibu: mengelola ekspektasi. Saya punya ekspektasi pada Bebe PLUS saya punya ekspektasi diri pada saya sebagai orangtua. That’s the hardest part. Damn.
Meski merasa nggak punya insting keibuan, saya yakin pada satu hal:
saya tahu 100% akan membesarkan Bebe ibarat apa. Sebagai orangtua, saya dan JG merumuskan hal-hal (kita sebut saja values) semoga Bebe sanggup jadi individu yang kita harapkan. Yang selalu sanggup punya keputusan sendiri, mandiri, tidak bigot, dan menghargai perempuan.
Values ini nggak dirumuskan pas lagi hamil gitu. NGGAK SAMA SEKALI. Pas hamil cuma kepikiran satu hal: Bebe harus jadi orang yang sanggup ambil keputusan. UDAH ITU DOANG. Lebih lantaran rese sama JG yang nggak sanggup ambil keputusan.
(Ceritanya ada di sini: Anak dan Pengambilan Keputusan) Seiring berjalannya waktu, semakin Bebe meninggalkan masa bayi, kami semakin sering mendiskusikan ihwal sikap Bebe, cari tahu ke sana sini, konsultasi dengan psikolog anak, dokter tumbuh kembang, dll. Kami butuh backup science, research, anything untuk menghadapi Bebe. Untuk memahami kenapa beliau melaksanakan ini dan itu.
Karena bila pake insting doang wah murka sih pasti. Emosi saya nggak sanggup menghadapi anak yang waktu bayi high needs dan jadi highly sensitive ketika balita. Kalau saya nggak cari penjelasannya secara science, dijamin saya akan sering marah-marah.
Waktu Bebe umur 3 tahun, kami ketemu dengan Montessori dan yay makin kokoh deh valuesnya. Satu mantra Montessori yang perlu disimpan dalam hati dan diterapkan sehari-hari:
“Setiap hal yang dilakukan anak niscaya bermakna” PASTI LHO. Menurut kita nggak jelas, berdasarkan anak mah ya terperinci lah. Apalagi anak umur 2 tahun gitu yang sedang gundah melihat dunia dan berusaha memahami emosinya sendiri,. Kalau bukan kita yang memahami beliau dan mengajarkan soal emosinya, siapa lagi?
Ingat, apa yang tidak masuk nalar bagi kita, mungkin sangat masuk nalar bagi mereka.
Tempatkan diri pada point of views anak. Kadang mereka melaksanakan hal menyebalkan bukan lantaran ingin menyebalkan tapi lantaran mereka ingin mencoba hal baru. Kebetulan hal barunya menyebalkan bagi kita.
Dua paragraf di atas dari goresan pena usang saya:
The Terrible Terrible Two. Tulisan itu juga mungkin sanggup bantu untuk ibu-ibu yang susah nahan emosi.
Kaprikornus apa aja values yang kami terapkan di rumah? Dan gimana values ini sanggup bantu untuk mengelola emosi? Values kami secara umum adalah:
ANAK ITU SUBJEK. BUKAN OBJEK. Sebagian besar pernah saya tulis di blog ini. Tapi belum pernah dibentuk list kaya gini. Detailnya:
Anak yaitu individu sendiri. Dia anakku tapi beliau BUKAN aku. Saya nggak mau memaksakan diri saya pada anak. Misal hanya lantaran saya suka gambar, Bebe harus jadi suka gambar juga. Atau lantaran saya dan JG seneng tampil, maka beliau harus seneng tampil juga.
Bebe bukan kami. Dia individu sendiri. Kaprikornus saya dilarang kecewa ketika ia tidak mau atau menolak melaksanakan hal yang berdasarkan saya baik. Yang berdasarkan saya menyenangkan. Yang tetapkan sebuah hal menyenangkan atau nggak itu ya Bebe sendiri.
Ini salah satu cara memahami anak. Less stressful juga lantaran jadinya nggak pernah maksa apa-apa untuk anak.
Kami menghargai semua pendapat Bebe dan tidak pernah meremehkannya. Ini nih yang sering banget saya liat. Orangtua yang meremehkan anak dan bahkan bilang “alah anak kecil tau apa?” atau “alah kaya yang ngerti aja kamu”.
Anak ingin tahu sesuatu kemudian malah diremehkan lantaran beliau tidak tahu. Kalau kita malas menjelaskan sesuatu sama anak, jangan salahkan bila suatu hari anak juga malas menjelaskan sesuatu sama kita.
via GIPHY Kami memberi kebebasan untuk melaksanakan apapun yang ia ingin lakukan. Jika berbahaya, boleh tetap dilakukan asal diawasi. Kaprikornus bebas banget mau ngapain juga boleh. Mau guling-guling di aspal atau nggak pake sepatu ke luar rumah bahkan ke mall sekalipun boleh. Kalau bahaya? Ya didampingi. Makanya sukaaaa sekali sama Montessori.
Karena di Montessori, materi practical lifenya real sekali. Gelas ya pake gelas kaca, gunting ya gunting beneran (bukan gunting anak), semua pake benda yang sama untuk orang dewasa. Kaprikornus kini bila Bebe minta potong roti misal pake pisau beneran ya dikasih pisau beneran TAPI DITEMANI, DIAWASI.
Diberi tahu risikonya. Ini menjadikan rasa percaya diri dan tanggung jawab anak.
Kami memvalidasi emosi. Kamu boleh marah, boleh sedih, boleh kecewa. Emosi itu normal. Iyalah, lha kita aja sanggup kesel masa anak kecil nggak boleh. Ibunya aja praktis cranky di ketika lapar, masa pas anaknya lapar terus cranky malah kita marahin “KAMU KENAPA SIH?!” Laper bos!
Sejak umur 3 tahun, saya juga sudah memberi tahu bila kau sanggup marah, IBU JUGA BISA. Kalau kau sanggup duka dan nangis, IBU JUGA BISA. Ini bikin anak berempati. Misal saya abis teriak gitu ya lantaran beliau nggak tidur-tidur, beliau eksklusif diem kan. Saya peluk dan tanya “kamu duka kan bila saya marah? Aku juga duka lho bila kau marah”
Nextnya bila beliau murka TINGGAL SINDIR AJA HAHAHA. Nggak deng, tapi labeli emosinya “Wah anak ibu marah-marah terus, kecewa ya lantaran harus berhenti nonton” atau “Oh iyaaa kau duka ya ya udah boleh nangis tapi dilarang makan coklat malem-malem”. Ya masa anak duka nggak boleh nangis. Nanti makin sedihlahhh.
Nangis yaitu salah satu cara mengeluarkan emosi. Nangis itu sehat. Baca nih di sini:
5 Alasan Anak Perlu Menangis Kaprikornus bila beliau nangis, kami kebal. Kami nggak kalah apalagi marah. Diemin aja sih hahahaha.
Kami akan selalu mendengar Bebe. Selalu dan tidak akan pernah memintanya berhenti bicara. Bebe yaitu prioritas. Semua ucapannya kami dengar baik-baik jadi ya beneran nggak sanggup ngobrol berdua JG bila ada Bebe lantaran motong mulu beliau sebel dicuekin. Kaprikornus nggak pernah kesel bila Bebe ngomong terus, lantaran ya udah jadi prioritas aja.
Baca lengkapnya di sini:
Parenting Butuh Teori! We treat him like adults. Menurut Montessori, anak yaitu orang cukup umur yang terjebak dalam badan yang kecil.
Jadi ya bila kita sebel lantaran satu hal, anak juga niscaya sebel. Saya dongeng apapun sama Bebe dongeng apapun. Saya percaya beliau mengerti. Bahasanya aja yang diubahsuaikan dengan bahasa anak 4 tahun.
Kaprikornus nggak pernah insiden saya menolak menjelaskan dengan alasan "alah udalah nggak akan ngerti kau masih kecil". Saya jelaskan dulu, panjang lebar, bayi keluarnya gimana aja saya liatin videonya (yang gentle birth ya yang nggak jerit-jerit), so far belum ada pertanyaan beliau yang ketika saya jelaskan beliau tetep nggak ngerti. DIA MENGERTI. Anak nggak ngerti itu lantaran kita nggak sanggup jelasinnya. Period.
Kami mengungkapkan sayang dengan kata-kata. Teori oonnya nih ya, ngungkapin sayang pake kata-kata itu nggak gampang. Nggak semua orang bisa. Kaprikornus bila ngungkapin sayang aja udah biasa, dibutuhkan ngungkapin hal lain juga bisa. “Aku sayang kamu” itu kalimat tersering diucapkan di rumah kami. Saya ke JG, saya ke Bebe, JG ke Bebe, Bebe ke JG semua sesering itu bilang “aku sayang kamu”.
Kaprikornus inget dongeng beberapa ahad lalu, saya lagi mandi, Bebe lagi makan Puyo tapi nggak abis. Terus malah diaduk-aduk dimainin, TUMPAHLAH ITU PUDING, Bebe terus beresin sendiri kan. Perang belum dimulai, JG belum ngomel nih.
Selesai tumpahan puding di meja masuk lagi ke cupnya, EH LOH TUMPAH LAGI. Mulai emosi dong ya. JG (yang dari tadi sambil basuh piring) bilang “kan appa sudah bilang jangan dimainkan! Tutup terus simpan!”
Bebe diem, nggak mau beresin dia. Saya beres mandi, nanya ada apa. Terus saya bilang “Bereskan, kau salah. Kamu harus bereskan”. Terus beliau beresin sambil sedih.
Selesai beberes hingga dilap pakai tisu, Bebe akhirnya bilang “tadi saya nggak sengaja tumpahin lagi itu lantaran mau tutup terus susah tutupnya, jadi tumpah lagi”
HUAAAAAA. Langsung seketika saya peluk dan bilang “thank you for telling me this, saya bahagia kau tetap bertanggung jawab membereskan dan saya juga bahagia lantaran kau berani bilang bila tadi kau tidak sengaja” kemudian JG juga peluk dan minta maaf lantaran sudah menuduh Bebe mainin puding.
MAU MEWEK SIH SUMPAH.
via GIPHY Karena gimana ya, saya waktu kecil (dan saya yakin kalian di generasi saya juga punya pengalaman serupa), takut aja gitu ngakuin hal-hal kaya gitu ke orangtua apalagi bila abis dimarahin. Kalau ortu udah murka ya kita nggak punya pembelaan. Kalau pun akhirnya kita sanggup membela diri, kemungkinan besar jadi berantem kan sama ortu?
Udah mah kita nggak ngerasa salah, dimarahin, ortunya nggak minta maaf. Wah sebel sih. Nggak heran pas remaja saya berantem terus sama ibu hahahaha.
Kami akan support apapun yang ia inginkan selama tidak melanggar hukum yang berlaku. Yes. Bebe BEBAS melaksanakan apapun tapi dengan hukum yang berlaku. Aturannya nggak banyak kok, kurang lebih gini doang:
1. YouTube hanya weekend (ini hukum sehabis beliau umur 3 tahun). Baru boleh nonton SETELAH makan.
2. Makan tidak sambil nonton
3. Tidur malam maksimal jam 10
4. Wajib gosok gigi sebelum tidur
5. Harus tidur siang meski weekend
6. Di kendaraan beroda empat harus di car seat
Sisanya bukan hukum tapi lebih ke tanggung jawab:
1. Kalau numpahin sesuatu ya beresin
2. Tiap nyampe rumah, masukin sepatu ke rak sepatu kemudian basuh tangan dan kaki.
3. Kalau salah, sengaja tidak sengaja harus minta maaf
Jangan lupa jelaskan lantaran akibatnya. Kaprikornus nggak pernah drama nggak boleh makan es krim lantaran udah malem. Karena beliau tau sendiri bila beliau makan es krim tandanya beliau harus gosok gigi. Malah kadang beliau jadi males makan yang manis-manis lantaran males gosok giginya lagi. Internal motivation itu bila udah terbentuk jadinya praktis banget hidup kita. Anak jadi mandiri, tetapkan segalanya sendiri, sesuai dengan value yang selama ini diterapkan dalam keluarga.
*
Udah segitu valuenya. Sungguh ekspektasi yang sangat tinggi ya. Nggak heran terlalu takut punya anak kedua. Selain takut bayar daycare, takut juga nggak sanggup mempertahankan idealisme ini HAHAHAHA. Iya idealisme kami bukan BLW atau MPASI homemade emang. Kalau urusan itu mah seraahhh yang penting anak mau makan. Hahahaha.
(Baca: How Are We Gonna Raise Our Kids?) Apa sanggup kaya gini selalu dilakukan? Karena udah terbiasa sih bisa. Kami juga saling mengingatkan TERUS JANGAN BAPER. Kaprikornus saya bila udah capek terus Bebe nanya-nanya saya jawabnya suka asal. Misal Bebe tanya “Bu, kenapa sih lalala” terus saya jawabnya “kenapa yaaaa lantaran begitu deh pokoknyaaaa” Males-malesan asli.
Pasti eksklusif ditegur JG “heh kok jawabnya asal amat” gitu. Jangan baper bila ditegur. Sebaliknya juga, bila JG kaya gitu ya saya tegur juga. Langsung ingetin “ih nanti beliau males nanya lagi loh” gitu.
Kenapa value ini harus saya jembreng kaya gini? Karena saya yakin, berangkat dari sini lah kenapa saya sanggup sabar dan nggak praktis emosian ketika menghadapi tingkah Bebe. Karena saya
berusaha paham ilmunya dan selalu
berusaha memahami pola pikirnya. MUNGKIN kalian susah nahan emosi lantaran belum merumuskan secara detail, ingin ibarat apa anak kalian?
Kalau sudah dirumuskan, semua akan lebih praktis lantaran kalian tahu persis goalsnya apa. Kalian akan sadar kenapa anak melaksanakan itu? Anak kok begini, saya salah apa? Semua tidak akan blur lagi.
Ya kecuali anaknya masih di bawah 2 tahun ya. Itu masih fase pasrah aja buibu HAHAHA. Di 1,5 tahun sih kayanya Bebe mecahin gelas (karena emang dikasih gelas kaca) dan saya eksklusif colekin kaca ke kakinya biar beliau tahu itu sakit. Dari situ beliau selalu pake gelas kaca dan nggak pernah mecahin lagi.
KALAU PUN mecahin lagi ya udah nggak usah dimarahin sih. Kaya orang cukup umur nggak pernah mecahin gelas aja. Orang cukup umur aja sanggup nggak sengaja jatohin, anak kecil juga bisa. Treat them like we treat ourselves, like adults!
JADI HARUS BANGET NIH BIKIN LIST VALUES BEGINI? Ih nggak haruslah. Siapa yang bilang harus. Ketika punya anak yang harus itu cuma punya penghasilan yang sanggup ngasih makan anak SISANYA BEBAS. Nggak ada harus ini itu. Valuesnya juga diubahsuaikan dengan value keluarga, di mana kita merasa sanggup melaksanakan itu dan mencontohkannya pada anak. Tiap keluarga niscaya beda dong ya value yang dipegangnya, semacam company culture perusahaan gitu, tiap perusahaan niscaya beda.
Cuma di saya ini berhasil bikin emosi saya lebih stabil, lantaran saya tau apa yang saya perjuangkan. Bikinnya juga nggak perlu sekaligus kok. Hari ini membiasakan satu hal baik, ahad depan membiasakan satu lagi, bulan depan satu lagi. Satu perubahan kecil pelan-pelan lebih baik dibanding nggak berubah sama sekali. <3
Satu lagi, sanggup kaya gini lantaran kami sehat fisik dan mental, lantaran kami nggak punya problem pribadi lain. Kalau kalian punya problem pribadi lain dan jadi nggak fokus urus anak, semoga cepet ketemu solusinya yaaaa. Aamiin.
-ast-