Laki-Laki Itu Manusia
Makara di kantor, kami sedang menjalani sesi team building. Di pertemuan pertama, temanya ihwal mindset dan kami diminta mengisi apa yang terlintas di kepala dikala mendengar beberapa kata menyerupai laki-laki, perempuan, kebahagiaan, dll.
Yang menarik (dan terduga sih sebenernya) bagaimana beberapa orang, terutama cowok-cowok yang belum nikah nih ya, mendefinisikan lelaki sebagai “kuat” sementara wanita sebagai “penyayang”.
Gongnya waktu satu pemuda bilang wanita yaitu “ibu dari anak-anak”, salah satu cewek teriak “WE’RE NOT BABY MACHINE!” alasannya ya kesel ugha yha disebut ibu dari belum dewasa DOANG padahal ketemu di kantor juga kan hubungannya profesional dan kami tidak melahirkan anak-anakmu hahahahahaha.
Dari 25 orang di ruangan itu, salah satu balasan yang paling saya ingat yaitu satu pemuda yang bilang pria itu “harus besar lengan berkuasa dan harus dapat menuntaskan semua masalahnya sendirian”.
AUTO PENGEN PUKPUK BANGET.
Rada kasian alasannya siapa bilang pria harus besar lengan berkuasa dan harus dapat menuntaskan semua masalahnya SENDIRIAN? Sebagai background, sobat saya ini gres nikah 3 bulan. Lagi momen-momennya ingin jadi suami ideal yang nggak memberatkan istri dalam hal apapun ya.
Kalau saya dan JG sih tujuan nikah semoga jikalau punya persoalan otomatis jadi persoalan berdua. Minimal ada yang dapat diajak dongeng kapan aja gitu lho meskipun nggak seketika ada solusinya. Di luar ia yang cewawakan malu-maluin dan senang menari di depan umum, JG itu dulu sangat sangat fragile.
Dia anaknya feeling banget (kebalikan gue yang thinking) tapi seumur hidup, feeling-feeling itu selalu dipendam alasannya ya bertahan jikalau pemuda nggak boleh nangis, jikalau pemuda harus kuat, jikalau pemuda harus selalu ambil keputusan dan nggak boleh galau sama hidup.
(Dulu JG nggak pernah dapat ambil keputusan, udah pernah saya jembreng total di sini: Anak dan Pengambilan Keputusan)
Pacaran sama saya, blar lah nangis terus hahahahahaha. Untuk pertama kalinya ia jujur soal galau menghadapi hidup (WELL, WHO DOESN’T?), apakah honor akan cukup (YA DICUKUPIN), apakah ia akan baik-baik aja (OF COURSE!).
Setelah ia selalu terbuka, ia tidak fragile lagi. Dia nggak galau lagi menghadapi hidup alasannya ya jikalau lagi galau ya diskusi aja. Dia nggak takut lagi uang kurang alasannya ya diatur sama-sama. Dia nggak takut lagi ambil keputusan alasannya ya dapat tanya saya dulu. Setelah nikah, JG nggak pernah nangis lagi. Bukan alasannya ia besar lengan berkuasa tapi alasannya semua feelings-nya selalu tersalurkan jadi nggak menumpuk jadi beban.
Kalau kini dipikir lagi, dulu kayanya JG itu depresi. Cuma depresi belum "senormal" sekarang. Dulu jikalau stres ya galau harus gimana, mana kepikiran cari psikiater sih. Kalau kini aja 3 sahabat saya udah hingga harus ke psikiater. Saya aja yang alhamdulillah nggak kenapa-napa.
Apa saya nggak ilfeel waktu itu, pemuda kok nggak besar lengan berkuasa sih?! Ya nggak alasannya saya juga nggak pernah menganggap pemuda harus kuat. Kalau wanita mau disetarakan, wanita sendiri yang harus menyetarakan diri.
Saya memanusiakan dia, maka ia memanusiakan saya. Dia tidak pernah melarang saya atau bilang wanita harus dapat ini dan itu, menyerupai saya tidak pernah bilang pria harus begini dan begitu. Sesederhana itu.
(Baca: Saya termasuk people with no feelings alias #TeamRealistis)
Laki-laki harus kuat, padahal wanita juga ya harus kuat. Laki-laki harus dapat ambil keputusan, ya wanita juga. Laki-laki harus bertanggung jawab, YA KAN PEREMPUAN JUGA.
Perempuan harus lembut, ya pria juga. Perempuan harus penyayang, ya pria juga dong.
Laki-laki harus dapat cari uang, ya wanita juga. Kalau ternyata nggak nikah gimana? Kalau ternyata udah nikah terus harus cerai atau suami meninggal gimana? Manusia harus dapat cari uanglah untuk bertahan hidup.
Itu kan standar sebagai insan baik toh?
Manusia harus besar lengan berkuasa semoga dapat tahan pada semua cobaan hidup. Manusia harus dapat ambil keputusan semoga nggak simpel berantem receh alasannya ditanya mau makan apa jawab terserah. Manusia harus bertanggung jawab alasannya ya jikalau ditanya mau makan apa jawabnya terserah, jangan ngambek dong jikalau diajak makan di kawasan yang nggak kita suka.
Manusia harus lembut ya masa kasar-kasar sih kita kan bukan sapu ijuk, insan harus penyayang semoga dunia damai, aman, sentosa.
Lalu apa balasan saya dikala ditanya ihwal laki-laki? Saya jawab, pria itu manusia.
Yep, they’re human too!
Men should know how to express themselves, that it’s ok to have feelings, and crying is totally acceptable.
Punya anak pria bikin saya sadar banget jikalau saya nggak mau ia jadi anak pria yang memendam perasaan alasannya ia laki-laki. Yang berusaha terlihat selalu besar lengan berkuasa alasannya ia laki-laki. Yang berkorban alasannya ia laki-laki.
Yang jikalau jatuh dibilang “jangan nangis kau kan cowok!” NO, saya dan JG selalu bilang “kalau sakit boleh nangis kok”, “kalau kecewa nangis aja”, “kalau murka boleh berteriak tapi tidak memukul atau menendang”, “kalau sedih/marah/kecewa itu bilang alasannya jikalau tidak bilang, ibu tidak akan tau”.
(Baca: Mengajarkan Emosi pada Anak)
Perasaan yang dipendam atau repressed feeling itu nggak dapat bikin senang malah nggak sehat, dapat bikin sakit, literally. Udah baca blogpost Gesi yang Battling Depression? Gesi depresi alasannya repressed feeling dan depresi kan nggak kenal gender. SEMUA MANUSIA dapat depresi.
Ini akan sulit diubah lho jikalau kita udah cukup umur alasannya ya semua mindset-nya kan udah dibuat semenjak kecil. Tapi kita dapat banget mengubahnya di belum dewasa kita. Mau dibesarkan menyerupai apa belum dewasa kita? Kalau saya mau ia jadi langsung yang menyerupai di postingan ini. (maklum nulis udah 800 postingan lebih ya jadi banyak yang udah pernah ditulis hahaha).
Apa tidak khawatir ia jadi tidak sesuai standar society?
Tidak sama sekali alasannya kami hanya berharap ia jadi insan yang bahagia. Kalau ia nanti suatu hari ia mau menikah, saya yakin ia akan menemukan wanita menyerupai ibunya. :)
-ast-
Posting Komentar