Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Cerita Dari Rumah Eyang Habibie & Ainun

[Ini kisah full dari rumah Pak Habibie. Karena aku diundang untuk perayaan hari anak nasional, jadi harus buat artikelnya perihal gizi dan hari anak nasional, makanya posting ini. TAPI GEMES JADINYA KEPENDEKAN HAHAHAHA. JADI INI SAMBUNGANNYA YA, PART 2 ALIAS VERSI LEBIH PANJANG DAN EMOSIONAL LOL]


"Eyang suka sekali makan ikan. Kami orang Sulawesi bahagia makan ikan. Ikan itu sanggup dibakar, digoreng, dibentuk sup. Kalau ibu Ainun orang Jawa, orang Jawa biasanya makan ikan hanya digoreng. Akhirnya ibu Ainun kalau masak itu digabung, cara Jawa dan cara Sulawesi," jelasnya.

Begitu nama ibu Ainun tercetus dari mulutnya, hati aku mencelos sedikit tapi air muka Eyang tidak berubah. Ia masih bercerita dengan semangat.

Baca kisah selengkapnya perihal Eyang Habibie Bicara Gizi di link ini ya!

Eyang menghabiskan masa kuliah S1, S2, dan S3 di Jerman hingga kemudian bekerja di sana. Namun ia dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Menteri Riset dan Teknologi (1978-1998) dan kemudian menjadi Wakil Presiden, jabatan yang diembannya hanya selama 2 bulan sebelum pribadi naik menjadi Presiden sebab Soeharto mengundurkan diri.

Ah, Eyang.


Lahir di tahun 1936 Pak Habibie bahkan lebih renta dari kakek dan nenek saya. Boleh dong ya aku juga panggil juga dengan "eyang"? Omong-omong, Eyang ya terang sanggup ada di situ, wong itu rumahnya. Saya sendiri mengapa ikut ada di situ?

Saat menerima permintaan dari Clozette Indonesia dan Habibie Center beberapa hari sebelumnya, aku masih belum yakin benar. Ini benerankah akan ada Pak Habibie-nya di depan aku nanti? Ini benerankah acaranya di rumah pribadi Pak Habibie, bukan di Habibie Center Kemang? Dan aneka macam pertanyaan lainnya yang simpan sendiri.

Berbaju biru putih sesuai dress code, sore itu jadinya aku berdiri di depan rumah berpagar putih. Mobil terparkir berjajar di tepi jalan yang asri dirimbuni pepohonan tinggi. Beberapa videografer TV tampak merokok di depan rumah. Di sebelah mereka berdiri kokoh pagar batu, tertempel di dinding itu plat perak bertuliskan “Wisma Habibie & Ainun" dilengkapi dengan alamat rumah.

Saya tersenyum membaca plang itu sebab ya, teringat lagi kisah cinta Habibie Ainun.

[Gambar dari Google Street View sebab kemarin sulit sekali memotret goresan pena ini, tertutup kendaraan beroda empat parkir]

Masuk ke dalam area halaman, aku disambut seorang bapak yang tampak ibarat ajun berbaju batik, bertanya aku siapa dan dari mana. Kemudian gres berjalan beberapa meter aku ditanyai lagi oleh polisi berseragam yang kembali menyidik nama lengkap aku dari daftar tamu.

Di depan pintu, duduk peserta tamu yang sekali lagi menyidik nama aku dan memberi ID card untuk digunakan sepanjang acara. Saya melirik ke arah pintu, di sampingnya tertulis "Perpustakaan Habibie & Ainun” di atas semacam marmer putih yang dilengkapi dengan tanda tangan dan nama lengkap Pak Habibie dan Ibu Ainun.

Habibie & Ainun lagi.

Saya bersama beberapa orang yang kebetulan tiba bersama pribadi dipersilakan masuk. Berjalan melewati daerah mendapatkan tamu yang diapit dengan ruang tamu di kanan kirinya. Saya terus berjalan hingga kembali ke luar menuju halaman belakang. Wah, ada kolam ikan!


Kolam ikan itu ibarat infinity pool—disebut kolam tak berbatas sebab dindingnya terbuat dari kaca. Dua kolam itu bersisian, masing-masing berukuran sekitar 3x3 meter, kolam terbelah di pecahan tengah yang merupakan jalan menuju perpustakaan. Saya belok kiri menuju pendopo yang sudah ramai, amis masakan mulai tercium, terdengar banyak orang yang bercakap-cakap pelan.


Di dalam, terlihat bawah umur SD ditemani guru dan orangtua mereka sedang makan, beberapa rekan media berbincang satu sama lain, dan tampak staf Pak Habibie (atau Habibie Center? Saya tidak bertanya) berbaju batik kemudian lalang mempersilakan tamu permintaan untuk makan.


Undangannya sedikit sekali ternyata. Hanya ada 30-an anak SD dengan orangtua dan guru, serta sekitar 20 media dan blogger. Saya menyimpan tas dan mulai memotret, juga mengobrol dengan bawah umur SD itu. Rata-rata kelas 5 SD, ada 2 anak kelas 6, dan ada beberapa yang masih berusia 8 tahun. Senang sekali ya, masih SD sudah punya kesempatan bertemu Pak Habibie, aku gres umur 29 tahun ini sanggup bertemu beliau. Padahal Pak Habibie ialah Menristek semenjak aku lahir hingga SD.



Sambil berkeliling, aku gres sadar satu hal ketika melihat backdrop acara. Tertulis di bawah nama acara, daerah program ini digelar “Pendopo Habibie & Ainun”. Habibie & Ainun lagi. Sungguh Eyang sayang sekali ya pada ibu Ainun. Semua daerah di rumah ini diberi nama "Habibie & Ainun".

Saya masuk ke dalam area utama pendopo dan mendongak. Cantik sekali langit-langitnya, berukir kayu dan dihiasi lampu gantung emas. Tiang-tiang dan pembatas ruangan juga semuanya ukiran. Setelah program aku gres browsing dan ternyata pendopo ini pecahan gres yang ditambahkan sehabis rumah selesai.

Pembangunan pendopo ini dikonsep pribadi oleh ibu Ainun. Bahan kayunya ditemukan di Jawa Timur, orisinil dari kerajaan Majapahit. Sebelum dibangun pendopo, area itu biasanya daerah tenda kalau ada acara. Namun pernah ketika sedang salat tarawih berjamaah, tendanya rubuh sebab hujan deras. Agar kejadian itu tak terulang lagi, pendopo didirikan dan digunakan untuk aneka macam program hingga sekarang.

Rumah itu sendiri awalnya rumah dinas Habibie ketika menjadi penasihat eksekutif utama Pertamina Ibnu Sutowo. Kadung jatuh cinta, Habibie menyatakan ingin membeli rumah itu dan disetujui. Ia pun mencicilnya 20 tahun hingga lunas. Bahkan ketika jadi wakil presiden pun ia menolak pindah ke istana dan harus beradu argumen dengan Paspampres yang menganggap rumah pribadi itu tidak kondusif untuk seorang wakil presiden.

Masih terkagum-kagum dengan area pendopo itu, aku dikejutkan oleh bunyi MC melalui pengeras suara. Ia meminta bawah umur berbaris sebab tur berkeliling Perpustakaan Habibie & Ainun akan dimulai. Saya juga mau ikut!


Dipandu oleh seorang bapak berbaju batik bubuk biru, bawah umur mulai berkeliling dari pintu depan. Ruangan yang kecil yang diapit ruang tamu itu ternyata bukan sekadar kanal biasa, ruang itu disebut ruang budaya. Di lantainya tertanam keramik lingkaran biru kehijauan dengan aneka macam gambar maritim untuk menggambarkan biota laut. Sejajar dengan keramik lingkaran itu persis di atasnya, ada keramik serupa melekat di langit-langit, bergambar tanaman dan fauna Indonesia.

Keempat sudutnya juga dihiasi dengan pajangan besar, semacam lukisan tapi entah terbuat dari apa, berkilau keemasan. Semua menggambarkan budaya Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Di kanan kiri ruangan itu merupakan ruang tamu, dindingnya dihiasi aneka macam lukisan Pak Habibie dan Ibu Ainun. Ada pula beberapa koran berisi isu perihal Pak Habibie yang dibingkai rapi.


Rombongan kemudian beranjak menuju kolam ikan. Kolam ikan itu ternyata pecahan dari selasar agama. Dinding di depan kolam dihiasi pajangan sejenis dengan di ruang depan namun kali ini mewakili semua agama yang ada di Indonesia. Kolam yang terbagi dua tadi juga menggambarkan maritim merah yang terbelah oleh Nabi Musa. Ternyata semua pecahan rumah ini ada artinya, ada filosofinya.

Di sebelah kolam ada halaman rumput yang cukup luas. Bapak pemandu menjelaskan halaman itu disebut Halaman Iptek, ditandai dengan empat patung pemikir yang berdiri kokoh di satu sisinya. Saya hanya mengenali dua, satu sosok laki-laki yang duduk dengan dagu bertumpu di tangan replika karya Le Penseur (Si Pemikir) Auguste Rodin dan sebelahnya ada patung Ganesa. Dua patung lainnya tidak aku kenal, ada yang tahu ini kedua patung dari kiri ini patung apa?


Dari halaman kami beranjak ke dalam perpustakaan. Masuk lewat pintu kayu, area depan perpustakaan itu merupakan meja panjang untuk rapat. Di sisi beling sebelah kanan yang menghadap halaman, terpajang aneka macam hiasan pesawat terbang dan aneka macam penghargaan yang pernah diterima Pak Habibie. Di sebelah pintu, duduk damai seekor harimau tersenyum memamerkan taring. Ya sudah diawetkan dong harimaunya, masa hidup. :)))


Yang menarik perhatian tentu ruangan utama perpustakaan itu. Terdiri dari dua lantai yang ketiga sisinya dipenuhi buku hingga langit-langit. Jika ingin naik ke lantai dua, tersedia sebuah tangga putar dengan pegangan emas dengan gaya Eropa, persis ibarat perpustakaan di film-film. Buku di perpustakaan ini ribuan jumlahnya, berbahasa Indonesia, Inggris, dan Jerman.


Perpustakaan itu mengakhiri tur dan rombongan pun kembali ke pendopo. Siap mendengarkan Eyang bercerita bersama dokter Damayanti.

Selain berdiskusi soal rujukan makan sehat, Eyang juga bercerita banyak soal masa kecilnya yang banyak dihabiskan dengan mandi di sungai bersama dua ekor kuda peliharaannya. Saat seorang anak bertanya kapan mulai bermimpi sanggup menciptakan pesawat terbang sendiri, Eyang menjawab dengan realistis perihal pentingnya kerja keras.

“Jangan mimpi nanti kau bangun, kaget, mimpinya hilang. Saya tidak pernah bermimpi sanggup bikin pesawat, memang dari kecil aku suka main dan bikin pesawat kertas tapi aku bercita-cita jadi insan berguna, kita itu harus kerja dengan sadar dan jangan terlalu banyak bermimpi, hasilnya akan jauh dari yang kita sangka,” jawab Eyang.


Anak-anak juga rupanya tertarik dengan cara menjadi presiden. Tapi Eyang, justru “melarang”.

“Eyang tidak pernah ingin jadi presiden. Dulu Eyang jadi presiden sebab presidennya tidak sanggup selesaikan masalah. Bukan sebab rencanakan jadi presiden. (Kalian) tidak usah mikir jadi presiden, jadi orang yang mempunyai kegunaan bagi negara dan agama,” ujarnya.

“Jadi presiden itu harus yang kerjanya nyata, jangan yang cuma banyak omong. Kaprikornus presiden bukan segala-galanya, presiden dipilih hanya untuk kerja 5 tahun, paling usang 10 tahun. Eyang presiden hanya 15 bulan, tapi sudah buat pesawat terbang di Indonesia 25 tahun lebih, di Eropa berguru perihal pesawat saja semenjak umur 18 tahun,” tambahnya.


Pertemuan hari itu ditutup dengan minum susu bersama dan setiap anak berbaris, bergantian foto sendiri-sendiri dan mencium tangan Eyang. Eyang dengan ramah tersenyum dan menanyakan nama serta usia anak satu per satu. Satu anak kebetulan berjulukan Habibie. Eyang pribadi mengalihkan pandangan ke arah kami yang memotret dan bertanya serius:

“Ini ada Habibie, tapi nggak ada yang namanya Ainun ya?”

Kebetulan tidak ada. Tanpa sadar mata aku menghangat, hati aku terasa penuh. Hari itu akan jadi hari yang terus aku kenang, seumur hidup saya.

Sehat selalu, Eyang!

-ast-

Posting Komentar