7 Hari Tanpa Instagram
Yang kenal saya niscaya tahu saya anaknya selalu berorientasi angka. Yang paling dipelototin sih page views blog ya, yang mengantarkan saya menerima tambahan 1juta views hanya dalam 3 bulan, dengan total 3 juta views selama 3 tahun saja. Hanya angka, tapi bikin senang alasannya tulisan-tulisan saya ternyata banyak yang membaca. :)
Karena semenjak dulu, social media yaitu daerah main yang sangat menyenangkan. Tempat utama untuk mencari informasi. Saya tidak lepas social media semenjak kala Friendster. Bahkan sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa saja, saya tetap eksis di Friendster pakai Opera Mini di Blackberry. Dulu, hampir 10 tahun yang lalu.
Tahun-tahun berikutnya dilalui dengan keluhan-keluhan wacana kuliah di Facebook. Tak usang pribadi pindah ke Twitter dan resmi jadi AnakTwitterTM yang selalu mengeluh lelah alasannya banyak alay di Facebook. Terus yang kurang penting bangsa Foursquare demi jadi mayor doang ya amponnn.
Beberapa tahun kemudian Instagram muncul exclusively di iOS dan saya pribadi punya lah! Namanya juga anak socmed! Tapi gres 3 bulan belakangan saya jadi peduli pada followers Instagram, meniatkan diri posting setiap hari, memperbaiki kualitas foto, menulis caption panjang dan bercerita alasannya sebelumnya bahkan saya jarang memberi caption. Keseriusan yang ditandai dengan followers naik 1000 lebih hanya dalam 1 bulan. Padahal sebelumnya hanya punya 2000 followers dalam 5 tahun. (sad lol)
Kemudian kalau sedang ada sponsored post maka saya jadi peduli pada reach Facebook, impression Twitter, dan banyak lagi. Ditambah saya yang rutin nge-blog, simpel social media jadi perpanjangan blog.
Lama-lama lelah.
Dan meski banyak orang yang menolak bermain di social media alasannya takut di-judge, saya sendiri sebetulnya tidak. Saya selalu menganggap internet yaitu daerah yang bebas bertanggungjawab. Saya punya argumen, kalian punya argumen.
Saya tidak pernah memaksakan pendapat saya pada siapapun, dan jangan pula memaksakan pendapat pada saya. Lagian masa semua orang harus sependapat sih, kan serem ya. Judge saya semau kalian dan saya tidak akan terganggu.
Yang kenal saya semenjak dulu di Twitter mungkin tau saya pernah sanggup aneka macam bahaya pembunuhan dalam beberapa hari di Twitter dan disuruh bunuh diri hanya alasannya saya menulis video klip sebuah boyband "biasa saja". BIASA SAJA BUKAN JELEK HHH.
Dan saya tidak kapok. Ternyata yang sanggup bikin saya berhenti main-main socmed yaitu diri saya sendiri. Saya sendiri kaget.
Dan ya, biang keroknya yaitu Instagram.
Saya senang melihat feed Instagram saya dan masih senang hingga sekarang. Saya senang menyusun foto semoga nyambung satu dengan lainnya, dengan sebelahnya, dengan atas dan bawahnya, menyerupai main game saja. Saya senang mengedit foto semoga terlihat “lebih Instagram”.
Iya alasannya foto Instagram itu punya karakteristik sendiri loh makanya muncul istilah Insta-worthy atau Instagram-able. Bukan semata alasannya dindingnya manis atau makanannya lucu, tapi komposisinya yang menciptakan sebuah foto menjadi sesuai dengan abjad Instagram.
Contoh paling sederhana, foto dramatis yang jadi headline koran belum tentu sedramatis itu ketika di-upload ke Instagram. Sebaliknya, foto flatlay dengan bunga mint dan aksesoris emas belum tentu cocok untuk halaman koran yang kebanyakan hitam putih. Di situ menyenangkannya Instagram.
Yang jadi persoalan bukan obsesi saya pada feed, tapi obsesi saya pada foto-foto di timeline! Sungguh membuang-buang waktu.
Naturally setiap beberapa menit saya membuka ponsel dan otomatis mencet icon Instagram kemudian scroll dan cek stories. Itu jadi habit dan berdasarkan saya bukan habit yang baik. Ya kecuali followers kalian 2juta orang dengan penghasilan dari Instagram ratusan juta rupiah dalam seminggu ya.
Scrolling Instagram menyita waktu sangat banyak dan saya tidak mau menyerupai itu. Saya tidak mau terobsesi. Saya tidak mau berdiri tidur dan yang pertama kali dilakukan yaitu cek notifikasi Instagram. Saya tidak mau lagi sedih alasannya jumlah followers berkurang.
Karena ya, Instagram yaitu Instagram. Saya kisah sebaik dan semenarik apapun maka akan hilang di timeline orang dalam beberapa hari. Sebagus apapun kontennya, tetap akan sulit dicari sesudah beberapa hari, archiving-nya tidak sebaik blog kan.
Sejak “serius” di Instagram saya juga jadi menyalakan notifikasi. Notifikasi komentar dan direct message. Awalnya saya senang alasannya wow banyak yang appreciate ya! Kesenangan yang hanya bertahan 3 bulan saja.
Lama-lama saya terganggu. Karena notifikasi menciptakan saya merasa ada urgensi membalas secepatnya dan sekali lagi, saya tidak mau menyerupai itu. Itu tidak baik, Instagram bukan prioritas. Berkali-kali saya sugestikan itu pada diri sendiri.
Saya juga terpaksa harus mengakui kalau saya (merasa jadi) oversharing, Padahal dulu saya yaitu barisan orang yang menolak mengamini bahwa saya berlebihan memakai social media. Saya beberapa kali bilang bahwa yang saya tulis di blog itu hanya kulitnya saja.
Orang bahkan tidak pernah tahu nama daycare Bebe, lokasi, atau bahkan nama lengkapnya. Ya di ketika orang menciptakan hashtag dengan nama lengkap bayi, saya bahkan hingga kini tidak pernah mempublikasikan nama lengkapnya. Dan waktu itu saya merasa berhak bilang saya tidak oversharing.
Tapi lama-lama toh saya berubah. Apalagi stories yang tidak menuntut foto bokeh dengan editing indah. Makan apa di-share, minum apa difoto dulu, sedang di mana juga difoto.
Mau apa sih sebenernya?
Saya mulai mempertanyakan diri saya sendiri. Saya jadi merasa lebih bersahabat pada hidup orang tapi makin absurd pada hidup sendiri.
*
Di antara kalian niscaya kini ada yang berpikir oh itu tanda-tanda FOMO alias Fear of Missing Out. Bisa ya sanggup tidak tergantung definisi FOMO-nya.
Kalau kalian perhatikan, saya malah jarang ikut-ikutan komentar hal yang sedang ramai. Buat saya FOMO itu ketika ada sebuah topik ramai dibicarakan orang, maka kita ikut juga membicarakannya baik di status atau pun di komentar alasannya takut dianggap ketinggalan. Atau ketika ada sesuatu yang sedang hits, pribadi ingin ikut juga punya atau membeli.
Saya tidak. Saya belum pernah mengantri berjam-jam demi makanan, saya tidak pernah ikut komentar apapun yang sedang ramai di social media melalui status atau komentar, saya tidak pernah ikut memakai kata “kekinian” hanya alasannya kata itu sedang tren. Ya tau sendirilah anaknya suka sebel kalau mainstream, so does it count as FOMO?
Yang saya takutkan itu bahwasanya tidak ada! Saya hanya senang melihat-lihat foto orang, apalagi foto yang aesthetic dan dipikirin banget gitu bukan foto asal. Saya senang buka-buka profile orang dengan foto bagus dan mengira-ngira ia pakai filter apa dan editnya gimana.
Instagram jadi procrastinate yang sangat berlebihan.
Siang itu balasannya saya kesal alasannya menerima tangan saya sekali lagi membuka ponsel HP dengan tidak sadar dan scroll timeline Instagram. Saya tutup aplikasi itu dan saya delete. Tak pikir panjang saya juga delete Twitter dan Facebook.
Padahal saya jarang sekali buka Facebook. Dari urutan keseringan membuka dan memposting sesuatu, saya paling sering buka Instagram, kemudian Twitter, gres Facebook. Tapi ketiganya saya hapus alasannya saya takut kalau saya hanya menghapus Instagram, saya akan tetap terjebak di ponsel dan kembali scrolling. Membuka Facebook atau Twitter.
Saya menghapus Instagram sempurna di posisi post saya 999 posts, nggak sengajalaahh ngapain sengaja. Saya tidak pasang sasaran kapan akan kembali, pokoknya saya ingin mereka tidak ada di ponsel saya dulu untuk sementara waktu. Saya bilang JG bahwa saya capek ketergantungan social media dan ia cuma ketawa aja. Saya bilang saya ingin sendiri dulu.
Karena selain urusan terobsesi juga ada peer pressure. Tapi soal peer pressure ini kita ceritakan lain waktu ya. :’)
Jelas ada juga unsur peer pressure alasannya kalau nggak mah niscaya kita semua hanya selfie sekali kemudian pribadi upload kan? Ini nggak. Selfie dulu yang banyaaakkkk gres kemudian dipilih yang berdasarkan kita paling bagus. Yang idungnya keliatan agak mancung, yang pipi keliatan agak tirus, yang mata keliatan nggak sayu. Capek banget kaya gitu.
Dulu saya sama sekali nggak punya persoalan self esteem dan pede-pede aja sama diri sendiri. Sekarang? Perasaan sih masih pede, tapi kok ya pilih foto diri sendiri aja lama, edit sana sini dulu biar nggak keliatan gendut blablabla. Yang kaya gitu masih ngaku percaya diri? Tsk.
*
Siang itu dilalui dengan santai alasannya toh sambil kerja. Mau share apa? Foto kubikel?
Malamnya kami ke UGD alasannya Bebe diduga cacar dan di sini cobaan bahwasanya dimulai. Saya ingin sekali share! Sampai deg-degan alasannya saya ingin share Bebe yang sungguh lucu pakai konstum Gecko PJ Masks sambil diperiksa dokter. Saya ingin ambil video ia berpose Super Gecko Muscle di depan apotek rumah sakit. Dan banyak lagi. Tapi saya bertahan.
(Baca cerita cacar air Bebe di sini)
Saya foto dia, saya videokan, tapi tidak saya share di mana-mana. Mau share di mana? Aplikasinya pun tak punya. :)))
Dan itu terjadi hingga dua hari berikutnya, tangan saya masih otomatis meng-unlock ponsel dan pribadi memencet icon daerah sebelumnya Instagram berada. Icon itu bergeser menjadi Line yang sebelumnya ada di sebelah Instagram. Berulang kali dalam sehari saya melaksanakan itu, tidak sengaja memencet Line alasannya menyangka itu Instagram. I am THAT addicted.
Dalam dua hari itu aneka macam yang ingin saya share, apalagi kami cuti dan di Bandung. Saya nonton Kick Andy dengan bintang tamu Doni ‘Animal Defenders’ dan Davina ‘Garda Satwa’. RASANYA INGIN SEKALI NGE-TWEET! Tapi saya bertahan. Otak saya otomatis meramu kalimat apa yang seharusnya saya tweet. saya akan tulis ini, kemudian reply dengan ini sambil mention si anu, dan seterusnya. Gila ya udah lebih dari 48 jam dan saya masih nggak inget kalau saya tidak perlu share
Saya balasannya menciptakan dua jalan keluar:
📱 Pertama, bertahan tidak membuka ponsel sama sekali. Ketika otak saya otomatis meminta tangan membuka lock, ia pribadi mengirim sinyal bahwa yang dicari tidak ada. Maka saya simpan HP dan melaksanakan hal lain, bermain dengan Bebe, menulis, nonton, apapun. Saya menjauhkan diri dari HP and it’s too damn hard. Saya sangat tergantung pada HP saya dan segala isinya sehingga memaksa berpisah menjadi sangat membingungkan.
📱 Kedua, ketika saya tidak tahan lagi maka saya buka HP dan membuka aplikasi lain. Saya punya satu folder khusus aplikasi news publisher yang biasanya saya pakai kalau sedang mengikuti satu kasus. Baca kronologi informasi dari apps itu yummy banget loh btw.
Cuma ya saya nggak pernah juga out of the blue buka cuma mau cek headline. DAN ITU SAYA COBA LAKUKAN KEMARIN. But no fun HAHAHA. Akhirnya back to basic, saya buka BuzzFeed dan BoredPanda, hingga saya sadar kalau saya tidak butuh Facebook alasannya 90% yang saya lakukan di Facebook yaitu membaca BoredPanda dan BuzzFeed. LOL
Kondisi ini hanya tiga hari pertama, hari keempat saya mulai terbiasa tidak otomatis membuka HP tanpa sadar. Saya mulai melaksanakan hal lain, saya mulai sadar kalau tanpa Instagram setiap 5 menit, hidup saya akan baik-baik saja. Mengecek Instagram sehari hanya 2-3 kali sehari pun tidak akan tertinggal apapun alasannya Stories bertahan 24 jam kan.
*
Hidup tanpa Instagram, saya jadi teringat salah satu ekspat Australia di kantor yang tujuan hidupnya yaitu traveling. Dia kerja di kantor saya setahun, jajan di kantin karyawan yang murah meriah, ke mana-mana naik ojek, kost di belakang kantor yang kurang layak demi menabung untuk keliling Indonesia di tahun berikutnya. Surprise-nya bagi saya adalah, ia tidak punya akun social media dan tidak menulis blog wacana perjalanannya. Padahal usianya lebih muda dari saya.
Belum usang ini juga saya nyeletuk ke temen kantor yang juga terobsesi feed Instagram “eh temen gue keliling Eropa tapi foto Instagram-nya sedikit, sayang banget ya!”
Dia impulsif bilang “iya ya”. Terus merenung berdua lol.
THEY’RE MAKING MEMORIES, NOT CREATING INSTAGRAM FEED.
Kenapa kami yang gundah coba?
Contoh real yang nggak pernah saya lakukan tapi selalu saya maklumi: nggak apa-apa banget dateng ke suatu daerah demi Instagram, nggak apa-apa banget ngantri kuliner hits juga demi Stories, tidak persoalan jalan-jalan hunting foto untuk Instagram hingga bawa properti ke manamana. Nggak apa-apalah masa dihentikan atau dinyinyirin, ya tujuan orang kan beda-beda.
Saya merasa salah alasannya ketika ada orang (well, orangnya millennials) yang ternyata TIDAK pernah melaksanakan itu maka saya menganggap ia “wow kok bisa!”.
Kenapa saya maklum ketika orang mau ribet demi Instagram tapi saya tidak maklum ketika sebaliknya? Kenapa saya tidak mempertanyakan orang mengantri cheesecake dari subuh tapi saya mempertanyakan orang absurd yang keliling Indonesia tanpa meng-upload foto?
Saya tidak boleh menyerupai itu.
Di hari keempat saya sempat upload satu foto alasannya ada hal yang tidak sanggup saya ceritakan di sini (YAELAH), pada dasarnya saya kasih a quick update dan ternyata ada juga yang dm saya nanya saya ke mana. Saya hanya upload kemudian saya hapus lagi Instagramnya. Dalam kondisi terharu banget sih huhu masih dicariin orang sementara sayanya kabur tiba-tiba. T_____T (maap kadang emang halu)
Hari ketujuh saya sudah tidak otomatis membuka lock dan mencari icon Instagram. Dan tanpa sadar, pikiran saya lebih tenang alasannya saya tidak terlalu banyak berpikir untuk orang lain. Saya jadi punya waktu jauh lebih banyak untuk diri sendiri.
*
Sebelumnya saya tidak pernah berhenti berpikir. Pikiran saya berjalan terus dan mencatatnya. Misal saya punya wangsit apa, biasanya pribadi diolah jadi draft berangasan blog, caption instagram atau minimal tweet. Jika panjang maka ditulis dulu di notes, jikalau pendek maka pribadi di-tweet.
Tapi kini alasannya pilihannya notes saja, pikiran selintas tetap jadi selintas, bukan lagi pribadi diolah untuk dikonsumsi publik. Dan itu bikin saya lebih damai. Bikin pikiran saya beristirahat.
Mbak Mira Sahid pernah bilang pada dasarnya "kamu kok kaya kebanyakan mikir?" Iya. Saya mikir terus. Saya nggak pernah berhenti mikir, makanya saya nggak pernah habis wangsit untuk blogpost, dan itu capek, capek sekali.
Sekarang saya sedikit mengerti apa yang terjadi dengan Michelle Phan, apa yang terjadi dengan Jesse dan Jeanna ‘BFvsGF’. Iya padahal masih jauhhhh, padahal saya masih sebutir kecil debu dibanding Michelle yang sebesar bulan (naon). Maka sebelum saya separah mereka dan benar-benar kabur dari kehidupan maya, saya lebih baik menguranginya dari sekarang.
Internet terlalu luas, jauh lebih luas dari yang sanggup kita genggam, jauh lebih dalam dari yang sanggup kita lihat. Itu yang menciptakan saya jadi gundah sebanyak apa yang bahwasanya sanggup saya pikirkan. Saya berpikir terlalu banyak.
*if that makes any sense*
Saya juga nggak akan sok nasihatin, “makanyaaa jangan gitu-gitu amat lah di socmed”. Ya mau gimana-gimana juga terserah orangnya lah. Ini yang bermasalah diri saya, nggak berarti orang akan punya persoalan yang sama juga. Saya punya persoalan dengan membagi waktu, nggak berarti orang lain akan punya merasakannya juga.
Begitulah.
Kaprikornus ambisius itu capek ya. Hahaha. Mana ambisiusnya di segala lini kehidupan pula. Udalah istirahat dulu ya. Saya terang tidak akan lagi tiap hari upload foto di Instagram, kalau blog sih sebisa mungkin masih tetap akan di-update ya meski tidak sesering dulu. Saya senang kok sharing di sini, dengan segala suka dukanya hahaha.
Kaprikornus itulah ceritanya kenapa saya menghilang seminggu hahaha. Pada kangen dong biar saya semangat lagi HAHAHAHA. Have a nice day!
-ast-
Posting Komentar