Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murahini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Menolak Stereotyping

Note: Seperti postingan kemudian dan terdahulu, saya tidak akan bicara dari sisi agama. Yang tetap mau bahas dari sisi agama silakan lho, tapi bahaslah di blog kalian sendiri ya. Saya tidak akan diskusi atau membalas komentar yang tidak baiklah dengan dasar agama.



Ada nggak kalian yang seumur hidupnya terjebak stereotype hingga stres berat? Saya kenal dua orang yang sangat erat dengan hidup saya.

Pertama, JG. Saat ketemu dan pacaran sama saya, JG dalam kondisi terjebak stereotype berat. Berat alasannya menjadikan nangis berbulan-bulan alasannya selalu punya perasaan akan gagal sebagai laki-laki.

Dia terjebak pada stereotype:

- Laki-laki itu harus bertanggungjawab pada keluarga (padahal ya keluarga tanggung jawab suami dan istri lah)
- Laki-laki harus sanggup mencari uang untuk bertahan hidup anak dan istri (ya insan harus punya cara untuk bertahan hidup sih, bukan cuma laki-laki)
- Laki-laki harus berpengaruh dan dihentikan menangis (BOLEHHHH LAHHH SIAPA BILANG NGGAK BOLEH)

Kedua, Nahla. Sampai kini Nahla masih terjebak wanita harus anggun. Makanya ia princess banget, ketawa aja nutup mulut, ngomong pelan, jalan pelan. Bertolak belakang banget sama Gesi hahaha. Dia terjebak dalam wanita harus membisu di rumah, wanita dihentikan pulang malam, wanita harus ini dan itu yang bahwasanya nggak HARUS juga sih.

Baca kisah Nahla di sini ya: Sekat itu Bernama Stereotyping

Stereotype ini memang dibuat oleh banyak hal. Lingkungan kita dibesarkan, budaya, pengalaman, dan banyak lagi. Keberadaannya juga kadang memang tidak disadari.

Karena nggak disadari, ada stereotypes yang rasanya “biasa aja”. Yang jadi topik omongan sehari-hari.

Contoh:
“duh anak kecil tau apa sih” - tau banyak lho mereka
“dokter mah udah niscaya kaya” - ya dokter apa dan di mana dulu

Ada juga stereotypes yang NGGAK disadari. Kadang kita nggak sadar kita punya stereotype itu hingga ketemu di momennya sendiri. CMIIW YAAA.

Contoh:
“Aduh ada orang kulit item, jahat nggak ya dia, jangan-jangan dagang narkoba” - YA BELUM TENTULAHHH.
“Tanya agama sama ia aja deh ia kan pake jilbab” - hey, siapa tahu ia pakai jilbab alasannya males bad hair day dan bukan alasannya alasan agama?

Kenapa stereotype sanggup muncul? Banyak, alasannya konsep “fitrah”, alasannya pengalaman, alasannya berita, alasannya trauma, banyak banget sih faktornya. Yang jelas, yang namanya stereotype itu BELUM TENTU BENAR. Belum tentu salah tapi belum tentu akurat.

Makara apa nggak boleh stereotyping orang?
For me, it’s not a good thing. That’s why people say “Oh I’m sorry for stereotyping”

BECAUSE STEREOTYPING KILLS.
(wow ngomongnya serem)

Berapa banyak black people di Amerika yang ditembak sama polisi alasannya “dicurigai” melaksanakan kejahatan padahal sebenernya nggak? Malah ada yang ditembak di halaman belakang rumah neneknya sendiri alasannya diduga pegang senjata, pas diperiksa ternyata yang ia pegang cuma HP. Kalau orang kulit putih nggak bakal lah ditembak di daerah gitu.

Itu alasannya stereotype “orang kulit gelap = lebih mungkin melaksanakan tindak kejahatan”. Dan dari data Washington Post (cari sendiri) berdasarkan statistik dari tahun ke tahun dan dari jumlah populasi, orang kulit gelap juga lebih mungkin ditembak di daerah dibanding orang kulit putih. Hence the hashtag #BlackLivesMatter

Oke Amerika kejauhan.

Berapa banyak wanita etnis Tionghoa di Indonesia diperkosa entah dengan alasan apa selain ras ketika 1998? BANYAK.

Karena apa coba? Karena stereotype mereka kaya dan menjajah perekonomian Indonesia padahal mereka bukan pribumi. Makara ketika ada kemarahan pada sesuatu dan butuh pelampiasan, mereka melampiaskan pada kambing hitam yang padahal belum tentu bersalah.

Padahal stereotype Tionghoa ini dibangun SENGAJA oleh penguasa semenjak zaman Belanda dan kekuasaan Sultan Jawa. Baca lengkapnya di artikel Tirto ini ya.

"ADUH CONTOHNYA KENAPA BERAT BANGET, KAK"

Oke kita buat lebih ringan.

“Bawel banget ih kaya cewek aja” - cerewet atau tidak, bergantung pada kesukaan kita berbicara *melirik JG*

“Perempuan suka ngatur” - IYA SUKA BANGET LHO SAMPAI BOS-BOS DI KANTOR ITU KEBANYAKAN PEREMPUAN.

“Perempuan yang bajunya kebuka itu pelacur” - ini stereotype yang setara dengan cadar itu teroris lho!

“Laki-laki itu kuat” - manusia harus kuat, bos

“Laki-laki kok mau-maunya ngurus rumah tangga sih” - lho iya dong asal yang diurus rumah tangganya sendiri dan bukan rumah tangga orang lain kan

(SUDAH DIBAHAS DALAM POSTINGAN INI: Laki-laki Itu Manusia. Postingan itu juga bahwasanya bahas stereotyping tapi nggak saya jembreng aja)

Gimana kalau stereotype-nya baik? They say even good stereotype is bad. Karena kesannya ada standar tertentu dan insan tidak perlu standar yang sama untuk hampir semua hal.

"Tapi kalau stereotype baik yang dibunuh apa, kak? Kan nggak menghilangkan nyawa?"

Yang dibunuh ialah kepercayaan diri, penghargaan pada kerja keras, dan perasaan gagal.

Contoh stereotype:

“Orang Chinese hebat dagang”

Kalau nggak sukses dagang: “Lo Cina kok nggak sanggup dagang sih?” — lho ya apakah harus? Apakah kalau Cina tidak dagang maka ia gagal?

Kalau ada yang sukses dagang: “Ya wajarlah hebat dagang, ia kan Cina!”pendapat ini terperinci mengecilkan orang lain. Lha emang sukses ditentukan sama ras? Kok kerja kerasnya nggak dihargai?

Stereotype sanggup bikin orang kecewa juga sama diri sendiri.

“Kamu kan cewek Bandung kok nggak elok sih? Katanya cewek Bandung cantik-cantik” — HUHUHUHU *merasa gagal*

“Kamu kan tinggi kok nggak hebat basket sih?” — HUHUHUHU *merasa tidak berguna*

“Kamu kan bule kok kau kere?” — HUHUHUHU *BINGUNG*

Kalau orangnya berani berpendapat ya praktis tinggal dibales aja lebih judes, selesai perkara. Atau ya udah sih cuekin aja kok gitu aja baper. Ya sanggup aja. Tapi risky kan, kita nggak tahu persis imbas apa yang akan dialami orang dari stereotype yang kita omongin di depan muka dia.

Apalagi kalau orangnya fragile dan banyak masalah, kata-kata stereotype itu sanggup bikin stres banget dan ya, lead to depression.

Stereotype juga sanggup jadi mengejutkan

Misal “lulusan universitas A udah niscaya pinter”

Pas nemu yang nggak pinter pribadi shock parah “kok kau lulusan uni A tapi otaknya kurang sih?”

Stereotype sanggup jadi pembenaran yang tidak perlu

"Yah namanya juga cewek, wajarlah boros alasannya suka belanja"

"Namanya juga cewek, masuk akal dong kalau cemburuan"

"Namanya juga cewek, nggak apa-apa dong nggak sanggup ambil keputusan"

Pembenaran banget ya.

*

Susah ya? SUSAAAHHH. Saya juga nggak sanggup 100% kok dan itu masuk akal banget. Tapi sebisa mungkin kurang-kurangin lah. Minimal di socmed dan di ruang publik aja dulu.

Karena stereotype-nya sendiri sanggup jadi menyerupai benar alasannya didukung oleh data. Contohnya: laki-laki itu bernafsu alasannya berdasarkan data, KDRT memang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Tapi bagaimana kalau mindset-nya dibalik? Bagaimana kalau pria bernafsu alasannya mereka merasa berhak bernafsu sebagai laki-laki. Mereka jadi terjebak stereotype pria itu bernafsu dan tidak perlu lembut, alasannya lembut itu perempuan.

Karena kenyataannya pria yang tidak bernafsu juga banyak, cuma nggak dilaporkan aja kan? Kalau didata, banyakan pria tidak bernafsu kan dibanding pria kasar?

PUSING PUSING DEH LO SEMUA.

Makara yuk, pelan-pelan coba berhenti menerapkan standar yang sama pada manusia. Manusia nggak harus hidup dengan standar yang sama kok. Manusia tidak perlu menjadi ini dan itu hanya alasannya lingkungan mengharuskannya. Manusia boleh menjadi apapun yang ia inginkan.

Dan kamu, kamu, serta kau *tunjuk satu-satu* berhenti berasumsi kalau semua orang JUGA menerapkan standar yang sama dengan diri kalian sendiri. Ok!

-ast-

PS: Nextnya pengen naik kelas dari stereotype jadi generalisasi simpulan. Model “jika A maka B”. Kesel banget juga sama generalisasi semacam ini. Tapi next time ya!

Posting Komentar